Langit Jingga
ngg
ditunggu seseorang di tempat yang mereka tuju. Seseorang yang mungkin marah-marah jika mereka tidak tiba tepat waktu. Kuperhatikan seorang perempuan bertubuh tambun, yang memakai jajet musim gugur berwarna biru terang, dan memeluk kantong kertas berwarna cokelat tanah. Hijaunya bayam dan pasta yang bak lidi berwarna kuning pucat menyembul dari balik kantong, dan aku langsung membayan
tempat baru, mengikuti aturan-aturan yang sebe
mpak tua, dan layu. Meski begitu, pupilnya yang cokelat terang memancarkan jenaka yang kanak-kanak. Membuatku teringat pada deskripsi heyoka, empath terkuat dalam tradisi suku Indian, suku asli negeri Amerika, yang digambarkan tua sekali
uis, yang suka makan apa pun yang manis-manis. Gigiku sampai berlubang, kecokelatan dan dipenuhi ulat karena kebiasaan buruk makan cokelat sebelum tidur. Setelah sakit gigi pada usia tujuh tahun, aku berhenti menyukai cokelat dan makanan yang m
apak, yang saban hari berladang, akan makan saat matahari tenggelam. Sedangkan, ia dan adiknya makan pada jam tujuh malam. Mama selalu makan satu jam sebelum tidur. Ia membawa kebiasaan itu sejak sebelum menikah. Pagi-pagi, pukul empat, ia suda
tidak
anya pertanyaan yang
dan karena mama menyayangi kalian,
alani, tanpa ia punya pilihan lain. Aku tak ingin jadi sepertinya. Barangkali, karena itulah aku memilih berkesenian. Aku memilih menari. Membebaskan tubuhku dari sederetan aturan yang tak perlu. Hanya lewat
ik. Apalagi kau perempuan. Ada batas waktuny
tak mendukungku? Bukankah seorang ibu sehar
kau kuliah perbankan. Lalu, mela
, biasanya, perempuan di kampung yang telah selesai kuliah akan dinikahkan oleh keluarganya. Aku tak mau memiliki nasib yang sama. Aku ingin mengisi otakku dengan macam-macam pengetahuan, menghubungkan setiap pengetahuan itu
tak akan pernah kembali kecuali untuk berlibur. Kuputuskan juga untuk tidak meni
kepercayaan di kampung kami, seseorang yang telah meninggal tidak pernah benar-benar pergi. Mereka akan terus mendampingi kerabatnya. Terutama anggota keluarga yang belum bisa melepas kepergian mereka. Kukira, itulah yang terjadi padaku. Berkali-kali aku melihat sosok mama. Dan, beberapa kali juga ia jadi suara yang menggema dalam batin, memberiku kekuatan untuk bertahan sambil memeluk erat kenanganku sebagai seora
engan leluasa, dan tubuhnya yang tambun menjadi tubuh tak berdaya umpama bayi yang baru lahir. Kehidupan manusia tak jauh berbeda dari apa yang terjadi pada pepohonan menjelang musim dingin. Seluruh daunnya gu
u yakin, kematian mama a