Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
81
Penayangan
2
Bab

"Untuk mu Muhammad Najmi Tzaqib. Laki-laki sempurna yang sangat paham agama, pengagum air dan alam, aku mencintaimu." Syaquella Nadira Athafurrachman Sebuah kisah tentang perjalanan mencari cinta sejati. Inilah kisah Nadira (25), Nadira seringkali dibohongi dan ditipu dalam hal pernikahan. Saat semua persiapan sudah matang, namun sosok lelaki yang akan menikahinya malah kabur begitu saja tanpa tanggungjawab apapun. Hal itu membuat Nadira mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD). Hingga akhirnya Nadira di pertemukan oleh Najmi (32) sosok laki-laki dewasa berkepribadian lembut, tapi tegas. Seorang lelaki yang rela jauh-jauh datang dari luar negeri, hanya untuk bertemu dan merawat Nadira. Bagaimana kisah mereka? Apakah keduanya akan saling melengkapi? Apakah Nadira akan luluh dengan semua perhatian Najmi?

Bab 1 Aku Capek!

Aku Nadira, seorang gadis berumur 25 tahun yang dibuang dengan dalih bahwa aku sudah tidak waras karena sering menangis secara tiba-tiba. Padahal, mentalku sedang di uji karena kesalahan dari papaku.

Dulu, aku merupakan seorang apoteker sebelum papaku menjodohkan kBab 1: Aku Capek! u pada laki-laki yang sampai sekarang tidak ku ketahui keberadaannya.

"Aku capek kalau perjodohan yang kalian atur harus berakhir seperti ini! Bahkan lelaki itu entah kemana! Aku butuh waktu untuk pulih kembali! Aku ini manusia, bukan hewan yang seenaknya saja kalian buang dan ambil!" gumam Nadira dengan nada bergetar karena menahan sesak di dadanya. Ia melampiaskan semua rasa kesalnya dengan mencengkram kuat sprei yang terpasang di brankarnya.

Ya. Dirinya tengah berada di rumah sakit jiwa akibat ulah ibu tirinya. Papa Nadira dihasut oleh Atalia, sesosok wanita yang merupakan duri dalam keluarganya.

Ingatanku berputar pada kejadian tiga bulan lalu, dimana dirinya sudah rapi dengan balutan kebaya brokat berwarna putih dan tampak anggun serta elegan.

Di hari bahagia itu, senyuman indah terpancar di wajahku. Satu persatu kerabat dekat dan keluargaku, ku berikan sebuah senyuman hangat. Tapi, sayangnya calon pengantin pria yang akan menikahi ku tak kunjung datang. Entah kemana pria itu pergi. Aku pun tak mengerti. Karena pernikahan ini bermula dari papaku yang menjodohkannya diriku dengan seorang pria tampan, tegas dan sangat berwibawa, anak dari klien bisnis papaku. Tapi sayang, dibalik semua sikapnya itu, di hari pernikahan kami, pria itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya.

Saat mengetahui bahwa pria itu tak datang di hari pernikahannya, aku pun menangis sesenggukan di dalam kamar. Hampir satu bulan, aku tidak pernah keluar dari kamar. Hidupku hancur, semua orang menyalahkan diriku karena pernikahan itu tak jadi berlangsung.

Padahal, diriku tak tau menahu tentang hal itu. Aku juga tak tahu, apa alasan dibalik gagalnya pernikahan itu, yang ku tau hanyalah, pernikahannya batal karena pengantin pria tidak datang.

Setelah satu bulan berlalu, aku memberanikan untuk kembali bekerja. Tapi, aku justru mendapatkan sebuah cemoohan dan sindiran dari teman-teman sejawat ku. Aku pun tak berani untuk kembali bekerja, dan memilih untuk resign.

Pikiranku kalut, tak ada yang peduli denganku. Hanya ada bayangan kegelapan di dalam hidupku. Parahnya lagi, aku sampai harus dipaksa untuk masuk kedalam rumah sakit jiwa oleh papaku dan Ibu tiriku yang sangat membenciku. Padahal, aku baik-baik saja. Bahkan, aku juga tidak gila.

Sebuah suara perawat menyadarkan diriku dari lamunan. Aku pun menoleh ke belakang, ternyata bukan seorang perawat yang datang, melainkan seorang dokter yang sangat asing bagiku.

"Permisi, Nona Nadira." sapanya dengan nada datar. Tapi, terkesan lembut di telingaku.

Aku terdiam. Tidak berminat untuk membalas sapaannya. Menurutku, percuma saja berbicara dengan orang lain. Toh, mereka menganggapku orang yang sudah kehilangan akal hanya karena sering menangis dan berteriak secara tiba-tiba.

Pria tampan dengan balutan jas putih itu berjalan tegas menghampiriku. Dia duduk di kursi yang ada di sebelahku. "Sudah minum obat?" tanyanya lembut kepadaku. Dari cara bicaranya, bisa kupastikan bahwa dia adalah orang yang sangat lembut dan tidak pernah membentak seseorang.

Aku menggeleng. Masih keukeuh untuk tidak mengeluarkan suaraku. Aku hanya menatapnya sekilas, lalu kembali memalingkan wajahku menatap lurus ke luar jendela dengan pemandangan hujan rintik-rintik.

"Kamu suka hujan? Mau main hujan diluar?" tanyanya lagi. Kemungkinan, dirinya ingin dekat denganku atau sekadar penasaran tentangku seperti dokter yang lain.

Aku kembali menggeleng tanpa melihat ke arahnya. Tanpa sadar, air mataku turun. Aku pun tidak tau mengapa air mataku turun begitu saja. Mungkin karena perkataan lembut dari dokter yang ada disebelahku ini. Sedari kecil, aku tidak pernah mendengar ada seseorang yang berbicara dengan lembut seperti dokter itu.

"Menangislah, luapkan seluruh isi hatimu kepadaku."

Satu kalimat yang sukses membuatku menangis secara terus-menerus. Mungkin, jika orang lain yang melihatku, mereka akan menertawakan diriku. Namun, berbeda dengan dokter ini, dia justru menatapku dengan lembut dan intens. Mungkin karena dia adalah psikiater, makanya dia bersikap seperti itu.

Sang dokter tampan pun memberikan sapu tangan miliknya kepadaku. "Pakailah, hapus air matamu, sudah waktunya kamu harus pulih!" titahnya dengan nada membara.

Aku pun mengambil sapu tangan tersebut dan menghapus air mataku. "Terimakasih dok," ucapku masih menatap lurus ke luar jendela rumah sakit.

"Sama-sama,"

Setelah aku tenang, sang dokter tampan itu baru memperkeruh siapa dirinya dan siapa namanya.

"Halo, perkenalkan nama saya Najmi, psikiater baru kamu. Disini saya menggantikan dokter Amira, karena beliau sudah tidak bertugas disini lagi." ujarnya memperkenalkan dirinya.

Aku pun hanya tersenyum tipis. Lalu, mengangguk pelan.

"Nama kamu Nadira bukan? Saya banyak mengenalmu dari dokter Amira. Saya dengar, kamu gadis yang cerdas! Bahkan, dulunya adalah seorang apoteker, apakah itu benar?" tanya Najmi dengan antusiasme tinggi. Dokter tampan itu mencoba untuk mencari topik pembicaraan bersama dengan Nadira. Karena memang, Nadira adalah pasien terakhir yang Najmi visit hari ini.

Aku hanya mengangguk pelan. Tanpa berminat untuk menjawab pertanyaan dari dokter Najmi.

Najmi menghela napas kasar, sebab ia tidak bisa mendengar suara Nadira. Padahal, dirinya sudah sangat antusias untuk mendengar suara Nadira.

"Hem... baiklah, sepertinya kamu sedang tidak ingin berbicara pada saya." putus Najmi dengan nada pasrah. "Padahal saya sangat ingin mendengar suara kamu, Nadira." lanjut Najmi dengan wajah melas.

Najmi pun beranjak dari tempat duduknya dan hendak keluar dari ruangan Nadira. Namun, dengan cepat, gadis cantik itu segera memanggil kembali Najmi.

"TUNGGU..." Di detik-detik terakhir, akhirnya Najmi bisa mendengar suara gadis yang membuatnya rela untuk pindah ke rumah sakit jiwa ini. Padahal, karirnya diluar negeri sedang memuncak.

Dahulu, Najmi adalah seorang psikiater terkenal di Korea Selatan. Kepribadiannya yang menyenangkan membuat semua orang sangat kagum dan menyayanginya. Terlebih lagi, Najmi adalah psikiater muslim pertama yang sangat terkenal disana. Banyak dari pasiennya yang menangis saat tau dirinya akan kembali ke tanah kelahirannya, yaitu Indonesia tercinta.

Sebuah senyuman pun terbit diwajah tampan Najmi. Ia langsung berbalik arah dan berjalan menghampiri Nadira. "Akhirnya, kamu mengeluarkan suaramu juga!" sindir Najmi sembari terkekeh pelan.

"Jangan sok kenal!" ketusku kesal. Menurutku, dokter Najmi terlalu berlebihan dalam visit pasien.

Najmi terkekeh pelan. "Saya memang mengenalmu, Syaquella Nadira Athafurachman." gumam Najmi pelan, dan sialnya terdengar ditelinga Nadira.

"Dari mana anda tahu namaku?" tanya Nadira heran.

"Dari rekam medis mu," jawab Najmi beralibi. Tatapan teduh milik Najmi mampu membius hati Nadira.

Hati yang awalnya se-beku es, perlahan mulai mencair hanya dengan suara lembut dan tatapan teduh dari Najmi. 'Siapa dia?' batin Nadira bertanya-tanya. 'Entahlah, aku gak peduli! Lagian dia hanya seorang psikiater!' umpat Nadira dengan ekspresi wajah yang sulit dibaca.

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku