Jingga, seorang penari cerdas berbakat berdarah Flores-Jawa, mendapatkan beasiswa untuk mempelajari tari kontemporer di The Juilliard School. Ia berkenalan dengan Langit, seorang mahasiswa berdarah Korea-Indonesia yang mendapatkan beasiswa S2 Astrofisika Universitas Columbia. Perjumpaan keduanya melahirkan romansa cinta. Namun, dibalik indahnya rasa, keduanya sama-sama menyimpan trauma masa kecil, dan perbedaan-perbedaan prinsip yang membuat hubungan keduanya tak pernah mulus. Di persimpangan, muncul Dimas, teman masa kecil Jingga, dan Hannah, mantan kekasih Langit. Akankah hubungan Jingga dan Langit berakhir bahagia? Apakah cinta yang kuat cukup untuk membuat keduanya terus bersama?
[Jingga]
Daun-daun cokelat lusuh bertumpuk-tumpuk di atas tanah. Sesekali, tiupan angin kencang membuat dedaunan berterbangan hingga ke jalanan, beradu dengan aspal, dan menghadiahkan bunyi 'kreek...kreek' yang mengganggu telinga. Aku tak tahu, apakah orang-orang lain t.erganggu oleh bunyi itu. Barangkali tidak. Semua orang berjalan buru-buru seperti mengejar atau dikejar sesuatu, juga seperti ditunggu seseorang di tempat yang mereka tuju. Seseorang yang mungkin marah-marah jika mereka tidak tiba tepat waktu. Kuperhatikan seorang perempuan bertubuh tambun, yang memakai jajet musim gugur berwarna biru terang, dan memeluk kantong kertas berwarna cokelat tanah. Hijaunya bayam dan pasta yang bak lidi berwarna kuning pucat menyembul dari balik kantong, dan aku langsung membayangkan makan malam yang akan disantapnya bersama keluarganya. Pukul 15.45 waktu New York. Orang-orang akan makan malam sebelum jam enam sore, dan bagiku ini sungguh aneh. Di kamar kosku yang sempit di Jakarta, aku selalu makan setelah jam delapan malam. Setelah sebulan di kota ini, perutku malah serasa disesaki jutaan kecoa yang bergerak kesana kemari jika aku makan setelah jam enam sore.
Betapa ajaibnya cara tubuh menyesuaikan diri di tempat baru, mengikuti aturan-aturan yang sebelumnya tidak mengikatnya, namun mesti ia ikuti.
Sang ibu yang kuperhatikan menoleh ke arahku, lantas tersenyum menangguk. Kuperhatikan, meski selintas lalu, keriput memenuhi wajahnya, dan rambutnya yang sembunyi di bawah topi wol berwarna merah marun terlihat berwarna keperakan. Ia tampak tua, dan layu. Meski begitu, pupilnya yang cokelat terang memancarkan jenaka yang kanak-kanak. Membuatku teringat pada deskripsi heyoka, empath terkuat dalam tradisi suku Indian, suku asli negeri Amerika, yang digambarkan tua sekaligus kanak-kanak. Biasanya, empath berjenis kelamin laki-laki. Namun, entah mengapa, otakku menyusun sebuah cerita sendiri, tentang perempuan yang baru saja kulihat : ia seorang empath, dan bisa merasakan diriku yang sedang mengamatinya.
Aku balas tersenyum, ikut mengangguk. Lalu, terus melangkahkan kakiku. Kuperhatikan sepatu bootku. Cokelat karamel warnanya. Sungguh lucu. Semasa kanak-kanak, aku suka makan wafer cokelat karamel. Bahkan, berkelahi dengan satu-satunya adikku, Luis, yang suka makan apa pun yang manis-manis. Gigiku sampai berlubang, kecokelatan dan dipenuhi ulat karena kebiasaan buruk makan cokelat sebelum tidur. Setelah sakit gigi pada usia tujuh tahun, aku berhenti menyukai cokelat dan makanan yang manis-manis. Aku hanya mau makan buah-buahan saja. Tapi, setiba di New York, aku tak bisa tidak kembali menyukai makanan yang manis-manis. Chocolate chip cookies dan brownies, mocacino dan soda. Dan, entah mengapa, setiap hari aku mengenang mama.
Jika masih hidup, usianya akan lima puluh tujuh tahun. Seusia perempuan yang baru kulihat tadi. Setiap jam tiga petang, ia biasanya berdoa di kapela, gereja kecil di kampung, selama satu jam. Pada jam empat sore, ia mulai memasak makan malam. Bapak, yang saban hari berladang, akan makan saat matahari tenggelam. Sedangkan, ia dan adiknya makan pada jam tujuh malam. Mama selalu makan satu jam sebelum tidur. Ia membawa kebiasaan itu sejak sebelum menikah. Pagi-pagi, pukul empat, ia sudah bangun dan mengurusi barang dagangannya di pasar ; sayur mayur dan lauk pauk. Ia pulang ke rumah pada pukul sebelas, lantas memasak untuk makan siang, istirahat, ke gereja, memasak lagi, dan tidur. Setiap hari, ia mengulang pekerjaan yang sama.
"Mama tidak bosan?"
Pernah kutanyakan padanya pertanyaan yang ia anggap konyol itu.
"Bosan, tapi mama menyayangi kalian, dan karena mama menyayangi kalian, pekerjaan ini jadi tidak membosankan."
Aku tak mengerti mengapa mama tidak merasa hidupnya membosankan meski yang dilakukannya itu-itu saja. Bagiku, apa yang ia lakukan terlihat bukan saja membosankan, tapi juga bagai sebuah kutukan yang harus dijalani, tanpa ia punya pilihan lain. Aku tak ingin jadi sepertinya. Barangkali, karena itulah aku memilih berkesenian. Aku memilih menari. Membebaskan tubuhku dari sederetan aturan yang tak perlu. Hanya lewat tarianlah, aku menjadi pemberontak yang menang. Tubuhku mengawini ritme dan melodi, bukan keharusan menjadi begini atau begitu. Mama tak pernah menyetujui keputusanku untuk tekun menari. Tari tradisional pula!
"Hidup sebagai seniman bukan pilihan yang baik. Apalagi kau perempuan. Ada batas waktunya. Kau tidak mungkin menari seumur hidup..."
Ucapan mama membuat hatiku panas. Mengapa ia tak mendukungku? Bukankah seorang ibu seharusnya menduking keputusan anak perempuannya?
"Daripada jadi penari, lebih baik kau kuliah perbankan. Lalu, melamar jadi PNS atau karyawan bank."
Aku menolak ide-ide absurd dan kolot mama. Saat itu, bahkan hatiku yang sudah kadung panas, menuding mama ingin menjerumuskanku ke kehidupan yang sama membosankan seperti kehidupannya ; menjadi ibu rumah tangga. Kuperhatikan, biasanya, perempuan di kampung yang telah selesai kuliah akan dinikahkan oleh keluarganya. Aku tak mau memiliki nasib yang sama. Aku ingin mengisi otakku dengan macam-macam pengetahuan, menghubungkan setiap pengetahuan itu, dan merumuskan formula hidup yang mau kupakai. Aku ingin menjelajahi laut, bukit-bukit, dan menyusuri sungai. Aku ingin menjelajahi negeri-negeri jauh, bicara dalam bahasa asing dan menyerap kebiasaan yang bukan kebiasaanku.
Kuputuskan mengambil program studi seni tari, meninggalkan kampung, dan bersumpah tak akan pernah kembali kecuali untuk berlibur. Kuputuskan juga untuk tidak menikah, tidak mengikatkan diriku pada tugas membosankan yang tak mengenal kata purna.
Pada liburan terakhir, setelah diwisuda, mama meninggal. Aku menungguinya selama tiga puluh jam di rumah sakit, terjebak dalam rasa takut dan kecemasan yang membikin otakku membeku. Saat dokter mengatakan ia meninggal, aku seketika berubah menjadk robot. Kumatikan segenap tombol rasa. Setelah enam bulan kepergiannya, aku baru bisa menangisinya. Barangkali, ia juga baru bisa meninggalkanku selepas enam bulan itu. Ada kepercayaan di kampung kami, seseorang yang telah meninggal tidak pernah benar-benar pergi. Mereka akan terus mendampingi kerabatnya. Terutama anggota keluarga yang belum bisa melepas kepergian mereka. Kukira, itulah yang terjadi padaku. Berkali-kali aku melihat sosok mama. Dan, beberapa kali juga ia jadi suara yang menggema dalam batin, memberiku kekuatan untuk bertahan sambil memeluk erat kenanganku sebagai seorang kanak-kanak. Aku seperti melihat diriku dari sudut pandangnya, dan memahami betapa ia mencemaskan diriku dua kali lebih sering dari aku mencemaskan diriku sendiri. Betapa doa-doa yang ia panjatkan bukanlah doa untuk dirinya sendiri, melainkan doa untuk keluarganya. Dan, betapa perseteruan hebat antara ibu dan keluarganya, terjadi semata-mata karena ia membelaku, dan tidak ingin seorangpun mengusik pilihan hidupku.
Mama menukar hidupnya untuk hidupku. Dan, ketika aku melihat lagi dedaunan yang gugur ditiup angin sehingga bergerak bebas di jalanan, aku mengingat lagi saat-saat terakhir ketika ia bahkan tak bisa bernapas dengan leluasa, dan tubuhnya yang tambun menjadi tubuh tak berdaya umpama bayi yang baru lahir. Kehidupan manusia tak jauh berbeda dari apa yang terjadi pada pepohonan menjelang musim dingin. Seluruh daunnya gugur, agar ia bisa bertahan hidup. Kemudian, setelah melewati mati yang sementara itu, ia akan bersemi lagi. Ranting-ranting kembali bertunas. Kehidupan hadir lagi dalam perulangan bentuk, pada masa yang berbeda.
Entah mengapa, aku selalu yakin, kematian mama adalah kelahiran bagiku....