Evelyn terpaksa menikah dengan abang iparnya setelah lima tahun kematian kakaknya. Sebab, lelaki itu enggan untuk menikah lagi, membuat putrinya kekurangan kasih sayang dan selalu terabaikan. Evelyn mengira hanya ia yang tidak suka dengan pernikahan itu. Ternyata ia salah besar, Vernon juga tidak menyukai pernikahan mereka. Ia kaku, dingin, dan juga kasar. Bahkan sampai main tangan. Membuat Evelyn kerap kali ingin mengakhiri hubungan mereka, tapi ia tetap bertahan demi Joy, putri sambungnya. Di sisi lain, Evelyn dilamar oleh bosnya di tempat bekerja, yang mana lelaki itu adalah cinta pertamanya. Pernikahannya dengan Vernon hanya diketahui oleh keluarga, jadi bosnya mengira jika ia masih lajang. Evelyn langsung menerima. Namun, ternyata itu tidak semudah yang ia bayangkan. Vernon marah besar saat tahu Evelyn menjalin hubungan dengan lelaki lain, sementara mereka masih terikat dalam pernikahan. Bagaimana kisah cinta mereka akan berakhir?
"Kau tidur di kamar Joy saja." Vernon berucap dengan dingin. Ia bahkan tidak menoleh sama sekali pada wanita yang baru saja ia nikahi itu.
Evelyn Arabella. Nama wanita cantik yang tengah berdiri dengan bingung di samping ranjang milik Vernon. Ia memeluk guling dengan erat, mengerutkan kening mendapatkan kalimat perintah seperti itu.
Mungkin mereka memang belum bisa menerima satu dengan yang lain. Namun, tidur di kamar Joy bukanlah solusi yang baik. Anak itu akan banyak bertanya mengapa maminya tidak tidur dengan papanya. Lalu, besok anak itu akan menjawab dengan jujur ketika ditanya oleh omanya.
"Apa kau tuli?" Lelaki itu bertanya dengan datar, tapi terdengar sangat menusuk oleh Evelyn. Sesungguhnya mereka sama-sama tersiksa dengan perjodohan ini.
Evelyn hanya diam. Ia menatap lelaki yang berstatus kakak iparnya itu dalam beberapa tahun ini, lantas kini berubah status menjadi suami.
Vernon berbalik, menatap Evelyn yang masih berdiri dengan tenang di sisi kiri ranjang. Ia menatap dengan tajam, seolah menegaskan bahwa ia tidak menerima kehadiran wanita itu di sana.
"Apa kau lupa pesan mama, Vernon?" Evelyn mengingatkan pesan sang ibu mertua agar mereka bisa tidur dalam satu ranjang.
"Aku sepuluh tahun lebih tua darimu, setidaknya kau punya sopan santun dalam memanggil." Lelaki itu semakin menatap tajam.
Evelyn bisa merasakan kedinginan dari sikap lelaki itu.
"Apa kita perlu panggilan sayang?"
"Tutup mulutmu dan lekas enyah dari kamarku!" Vernon berucap dengan kasar, lantas bangkit berdiri untuk mematikan lampu kamar. Ia bersikap seolah tidak ada Evelyn di sana.
Wanita 25 tahun itu hanya bisa menghela napas dalam. Kemudian berlalu begitu saja keluar dari kamar.
Evelyn berjalan menuruni anak-anak tangga. Kaki jenjangnya membawa ia menuju ruang keluarga. Tadi siang, ruang itu sangat ramai, sebab semua keluarga besar berkumpul di sana. Mengantarkan mereka setelah melakukan pemberkatan di gereja. Tidak ada resepsi sama sekali, karena bagi Vernon menikah itu hanya satu kali dan ia tidak ingin naik pelaminan untuk yang kedua kali.
Lagi-lagi Evelyn hanya bisa menarik napas dengan berat. Ia tidak pernah menyangka jika hidupnya akan seperti ini. Ia selalu penasaran akan jodoh yang akan datang menemui, tapi setelah jodoh itu datang ia malah menyesali.
Vernon bukan tipe ideal bagi Evelyn. Lelaki itu sangat kaku, datar, dan tidak hangat sama sekali. Ketampanan yang ia miliki tidak berarti apa-apa bagi Evelyn. Semuanya luntur karena sikapnya yang teramat dingin.
Pandangan Evelyn terfokus pada foto pernikahan di dinding. Ada banyak foto kakaknya juga yang tergantung di sana.
Wanita yang mengenakan piama maroon itu bangkit berdiri, berjalan mendekat pada foto kakaknya. Ia tidak pernah membenci wanita itu, hanya saja ia sangat menyesalkan bahwa kakaknya bisa jatuh cinta pada lelaki seperti Vernon. Dan kini, Evelyn harus menanggung akibatnya. Wanita di foto itu meninggal ketika melahirkan Joy lima tahun silam. Dan Evelyn harus menggantikan posisi wanita itu karena desakan kedua belah pihak keluarga.
Evelyn dan kakaknya memiliki garis wajah yang sama. Mereka sama-sama cantik, hanya saja kakak Evelyn memiliki wajah sedikit lebih cantik dibanding dirinya. Pikiran wanita itu mulai mengembara entah ke mana. Matanya menatap foto sang kakak, tapi pikirannya entah berada di mana.
"Mami, Mami belum tidur?"
Pertanyaan Joy membuat Evelyn terenyak. Ia berbalik, menatap gadis mungil yang kini tengah berdiri di belakang dirinya. Sebuah senyum terbit di bibir wanita itu.
"Sweety, kamu kenapa belum tidur?" Evelyn bertanya seraya membungkuk, menangkup kedua pipi anak sambungnya itu.
"Joy tidak bisa tidur, Mi." Joy menatap Evelyn dengan sangat dalam. Ia merasa bahwa wanita itulah ibunya yang sebenarnya. Sebab, wanita itu sangat mirip dengan wanita di foto yang sering papanya ucap sebagai mama Joy.
"Mau Mami temani?" Evelyn menawarkan.
"Mau, mau!" Joy langsung menjawab dengan girang. Sudah lama ia ingin tidur sembari memeluk mamanya, dan kini akhirnya keinginan itu terkabul juga setelah menanti sekian lama.
Evelyn membawa Joy ke dalam gendongan, lalu beranjak menuju kamar. Biar bagaimana pun ia menyayangi gadis kecil itu. Meskipun ia tidak diterima dengan baik oleh Vernon di rumah ini.
***
Evelyn menggeliat beberapa kali, meregangkan otot setelah bangun dari tidur. Sementara Joy masih terlelap di ranjangnya dengan sangat pulas. Ia terlihat begitu imut dan menggemaskan jika dalam keadaan tertidur seperti itu.
Satu kecupan Evelyn berikan pada kening Joy, lalu beranjak untuk turun dari ranjang. Ia bergegas menuju kamar Vernon, sebab semua barangnya berada di sana.
Saat memutar gagang pintu, daun pintu tidak bisa dibuka sama sekali. Pintu terkunci dari dalam. Evelyn berdecak kesal, sebab sikap Vernon benar-benar telah menunjukkan permusuhan. Lelaki itu sungguh mengobarkan bendera peperangan. Ia bahkan tidak diizinkan untuk masuk, meski ia tidak tidur di sana.
"Vernon! Buka pintunya! Aku ingin mandi!" Evelyn berucap dengan nada tinggi. Ia harus bekerja pagi ini, sebab tidak ada mengambil cuti pernikahan. Bahkan para temannya pun tidak tahu mengenai pernikahan itu.
"Vernon!" Lagi, Evelyn mengetuk pintu dengan kuat. Ia memanggil sangat keras hingga urat lehernya mencuat.
"Vernon! Aku bisa terlambat kerja! Baju-bujuku ada di dalam koper semua!"
Pintu terbuka dengan sosok Vernon di baliknya. Tampaknya lelaki itu sengaja mengunci pintu karena ia tengah mandi dan tidak ingin Evelyn masuk ke sana, terbukti dengan handuk yang melilit di pinggang juga kulit yang basah.
"Berisik!" ucap Vernon sembari kemunculannya di balik pintu.
Seketika Evelyn membatu. Matanya terbelalak. Ia menelan saliva dengan susah payah. Jantungnya berdegup dengan sangat cepat. Ia belum pernah melihat lelaki seseksi itu. Seketika keringat dingin membasahi jidatnya. Wanita itu memucat.
"Sebaiknya kau berhenti bekerja." Vernon berucap dengan dingin. Ia menyerahkan koper pink milik Evelyn.
"A-apa hakmu memintaku untuk berhenti bekerja?" Evelyn menjawab dengan gugup. Ia ingin terlihat cuek dan dingin di hadapan Vernon, tapi jantungnya tidak bisa diajak untuk bekerja sama. Dada bidang lelaki itu membuat dirinya hilang akal.
"Karena aku menikahimu agar kau bisa fokus mengurus Joy." Vernon menjawab dengan datar.
Evelyn tertawa tipis. Ia baru sadar bahwa dirinya dimanfaatkan oleh banyak orang. Harusnya tidak perlu menikah jika memang tujuannya adalah Joy. Sebab, ia akan dengan senang hati merawat anak kecil itu seperti anaknya sendiri tanpa harus dipaksa untuk menjadi istri lelaki berhati batu itu.
Evelyn tidak menjawab, ia bergegas untuk masuk ke kamar. Namun, langsung ditahan oleh Vernon.
"Kau bisa menempati kamar tamu jika kamar Joy terlalu kecil untukmu." Vernon berucap angkuh, ia tidak mengizinkan Evelyn sama sekali untuk masuk ke dalam kamarnya.
Evelyn menarik napas dalam. Ia memberikan senyum smirk dengan tatapan tajam.
"Aku akan tetap menempati kamar ini, jika kau tidak nyaman, kau saja yang menempati kamar tamu." Evelyn menjawab dengan nada tidak kalah angkuh. Ia menarik kopernya untuk kembali dibawa masuk. Sementara Vernon hanya diam, ia telah salah dalam menilai Evelyn. Ternyata mengendalikan Evelyn tidak semudah yang ia bayangkan.