Renjana Juniantara, harus merelakan hidup bersama dengan Najamadra Jema, sahabat dari sang kekasih. Jema, dengan akal liciknya berhasil menipu dan merebut Juni dari sang sahabat, Dikta. Semua perlakuan kasar, toxic, dan juga penderitaan semakin dirasakan Juni setelah menikah. Dan ternyata, semua yang dilakukan Jema untuknya selama ini adalah untuk balas dendam kepada orang tua Juni.
Juni tersenyum cerah, langkahnya kini ringan menuju ruang tamu. Di tangannya nampak ada sebuah nampan yang berisi minuman yang baru saja ia siapkan sebelumnya.
"Dikta kecelakaan."
Dan dua kalimat singkat itu membuat Juni kini menghentikan langkahnya. Senyuman yang tadinya cerah di bibirnya kini meredup seketika. Kedua tangannya memegang erat nampan di tangannya. Perasaannya mendadak tak enak ketika mendengar kalimat tentang kekasihnya.
"Kak Dikta? Ada apa dengan kak Dikta?" ulang Juni yang membuat atensi beberapa orang yang ada di ruang tamu kini beralih ke arahnya. Sang ibunda kini beranjak dari duduknya, menghampiri Juni.
"Dikta kecelakaan" ujar pemuda tampan yang mengenakan blazer cokelat-hitam, duduk di sebrang sofa dari sang ayah.
'Pyar!'
Nampan yang tadinya di tangan Juni kini jatuh, membuat satu cangkir teh kini tumpah bercampur serakan pecahannya.
"Juni," sang ibunda kini mendekat, mengusap bahu Juni yang terlihat masih syok dengan kabar yang baru saja ia dengar.
"Kak Dikta..." lirih Juni. Air matanya hadir seketika.
"Lalu bagaimana keadaan Dikta, nak Jema?" tanya bu Diba-ibunda Juni-pada pemuda tadi, atau lebih tepatnya yang bernama-Jema.
Jema menarik nafas panjang, sebelum akhirnya menjawab, "Keadaannya kritis, Tante."
"Bagaimana kak Dikta bisa kecelakaan? Bunda, kak Dikta-" ujar Juni kini panik bukan main
"Juni, kamu tenang, Sayang..." ujar bu Diba mencoba menenangkan anaknya.
Bu Diba agaknya tahu bagaimana perasaan sang anak sekarang. Jelas khawatir. Dikta adalah kekasih yang begitu dicintai sang anak.
"Lalu dimana Dikta dirawat sekarang, Jema?" tanya pak Romi kini angkat bicara menanyakan keadaan calon mantunya pada Jema.
Jema, yang notabenya sahabat dari Dikta, kini bersikap tenang. Seolah itu bukanlah kabar yang buruk. Tidak ada ekspresi yang berarti yang terlihat di wajahnya, meski kabar yang dibawanya bukanlah kabar yang baik.
"Dikta sekarang dirawat di rumah sakit Bandung, Om." Jema menjawab masih dengan sikap tenangnnya.
"A-ayah...Juni mau kesana, Juni mau ketemu sama kak Dikta, Ayah..." ujar Juni dengan tangisnya.
"Tapi, Sayang, Ayah sama Bunda tidak bisa mengantarmu untuk ke Bandung, Nak. Tante Fiva sakit, Ayah sama Bunda harus ke sana," ujar Bu Diba.
"Tapi Bunda...Kak Dikta..."
"Biar saya yang mengantar Juni, Tante." Jema kini menimpali. Nadanya lembut mencoba menawarkan bantuan pada keluarga yang memang tengah diliputi rasa khawatir tersebut.
Bu Diba memandang suaminya, mencoba meminta persetujuan. Pak Romi sedikit terdiam, Jema memang sahabat dari Dikta, hanya saja, membiarkan anak gadisnya pergi hanya berdua dengan seorang lelaki keluar kota, itu sedikit mengkhawatirkan.
"Ayah...Juni mau ketemu kak Dikta," ujar Juni dengan isakan.
Bu Diba mengusap lembut bahu Juni. Perasaan yang khawatir bukanlah hal yang muluk untuk dirasakan anaknya saat ini. Mengerti benar posisi Juni sekarang.
"Saya akan jaga Juni, Om." Tak segera mendapat jawaban, Jema kembali menambahkan.
Om Romi menarik nafas panjang, dengan pelan ia mengangguk. Cukup untuk menjawab ucapan Jema yang menawarkan. Dan itu berarti pula membuat sedikit banyak Juni juga tenang, karena sebentar lagi ia akan bertemu dengan Dikta. Kekasihnya.
"Bagus..." gumam Jema tanpa suara, dan senyuman tipis yang yang tercipta di bibir Jema.
***
Hari berganti. Kini dengan masih diselubungi dengan perasaan was-was dan penuh khawatir, Juni memandang jalanan dari kaca mobil yang ia kendarai bersama Jema. Mereka benar-benar berangkat hari ini. Sudah tak bisa lagi Juni menahan rasa khawatirnya, dan keinginan untuk menemui Dikta. Tadinya, dirinya ingin malam itu juga untuk pergi. Namun pak Romi menyarankan untuk pergi pagi hari. Dan di sinilah Juni dan Jema sekarang.
"Kamu nggak perlu khawatir berlebihan seperti itu, Juni." Jema memecah keheningan.
Juni menyeka air matanya, masih diam.
"Dikta baik-baik saja-ehm... maksudku, dia bukan orang yang lemah, 'kan? Dikta baik-baik saja," ujar Jema
Juni mengangguk pelan. Ia menoleh kearah Jema dengan senyuman tipis, meski jejak air mata masih ada di wajahnya.
"Aku tahu itu, Kak," ujar Juni menjawab.
Jema tersenyum paksa mendengarnya. Pandangannya kini kembali beralih pada jalanan.
"Kak Dikta orang yang baik, kak Dikta orang yang kuat. Kak Dikta sudah Janji denganku, setelah proyek kerja nya kali ini, dia akan menikahiku. Kak Dikta nggak mungkin lupa akan hal ini, Kak."
Jema tak menjawab, ia masih dengan fokus menyetir. Dan ia rasa, sepertinya tak perlu menjawab ucapan Juni yang selalu dan akan selalu memuji Dikta. Karena itu bukan hal yang asing bagi telinganya. Sejenak, tak ada lagi yang bersuara. Larut dalam pikiran masing-masing sembari memandang jalanan yang mereka lalui.
"Kak Jema," panggil Juni.
"Iya, kenapa Juni?"
"Ini bukan jalan arah Bandung," ujar Juni sedikit memfokuskan pandangan pada jalanan. Netra hazelnya sedikit mengerjap pelan, merasa asing dengan jalanan yang mereka lalui kali ini.
"Ini jalan pintas, Juni."
Juni terdiam, tak ada pilihan lain selain mengangguk meski sedikit merasa aneh.
"Sebentar lagi, nggak bakal lagi kamu bilang tentang Dikta," gumam Jema tersenyum melirik Juni yang masih menatap jalanan dari kaca mobil.
***
"Kak," panggil Juni turun dari mobil. Sedikit merasa aneh dengan tempat yang ada di depannya kali ini. Bangunan tinggi dengan puluhan lantai, itu jelas bukan Rumah Sakit.
"Iya?" jawab Jema yg Kini turun dari mobil merahnya. Sedikit tersenyum melihat raut bingung dari gadis polos bernama Juni ini.
"Kita di mana?" tanya Juni.
Senyuman smirk kini tercipta dibibir Jema mendengar pertanyaan dari Juni.
"Ini apartemen kakak," ujar Jema dengan santai
Juni menoleh, memandang Jema dengan tanya. Netra hazelnya sedikit mengerjap pelan, alisnya kini tertaut mendengar ucapan Jema.
"Apartemen? Kak, kita 'kan mau ke rumah sakit, bukan-"
"Hari sudah malam Juni, dan perjalanan masih jauh, nggak ada salahnya kita istirahat sebentar 'kan?" potong Jema.
Juni terdiam, ia kini melihat arlojinya. Pukul 22.45. Ya, hari yang melelahkan untuknya. Dalam perjalanan seharian. Gadis itu menggigit bibir bawahnya pelan. Tak munafik, dirinya juga Lelah karena perjalanan yang cukup jauh. Namun di sisi lain, Juni ingin dengan segera bertemu dengan Dikta.
"Ayo, kita masuk, kita akan ke rumah sakit besok pagi," ujar Jema.
"Tapi-"
"Kakak janji akan membawamu menemui Dikta besok, hari ini kita istirahat dulu, ya?"
Juni menghela napas panjang, lagi-lagi ia tak ada pilihan lain selain menurut akan ucapan sahabat dari kekasihnya. Ia kini perlahan melangkah, memasuki apartemen.
"Sebentar lagi, Sayang..." lirih Jema dengan senyuman lalu mengikuti gadis dengan netra hazel tersebut.
"Ruang 227," kata Jema pada resepsionis yang ada tak jauh dari pintu masuk.
"Ini, Pak." Dengan segan, petugas menyerahkan satu kunci pada Jema.