Demi menyelamatkan seorang influencer muda yang terkena skandal, suamiku memintaku untuk bercerai dan menjadi kambing hitam. Meisya, anak angkat dari mendiang sopirnya, tertangkap kamera masuk hotel dengan pria beristri. Namun, Galvin justru menyuruhku mengorbankan diri. "Indri, reputasimu bisa menyelamatkan Meisya. Kita cerai dulu, biarkan publik mengira kau istri yang jahat dan gila harta." Di kehidupan sebelumnya, aku menangis dan menolak ide gila itu. Akibatnya, Galvin merekam amukanku diam-diam, mengeditnya, dan menyebarkannya ke internet. Aku dihujat satu Indonesia sebagai wanita kasar dan tidak tahu diri, sementara Meisya dipuja sebagai korban yang polos. Depresi dan hancur, aku tewas dalam kecelakaan mobil saat dikejar wartawan. Ketika membuka mata lagi, aku kembali ke momen saat Galvin menyodorkan surat cerai itu di ruang kerja kami yang dingin. Dia menatapku, menunggu reaksiku yang biasanya histeris. Tapi kali ini, aku tidak menangis. Aku mengambil pena dengan tenang, menatap matanya, dan tersenyum tipis. "Baik, aku setuju kita bercerai." "Tapi ada syaratnya. Semua aset, saham perusahaan, dan rumah ini... harus dipindahnamakan atasku sekarang juga."
Demi menyelamatkan seorang influencer muda yang terkena skandal, suamiku memintaku untuk bercerai dan menjadi kambing hitam.
Meisya, anak angkat dari mendiang sopirnya, tertangkap kamera masuk hotel dengan pria beristri.
Namun, Galvin justru menyuruhku mengorbankan diri.
"Indri, reputasimu bisa menyelamatkan Meisya. Kita cerai dulu, biarkan publik mengira kau istri yang jahat dan gila harta."
Di kehidupan sebelumnya, aku menangis dan menolak ide gila itu.
Akibatnya, Galvin merekam amukanku diam-diam, mengeditnya, dan menyebarkannya ke internet.
Aku dihujat satu Indonesia sebagai wanita kasar dan tidak tahu diri, sementara Meisya dipuja sebagai korban yang polos.
Depresi dan hancur, aku tewas dalam kecelakaan mobil saat dikejar wartawan.
Ketika membuka mata lagi, aku kembali ke momen saat Galvin menyodorkan surat cerai itu di ruang kerja kami yang dingin.
Dia menatapku, menunggu reaksiku yang biasanya histeris.
Tapi kali ini, aku tidak menangis.
Aku mengambil pena dengan tenang, menatap matanya, dan tersenyum tipis.
"Baik, aku setuju kita bercerai."
"Tapi ada syaratnya. Semua aset, saham perusahaan, dan rumah ini... harus dipindahnamakan atasku sekarang juga."
Bab 1
Indriani POV:
Udara di ruang kerja ini terasa dingin. Bukan karena AC, tapi karena kebekuan di hatiku. Aku menatap keluar jendela, ke arah gedung-gedung pencakar langit Jakarta yang diselimuti kabut polusi. Empat tahun. Empat tahun aku mengorbankan segalanya demi pernikahan ini. Demi seorang pria yang kini berdiri di hadapanku, siap mengorbankanku demi wanita lain.
Ketukan pintu yang tegas membuyarkan lamunanku. Suara Galvin.
"Indri, kita harus bicara."
Suaranya datar, tanpa emosi. Sama seperti enam bulan lalu, saat berita tentang Meisya Herlambang, seorang influencer muda dengan citra polos dan rapuh, meledak di seluruh media sosial. Meisya, anak angkat dari mendiang sopir pribadi Galvin, dituduh terlibat skandal besar. Tertangkap kamera masuk ke hotel bersama investor pria beristri, diduga untuk mendapatkan peran film. Netizen Indonesia menyerangnya habis-habisan.
Saham perusahaan media milik Galvin anjlok. Semua orang panik. Aku ingat bagaimana Galvin mondar-mandir di ruang tamu, wajahnya tegang. Ia memegang ponselnya erat-erat, seolah berusaha menyelamatkan nyawa Meisya dari serangan publik.
Aku masih ingat. Malam itu, Galvin mendatangiku dengan mata memerah. Bukan karena sedih, tapi karena marah. Marah pada situasi, marah pada dunia, marah padaku yang seolah tak bisa memahami bebannya.
"Ini bukan salahku," kataku lirih.
"Tapi kau istrinya! Reputasimu, reputasi kita, bisa menyelamatkan Meisya!" Dia berteriak.
Di kehidupan lampau, aku menangis. Aku memohon. "Bagaimana bisa kau memintaku melakukan itu, Galvin? Apa yang akan terjadi pada nama baikku?"
Dia tidak peduli. Matanya hanya terpaku pada bayangan Meisya. Dia bersikeras aku harus bercerai dengannya, membiarkan dia memfitnahku di depan publik sebagai istri yang "gila harta dan kasar". Semua itu, hanya untuk menutupi berita buruk Meisya dan menyelamatkan saham perusahaannya.
Aku menolak. Aku mengamuk. Aku memohon. Aku bahkan mengancam akan membongkar kebusukannya. Tapi dia lebih pintar. Dia merekam semua amukanku secara diam-diam. Video itu menjadi bukti bahwa aku "tidak stabil", "gila harta", dan "kasar". Video itu diputar di mana-mana. Reputasiku hancur dalam semalam.
Aku depresi. Serangan panik menjadi teman setiaku. Ketika para wartawan mengejarku hingga ke jalanan, mobilku terguling. Aku ingat rasa sakit yang menusuk, kegelapan yang menelan segalanya. Dan kemudian, hanya kehampaan.
Sampai aku terbangun. Di tempat tidur kami, di ruangan yang sama, dengan udara dingin yang sama. Enam bulan setelah skandal Meisya meledak. Tepat di saat Galvin datang kepadaku dengan ide gila itu lagi. Aku terlahir kembali.
Kali ini, tidak ada tangisan. Tidak ada permohonan. Hatiku terasa kosong, dingin, namun dipenuhi tekad yang membara. Aku tidak akan membiarkan mereka menghancurkanku lagi.
"Indri?" Suara Galvin memanggil lagi, lebih dekat.
Aku berbalik. Dia berdiri di ambang pintu, memegang selembar kertas. Kertas itu tampak tidak berbahaya, namun mengandung racun yang mematikan. Surat cerai.
"Kita perlu bicara serius," katanya, masuk dan menutup pintu di belakangnya. Dia berjalan ke arah meja, meletakkan kertas itu dengan hati-hati.
Aku hanya menatapnya. Wajahnya masih tampan, penuh otoritas. CEO arogan yang selalu merasa harus menjadi pahlawan bagi semua orang, kecuali istrinya sendiri. Dia menganggap cintaku adalah sesuatu yang mutlak, yang tidak akan pernah hilang. Betapa bodohnya aku dulu.
Dia duduk di kursi di hadapanku. "Aku tahu ini sulit," dia memulai, suaranya terdengar lembut, palsu. "Tapi ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Meisya. Dan perusahaan kita."
"Menyelamatkan Meisya, atau menyelamatkan dirimu sendiri, Galvin?" Aku bertanya, suaraku tenang, bahkan nyaris tanpa nada.
Dia terkejut. Matanya sedikit melebar. Ini bukan Indriani yang dia kenal. Indriani yang dulu akan menangis, meratap, memohon pengertiannya.
"Jangan memperumit masalah," katanya, nada suaranya mulai mengeras. "Meisya rapuh. Dia butuh perlindungan. Kau tahu ayah Meisya menyelamatkan nyawaku bertahun-tahun lalu. Aku berhutang budi padanya."
"Dan kau melunasi hutang itu dengan mengorbankan istrimu sendiri?" Aku mengamati reaksinya. Tidak ada penyesalan, hanya sedikit kejengkelan karena aku tidak kooperatif.
Dia menghela napas panjang, seolah aku adalah beban terberatnya. "Ini hanya perceraian palsu, Indri. Untuk sementara sampai badai ini berlalu. Kita bisa kembali setelah semuanya tenang."
"Palsu?" Aku mengulangi kata itu, membiarkan pahitnya memenuhi mulutku. "Seperti cintamu yang palsu?"
"Indri! Jangan kekanak-kanakan!" Dia membanting tangannya ke meja. Kertas di atasnya sedikit terangkat. "Kau harus mengerti. Reputasiku, reputasi perusahaan, semuanya dipertaruhkan. Jika saham terus anjlok, kita akan kehilangan segalanya!"
"Dan reputasiku? Namaku?" Aku menunjuk diriku sendiri. "Tidak ada nilainya, begitu?"
"Ini untuk kebaikan bersama!" Dia berkeras. "Kau akan difitnah sebagai istri yang gila harta, yang kasar. Tapi itu hanya akting. Aku akan pastikan kau mendapatkan kompensasi yang layak. Setelah semua ini selesai, kita akan rujuk. Kau tahu aku hanya mencintaimu."
Aku hampir tertawa. Hanya mencintaiku. Omong kosong. Dia hanya mencintai citranya sendiri sebagai pahlawan, sebagai penyelamat. Dan aku, aku hanyalah pion dalam permainannya.
Tiba-tiba, pintu terbuka lagi. Meisya masuk, mata sembab, rambut sedikit acak-acakan. Dia tampak seperti baru bangun dari tidur atau baru selesai menangis. Wajahnya sangat pucat, dan dia memegang tissue di tangannya.
"Kak Galvin... Kak Indri..." Suaranya pelan, bergetar. Dia berjalan mendekat, langkahnya seolah rapuh.
Galvin langsung berdiri, bergerak cepat ke sisi Meisya. Tangannya refleks meraih bahu wanita itu. "Meisya, kenapa kau keluar? Kau harus istirahat."
Meisya menggelengkan kepala, menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak bisa, Kak Galvin. Aku tidak bisa membiarkan Kak Indri menderita karenaku. Ini semua salahku. Aku... aku akan pergi saja. Aku tidak mau menghancurkan pernikahan kalian."
"Tidak!" Galvin membantah dengan tegas. "Ini bukan salahmu. Kau korban. Aku yang akan menyelesaikan ini."
Meisya memegang tangan Galvin erat-erat, lalu menatapku lagi. "Kak Indri, aku mohon... maafkan aku. Aku akan melakukan apa saja. Aku... aku akan berlutut jika perlu..." Dia mulai membungkuk, seolah ingin berlutut di hadapanku.
"Meisya, jangan!" Galvin segera menahan Meisya, menariknya kembali ke pelukannya. Dia memelototiku, seolah aku adalah penyebab Meisya bertindak seperti itu. "Lihat, Indri. Dia sudah seperti ini. Kau tidak kasihan padanya?"
Meisya terisak pelan di bahu Galvin. "Aku tidak sekuat Kak Indri..."
Aku hanya menatap mereka berdua. Mereka berakting begitu sempurna, begitu natural. Di kehidupan lampau, adegan ini membuatku gila. Aku melihat Galvin memeluk Meisya, membelai rambutnya, menenangkannya. Hatiku hancur berkeping-keping. Aku berteriak, mengamuk, menuduh mereka. Dan Galvin merekamnya.
Tapi sekarang, aku tidak merasakan apa-apa. Hanya rasa jijik yang dingin. Aku tahu Meisya hanyalah wanita manipulatif yang memanfaatkan Galvin. Dan Galvin, dia terlalu dibutakan oleh "hero complex"nya untuk melihat kebenaran.
Galvin mengangkat kepalanya dari Meisya, menatapku lagi dengan ekspresi kesal. "Jadi bagaimana, Indri? Jangan buang waktu lagi. Ini untuk kebaikan kita semua."
"Kebaikan siapa?" Aku bertanya, suaraku masih tenang. "Bukan kebaikanku, kan?"
"Ini bukan waktunya untuk egois!" Galvin menekan. "Aku tidak akan membiarkan perusahaan ini hancur. Kau akan menandatangani ini, atau-"
"Atau apa, Galvin?" Aku mengangkat kepalaku, menatap lurus ke matanya. Aku tahu persis apa yang akan dia katakan. Apa yang dia lakukan di kehidupan lampau. "Atau kau akan memfitnahku? Mengeluarkan video rekamanku saat aku marah? Menuduhku gila? Mencoreng namaku di depan publik, bahkan lebih dari yang kau rencanakan?"
Dia diam. Matanya sedikit menyipit. Dia tidak menyangka aku akan begitu tenang, begitu langsung. Dia merasa tertangkap basah.
Di kehidupan lampau, dia melakukannya. Dia bahkan memalsukan bukti bahwa aku berselingkuh dengan seorang pria di Bali, menggunakan foto-foto editan dan saksi bayaran. Dia bilang aku sengaja menghabiskan uang perusahaan untuk pria simpananku. Itu adalah pukulan terakhir bagiku. Kepolosanku benar-benar ditolak. Aku tidak pernah melakukan hal sehina itu. Aku berteriak membela diri, tapi tak ada yang percaya. Mereka menyebutku pelacur, wanita murahan, istri durhaka.
Kali ini, aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi. Aku akan mengakhiri permainan ini. Dengan caraku sendiri.
Aku memandang surat cerai di meja. Senyum tipis terukir di bibirku, dingin seperti es.
"Baiklah," kataku. "Aku setuju."
Galvin dan Meisya terdiam. Mata mereka membelalak kaget.
"Aku setuju untuk bercerai," lanjutku, melangkah mendekat ke meja. "Tapi ada syaratnya."
Inilah awal dari permainan baruku. Permainan yang akan menghancurkan mereka, satu per satu.
"Apa syaratmu?" Galvin bertanya, masih dalam keterkejutannya. Dia tidak tahu, dia baru saja membuka pintu neraka bagiku.
Aku mengambil pulpen dari meja, menatapnya, lalu ke arah Meisya yang masih terpaku di pelukan Galvin. Mereka berdua dalam genggamanku sekarang.
"Semua aset, atas namaku," kataku dengan tenang, menunjuk surat cerai. "Dan ini bukan perceraian biasa. Ini akan menjadi perceraian yang akan membuat kalian menyesal seumur hidup."
Senyumku mengembang, kali ini bukan lagi es, tapi api. Api yang siap membakar segalanya.
Buku lain oleh Gavin
Selebihnya