"Aksa, takdir yang jahat atau Ara yang belum bisa terima kenyataan?" tanya Ara dengan pandangan kosongnya. Aksa menatap sahabatnya dengan sendu, di bawah senja yang begitu merona mereka menikmati suasana syahdu, Ara duduk di atas kursi rodanya sedangkan Aksa yang berjongkok di depan sahabatnya. "Ara, harus menerima semua ini dengan baik yah, jangan jadi lemah seperti ini! Ada Aksa yang akan menemani Ara," ucap Aksa menatap manik sahabatnya yang berwarnan hazel. Ara menatap ke depan, "Takdir selalu membawakan kisah yang sangat lucu, hingga Ara selalu saja menjatuhkan air mata."
[Hallo, iya kenapa, Ma?]
Dari arah seberang telepon tersebut, terdengar suara jawaban. [Kamu sekarang ada dimana, Kiara?]
Kiara yang masih berkutat dengan pekerjaannya juga beberapa kertas dokumen dalam genggaman tangannya, menyempatkan waktu untuk menjawab telepon dari ibunya itu. Ia selalu mengutamakan apa pun yang berasal dari keluarganya, meski saat ini bisa dibilang tengah sibuk.
Kiara mengangkat tangan kirinya yang terpasang jam tangan magnet tersebut. [Kiara masih di kantor Ma, memangnya ada hal yang mau dititipkan, kah?]
Anindita dari seberang panggilan telpon hanya menghembuskan napasnya kasar, dan tak berucap sepatah kata pun. Kiara bahkan sangat memahami apa maksud dari hal tersebut, dan terkekeh pelan.
[Mama ada perlu sesuatu yah? Bilang aja apa, nanti Kiara usahakan kok,] ucap Kiara dengan mata yang tak teralih sama sekali pada berkas yang berserakan di atas meja tersebut.
Anindita tersenyum cerah. [Beneran yah kamu, jangan bohong loh ini. Mama sebenernya lagi pengen banget tas yang branded dan itu ... udah lama sekali diincar, dan sekarang kesempatan itu akhirnya Mama dapat.]
Kiara menganggukkan kepala dan menjawab dengan deheman, untuk terus mendengar ucapan dari Anindita tersebut.
[Jadi, Kiara harus apa, Mamaku sayang,] ucap Kiara disertai napas lelah.
[Kamu bisa gak tolong ambilkan tas tersebut di salah satu toko dan letaknya itu lantai ke dua Mall City, bisa?] tanya Anindita merasa was-was.
"Sudah biasa Kiara," batin Kiara saat mendengar ucapan dari Anindita yang menyuruhnya untuk pergi dan mengambil barang pesanan tersebut, disaat pekerjaan sangat menumpuk dan banyak sekali yang harus ia lakukan kali ini.
Kiara menghela napas, untuk kemudian ia menjawab, [Habis pulang kerja aja gimana? Kalau sekarang Kiara lagi sibuk banget dan gak mungkin bisa untuk ke sana.]
[Dasar anak kurang ajar! Mama mau kamu ke sana sekarang juga, gak ada alasan lain! Itu impian Mama untuk punya barang tersebut, kamu ini gimana sih? Gak pengertian sekali dengan orangtua.]
Sambungan telepon akhirnya terputus dan Kiara tertegun dengan ucapan yang terlontar dari Anindita barusan. Apa ia salah sekarang? Ah, mungkin benar ini adalah kesalahannya, lagi pula semua pekerjaan ini akan ia selesaikan setelah selesai mengambil barang tersebut.
Kiara mengetikkan sesuatu pada layar ponsel tersebut, dan dengan cepat ia mengirimkannya. Setelah itu dengan segera ia kembali membereskan semua berkas yang ada di atas meja untuk kemudian diletakkan pada laci.
"Huh! Semoga terkejar dengan deadline besok nanti," gumam Kiara dengan napas lelahnya.
Kiara sebenarnya sedikit bingung dengan keinginan Anindita yang selalu saja tidak pernah melihat betapa sibuknya ia dengan semua pekerjaan tersebut, dan kenapa harus dan mesti untuk dilakukan setiap kali meminta sesuatu tanpa pernah ingin mengerti situasi dan kondisinya.
Kiara membuka knop pintu, dan berpapasan dengan Aksa yang hendak saja masuk ke dalam ruangannya.
"Ara, lo kenapa deh muka lemes gitu?" tanya Aksa dengan kening berkerut karena merasa aneh pada Kiara yang tumben sekali cemberut dan lesu seperti itu.
Kiara menatap malas ke ara Aksa yang tengah berhadapan dengan dirinya saat ini, dan kembali melangkahkan kaki dengan tangan kanan memegang ponsel sekaligus kunci mobil.
"Gue tuh capek banget, Aksa! Kerjaan lagi banyak dan sekarang ... Mama maksa aku untuk pergi ke toko untuk ambil tas impiannya," keluh Kiara dengan berjalan lunglai.
Aksa yang mengikuti Kiara berjalan dari sampingnya, hanya menggelengkan kepala saja. Tidak habis pikir, dan ia juga tidak mengeluarkan komentar sama sekali.
"Sabar yah," ucap Aksa dengan tangan yang menyentuh bahu Kiara dan mengelus lembut. "Atau gini aja, Ra! Lo masuk ke dalam dan kerja, untuk masalah tas itu biar gue yang ambil, gimana?"
Kiara menatap selintas Aksa yang tengah memberikan penawaran sangat menarik untuk dirinya saat ini, akan tetapi dengan cepat ia tolak karena ini adalah tanggung jawabnya sebagai anak yang harus berbakti pada orangtua.
"Makasih Aksa, udah nawarin ini sama gue. Tapi keknya gak deh, biar gue aja yang ambil," tolak Kiara dengan halus agar Aksa bisa paham dengan maksudnya.
Aksa hanya mengangguk pelan dan mengerti, ia juga tak akan memaksa apa pun yang sudah menjadi keputusan dari Kiara.
"Apa kata lo aja, Ra! Hati-hati di jalannya, dan jangan ngebut itu bawa mobil, gue tunggu di ruangan lo," ucap Aksa dengan senyum dan tangan yang mengusap puncak kepala dari Kiara.
Kiara menatap Aksa dengan lesu dan anggukan pelan. "Okey, tunggu aja di ruangan gue, pasti gue akan pulang secepatnya setelah ambil barang tersebut."
"Okey." Aksa melihat tubuh Kiara yang kini mulai menjauh dari pandangannya saat ini.
Kiara berjalan dengan cepat untuk menuju parkiran kendaraan yang ada di kantornya, memencet tombol yang ada di kunci dan terdengar suara bel dari mobilnya.
"Huh, semoga gak telat gue ke sana," gumam Kiara sembari tubuh yang menunduk dan mulai masuk ke dalam mobil, dan duduk di tempa kemudi.
Kiara mulai menyalakan mesin mobilnya itu, dan dengan perlahan tapi pasti akhirnya bergerak untuk menuju ke jalan raya.
Kiara dengan fokus dan kecepatan yang ia tinggikan agar bisa cepat sampai di tempat yang saat ini hendak ia tuju. Hati yang berdebar was-was karena dua hal yang tengah menanti dan harus ia dapatkan kini, pertama pekerjaan yang belum juga kelar, dan kedua Anindita yang menyuruhnya untuk pergi ke salah satu mall dan jarak tempuhnya cukup jauh dari kantor.
"Tuhan, semoga lancar kali ini!" Kiara dengan tatapan mata yang lurus ke depan, dan juga laju yang kini sudah di atas rata-rata.
Lampu merah mulai telihat di mata Kiara, dan anehnya ia tidak bisa sama sekali untuk menurunkan kecepatan laju kendaraannya saat ini, dan dengan panik ia menekan kuat pedal rem yang ada di bawah kakinya saat ini. Namun, tetap tak ada reaksi sama sekali, dan ia menangis di tengah kekalutan saat ini.
"Ya Tuhan! Mobil Ara kenapa ini? Kenapa tidak bisa dihentikan sama sekali?"
"Tuhan, Ara takut kalau gini ceritanya."
Beruntungnya jalanan nampak lenggang karena di jam seperti ini hanya ada beberapa orang yang ada di luar, dan selebihnya tengah sibuk bekerja.
Lampu merah sudah terpasang dengan jelas dan Kiara melihatnya dengan sangat baik. Air mata, keringat dingin, bahkan sudah keluar dan bercampur aduk seiring matanya menangkap truk yang sedang melaju dari arah yang berlawanan, dan dengan cepat ia membanting stir ke kiri untuk menghindar. Naasnya badan mobil terdorong kuat dan membuatnya terpelanting jauh hingga berguling di atas aspal.
"Tuhan! Kenapa ini?" tanya Kiara sebelum matanya berakhir tertutup dan tidak sadarkan diri.
Bab 1 Chapter 1
20/12/2021
Bab 2 Chapter 2
20/12/2021
Bab 3 Chapter 3
20/12/2021
Bab 4 Chapter 4
20/12/2021
Bab 5 Chapter 5
20/12/2021
Bab 6 Chapter 6
20/12/2021
Bab 7 Chapter 7
20/12/2021
Bab 8 Chapter 8
20/12/2021
Bab 9 Chapter 9
20/12/2021
Bab 10 Chapter 10
20/12/2021
Bab 11 Chapter 11
20/12/2021
Bab 12 Chapter 12
20/12/2021
Bab 13 Chapter 13
20/12/2021
Bab 14 Chapter 14
20/12/2021
Bab 15 Chapter 15
20/12/2021
Bab 16 Chapter 16
20/12/2021
Bab 17 Chapter 17
20/12/2021
Bab 18 Chapter 18
20/12/2021
Bab 19 Chapter 19
20/12/2021
Bab 20 Chapter 20
20/12/2021