Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Pelarian Termanis

Pelarian Termanis

sundaetomon

5.0
Komentar
365
Penayangan
3
Bab

"Catch u 'till I got u!" Pasca malam kelam yang menghancurkan hidup Vaya, ia justru tidak tahu siapa lelaki yang bersamanya. Lima tahun kemudian, ia bertemu dengan seseorang yang ... samar-samar seperti orang di malam itu! Apakah Vaya akan menemuinya? Atau bersembunyi bersama buah hatinya, Zio?

Bab 1 001: Gadis Naif

New York, 2012 ...

"Enggh ... Selena! Kau mau membawaku ke mana?" tanya Vaya.

Sejak meninggalkan Cafe, kepalanya terasa berat. Padahal Vaya hanya minum segelas jus, namun entah kenapa tiba-tiba pusing menyerang kepalanya.

Langkahnya pelan mengikuti Selena, sahabatnya selama study di New York. Entah ke mana Selena akan membawanya, Vaya tidak tahu. Yang jelas ini bukan jalan menuju apartementnya.

"Tenanglah Vay, sebentar lagi kita akan sampai." Selena menenangkan. "Aku mengantarkanmu beristirahat, bukan untuk macam-macam," sambungnya lagi.

Selena tersenyum miring melihat Vaya yang mulai tak mampu untuk berjalan sendiri.

Hap!

Sesaat sebelum Vaya terjatuh, buru-buru Selena menangkapnya.

"Jangan sampai lecet, kau hari ini aset berhargaku, Vaya." Selena bergumam pelan.

Naas, pusing di kepala Vaya semakin menjadi. Ia tidak bisa mendengar secara jelas apa yang dikatakan oleh Selena, bahkan perlahan kesadarannya mulai menghilang.

Presiden suite room number 4088.

Selena berhenti.

"Akhirnya, sepuluh dolarku! Aku akan segera menjemputmu!" gumamnya bahagia.

Dibukanya pintu yang tak terkunci itu, tampak kamar dengan lampu redup. Selena yakin lelaki tua kesepian dan butuh hiburan telah berada di dalam sana menanti daun muda bawaannya.

"Masuklah Vay, aku akan kembali begitu aku membeli beberapa obat pereda nyeri kepala," bisik Selena sambil mendorong Vaya ke dalam kamar tersebut.

Jelas sekali ia tidak akan kembali setelahnya. Ia segera menutup pintu tersebut. "Nah, sekarang aku tinggal menunggu uang bagianku!" Selena tertawa bangga.

"Ah, Vaya! Terima kasih karena berkatmu aku mendapat uang banyak hari ini, ha ha hah!" Selena tertawa, lalu berlalu meninggalkan hotel tersebut.

Selena tak peduli dengan apa yang akan terjadi di dalam. Tentu itu bukanlah urusannya lagi.

"Selamat menikmati malam yang bergairah, Vaya. Aku tahu aku teman yang baik karena memberimu obat itu untuk merasakan kenikmatan dunia, ha ha ha!"

Dengan wajah tanpa dosa, Selena benar-benar pergi meninggalkan hotel tempat di mana ia mendorong Vaya menuju kamar yang tidak diketahui siapa tuannya malam ini.

...

Di dalam ruangan ...

BRAK!

Suara pintu tertutup terdengar hingga ke telinga lelaki yang duduk di sofa sembari meminum anggur di tangannya.

"Oh, sudah datang?" tanyanya sembari tersenyum tipis.

Dengan kesadaran yang tersisa, Vaya berusaha melihat ke depan.

Sayangnya ia tak bisa melihat apa-apa selain siluet tubuh seorang pria dengan tubuh tinggi di hadapannya. Netranya terlalu sulit mengenali objek karena cahaya yang begitu minim.

"Ck ..." Pria di hadapan Vaya berdecak. "Pelayanan kali ini benar-benar lambat. Bisa-bisanya aku dibiarkan bosan menunggu sambil meminum anggur!" keluhnya.

"Awas saja kalau sampai tidak memuaskan, aku benar-benar akan memecat mereka semua!" ancamnya.

"Si-siapa kau?"

Suara Vaya terdengar mencicit.

Ia benar-benar tak lagi mampu menahan pening di kepalanya, sementara lelaki di hadapannya justru tersenyum miring sembari berjalan menghampiri Vaya.

Syut!

"Aku ... tuanmu malam ini," bisiknya tepat di telinga Vaya usai menangkap tubuh yang akan segera menyentuh lantai itu.

"Sepertinya mereka sudah gila, membawakanku gadis yang pingsan seperti ini!" gerutunya lagi.

Dipapahnya tubuh Vaya menuju kasur dan dibaringkannya perlahan.

"Ukh ... panas!"

Obat sesungguhnya yang dilarutkan Selena dalam minuman Vaya baru saja bereaksi. Tentu bukan pingsan tujuannya, namun memberi rangsangan bagi penggunanya.

Dengan mata terpejam, Vaya mulai melepas satu per satu pakaiannya.

"Panas ... panas ..." Vaya semakin mengeluh.

Melihat Vaya yang seperti cacing kepanasan, lelaki di sebelahnya tersenyum. "Kau merasa panas, huh?" tanyanya.

"Ya ... panas, akh!" Vaya terus meracau tidak jelas. "Tolong aku, rasanya aku seperti terbakar!"

"Kalau begitu ... biar aku yang membakarmu lebih banyak lagi," ucapnya diiringi senyuman misterius.

...

"Akh ..."

Suara rintihan terdengar dari arah kasur.

Vaya perlahan membuka matanya. Baru saja ia akan meluruskan tulang-tulangnya, ia merasakan nyeri luar biasa terutama di bagian inti tubuhnya.

"Aneh sekali ... aku bangun dengan tubuh kesakitan. Bahkan ... mimpiku pun tak seperti biasanya," gumamnya. "Rasanya seperti benar-benar nyata!" Ia melanjutkan.

"T-tunggu dulu ..."

Vaya menyadari ada yang aneh. Dinding ruangan, kasur yang sedang ia tiduri, ornamen sekelilingnya ... semua benar-benar asing.

"D-di mana aku?" tanyanya pada dirinya sendiri.

Ketika udara dari AC berembus, Vaya merasakan dingin menyentuh kulitnya. Ia baru sadar bahwa kulit tangannya terekspos, padahal jelas semalam ia mengenakan jaket panjang.

Mata Vaya mulai menjelajahi sekeliling.

Air matanya perlahan luruh begitu menemukan pakaiannya telah berserakan di lantai.

Craaash!

Terdengar suara pancuran air dari pintu di sebelah kanan.

Jelas itu adalah kamar mandi yang tentu sedang digunakan oleh seseorang.

Vaya menyibakkan selimut, mendapati dirinya benar-benar bersih tanpa sehelai benang pun. Air matanya perlahan luruh.

"A-apa ... y-yang ... sebenarnya terjadi?" tanyanya pada dirinya sendiri.

Kepalanya kembali memutar ingatan kejadian semalam, dimulai dari Selena yang mengajaknya makan di salah satu Cafe, kepalanya yang terasa pusing dan ...

"A-apa Selena yang menjebakku?" tanyanya lagi. "Ga, ini ga mungkin."

Vaya berusaha meyakinkan diri bahwa Selena bukan pelakunya, namun rekam jejak ingatannya jelas berusaha menyadarkan Vaya bahwa satu-satunya orang yang bersamanya semalam adalah Selena.

Selena membawanya ke sebuah tempat begitu ia pusing, lalu mendorongnya masuk. Jelas itu adalah Selena.

Air mata Vaya mulai menderas.

Ia segera turun dari kasur. Tidak peduli dengan rasa sakit yang menyiksanya, ia buru-buru memungut kembali pakaiannya yang berserakan dan segera dikenakan kembali.

Saat akan pergi, Vaya melihat jelas bercak darah di atas kasur yang langsung ditutupinya dengan selimut.

Sebelum seseorang dari dalam kamar mandi keluar, Vaya mengeluarkan sticky note dan pulpen dari dalam tasnya. Ia buru-buru menulis pesan terakhir dan menempelkannya di nakas, lalu keluar dari kamar tersebut.

Vaya terus berjalan hingga ke tepi hotel, memberhentikan salah satu hotel untuk membawanya kembali pulang.

Sepanjang jalan Vaya menangis. Air matanya tak kunjung reda. Hilang sudah mahkota berharga yang telah dijaganya selama bertahun-tahun oleh lelaki yang bahkan Vaya tak tahu wujudnya.

Cklek.

Begitu Vaya meninggalkan kamar, lelaki yang sejak tadi mandi akhirnya keluar dari kamar mandi.

Dilihatnya sekeliling, tidak menemukan sosok wanita yang sejak semalam bersamanya.

"Sudah pergi, ya?" gumamnya. "Padahal aku belum membayarnya."

Dengan tubuh setengah tertutup-maksudnya hanya mengenakan handuk yang menutupi bagian bawah tubuhnya, pria itu berjalan menuju kasur.

Sisa-sisa air di rambutnya menetes ke bahunya yang tercetak sempurna. Siapa pun wanita yang berada di sisinya tentu rela menghabiskan waktu untuk sekadar mengeringkan rambut lelaki tersebut, namun wanita yang menghabiskan waktu dengannya semalam justru menghilang begitu saja.

Sesuatu berwarna kuning di atas nakas menarik perhatiannya.

Ia segera menariknya untuk mengetahuinya lebih lanjut. Secarik pesan yang ditinggalkan Vaya dengan penuh amarah,

'Kau benar-benar gila! Bastard! Lelaki jahat yang kutemui! Demi Tuhan aku berharap kita tak pernah bertemu lagi!'

"Cih, ha hah ..." Ia tertawa. "Jelas sekali malam itu kau yang memulainya, justru aku yang kau maki. Kalau seperti ini ... kau hanya membuatku jadi penasaran."

Ia menoleh ke sisi ranjang, ditariknya selimut putih di sana. Tanpa sengaja ia melihat noda darah yang tadi disembunyikan oleh Vaya.

"Ternyata dia ... aku harus menemukanmu, gadis naif!"

-to be continue-

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku