Tuan Arogan dan Pelayan Hati

Tuan Arogan dan Pelayan Hati

Rey87

5.0
Komentar
19
Penayangan
47
Bab

Nara dihantui rasa bersalah sejak kesalahan fatal yang sudah dia lakukan. Memutuskan untuk menyamar menjadi pelayan, untuk menebus kesalahannya. Jaden Luther, seorang CEO lumpuh yang sangat arogan setelah kehilangan segalanya. Jaden Luther pun menutup hatinya rapat. Namun kehadiran Nara, wanita sederhana yang menjadi pelayannya, perlahan membuka kembali pintu yang selama ini terkunci. Hanya saja, cinta mereka diuji oleh masa lalu yang pahit dan rahasia yang tak sengaja terungkap.Rahasia kelam yang membuat cinta bisa berubah menjadi dendam.

Bab 1 Menyamar

"Tidakkk!"

"Nara, kamu mimpi buruk lagi?" tanya wanita paruh baya yang ada di samping Nara.

Wajah pucat dan peluh yang membasahi dahi wanita bernama Nara itu tampak sangat jelas, bahkan napas naik turun juga terlihat pada dadanya.

"Iya, Bu. Aku bermimpi lagi tentang pria itu," ucapnya dengan bibir bergetar.

Seketika wanita yang dipanggil ibu oleh Nara memberikan segelas air minum dan dengan cepat Nara menghabiskannya.

"Kamu sebaiknya tenang dulu. Coba tarik napas dalam dan embuskan perlahan."

Nara pun mengikuti apa yang ibunya sarankan, dan tentu saja hal itu berhasil membuat Nara sedikit tenang.

"Bu, aku minta tolong agar Ibu menjaga Nio di sini selama aku menjalankan rencanaku nanti. Apa Ibu bisa membantuku?"

Tangan yang tampak keriputan itu mengusap lembut pucuk kepala putrinya. "Kamu tenang saja, ibu akan menjaga Nio dengan baik di sini, kamu lakukan saja rencanamu itu, Nara."

"Terima kasih, Bu karena selama ini selalu mendukung apa yang aku lakukan, dan maaf jika selama ini aku selalu menyusahkan Ibu."

"Nara, aku ini ibumu dan ibu sangat tau bagaimana sifat kamu. Kamu wanita yang baik dan sangat bertanggung jawab dengan hidupmu. Lakukan apa yang menurut hatimu benar."

"Terima kasih, Bu." Nara dengan luapan perasaan haru memeluk ibunya dengan erat.

"Ya sudah, sekarang kamu tidurlah dulu dan coba tenangkan hatimu agar mimpi buruk itu tidak datang lagi." Nara mengangguk dan kembali memejamkan kedua matanya.

Pagi itu tampak terlihat bocah laki-laki duduk di atas tempat tidur rumah sakit sedang memainkan puzzle yang ada di depannya.

"Hai, Sayang, bagaimana perasaanmu saat ini?"

"Ibu, aku senang sekali hari ini," ucapnya dengan wajah bahagia.

"Senang kenapa?"

"Senang karena hari ini tante dokter akan mengajak aku jalan-jalan lagi di taman dan katanya ada teman baru nantinya di sini."

"Oh ya? Wah! Kamu akan memiliki banyak teman nantinya." Cubitan kecil tepat pada hidung bocah laki-laki itu.

"Iya, Bu. Aku sebenarnya ingin sekolah dan punya banyak teman nantinya, tapi kata Ibu tunggu aku sembuh dulu dari sakitku, baru nanti aku bisa sekolah. Aku kapan sembuhnya sih, Bu?"

Wanita itu terdiam mendengar pertanyaan putranya karena dia sendiri tidak tau jawaban apa yang harus dia berikan.

"Nio, kamu pasti akan segera sembuh, tapi Nio harus bersabar dulu karena Ibu Nara kamu masih berusaha agar Nio bisa segera sembuh dan nanti bersekolah," sela suara dari arah belakang Nara.

"Iya, Nio. Ibu masih berusaha agar Nio segera sembuh, Nio mau, kan membantu ibu melakukan semua ini?" Bocah kecil itu pun dengan cepat mengangguk. "Pintar sekali anak tampan ibu ini." Nara dengan senang memeluk putranya itu.

"Nio sangat sayang sama Ibu dan Nio akan menuruti semua yang Ibu perintahkan."

Nara melepaskan pelukannya dan dia mengecup lembut pipi putranya. "Ibu juga sangat sayang sama Nio. Nio, ibu mau bicara sesuatu sama Nio. Nio mau mendengarkan Ibu, kan?"

"Tentu saja, Ibu!" serunya cepat.

"Beberapa hari ini Nio akan bersama dengan nenek di sini karena ibu harus pergi dalam beberapa hari untuk bekerja. Nio tidak akan marah, kan kalau ibu pergi meninggalkan Nio untuk bekerja?"

"Tidak, Bu. Nio tidak akan marah sama Ibu karena Nio tau Ibu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup kita dan agar Nio nanti bisa sekolah. Itu yang nenek ucapkan sama Nio."

Nara melihat ke arah ibunya dan wanita paruh baya itu menaikkan bahunya ke atas. "Setidaknya penjelasan itu lebih mudah dicerna oleh Nio," ucap Ibunya Nara.

"Terima kasih ya, Sayang. Ibu janji, jika nanti ibu ada waktu senggang, ibu akan datang ke sini untuk menemui Nio. Nio harus jadi anak baik selama ibu bekerja."

"Okay, Ibu!" serunya sembari menautkan jarinya berbentuk huruf O.

Nara yang sekarang duduk di dalam pesawat tampak terdiam mengingat semua yang sudah dia lakukan sehingga mimpi buruk itu selalu menghantui hidupnya.

"Aku akan menebus semua kesalahanku pada Jaden Luther, semoga pria itu akan bisa memaafkan semua kesalahanku." Nara melihat foto seseorang yang dia pegang dari tadi.

*

Seorang wanita dengan rambut dikepang dua dan kacamata putihnya tampak berdiri di depan pintu sebuah rumah yang memiliki dekorasi Eropa klasik. Dia sedang menunggu pintu di depannya terbuka.

Tidak lama pintu di buka oleh seorang pria paruh baya dengan baju seragam pelayannya.

"Maaf, saya Naraya Agatha atau bisa di panggil Nara."

"Oh, Nona Nara, silakan Anda masuk karena Nyonya besar Miranti sudah menunggu Anda di dalam." Pelayan laki-laki itu dengan sopan memerintahkan Nara untuk masuk.

Nara berjalan masuk melewati lorong dengan hiasan banyak lukisan di sebelah kanan kirinya.

"Kalian pergi dari kamarku! Atau aku akan mencekik kalian sampai mati! Pergi!"

Nara terkejut saat tiba-tiba mendengar suara seorang pria berteriak marah di sana. Langkah Nara terhenti dan melihat pada pintu kamar berwarna hitam, di mana baru saja seorang pelayan wanita keluar dengan wajah ketakutan dari dalam kamar itu.

"Orang yang berteriak itu adalah cucuku, Nara. Dia Jaden Luther dan dia adalah orang yang harus kamu rawat nantinya." Tiba-tiba di sana berdiri seorang wanita tua dengan penampilan rapinya.

"Maaf, dia kenapa marah-marah seperti itu, Nyonya Besar Miranti?"

"Panggil saja aku nenek Miranti, dan ikutlah denganku, aku akan menjelaskan semuanya sama kamu."

Nara berjalan mengikuti ke mana langkah wanita tua itu berjalan. Mereka sekarang berada di dalam ruang kerja dan nenek Miranti memberikan sebuah sobekan dari majalah tahun lalu.

Nara membacanya dan dia tampak menunjukan wajah datarnya. "Ini apa, Nyo--. Maksudku Nenek?"

"Setahun yang lalu Jaden mengalami sebuah kecelakaan tunggal yang mengakibatkan kakinya lumpuh dan kata dokter kesempatan untuk sembuhnya sangat kecil. Sejak saat itu dia berubah menjadi orang yang tempramen dan sangat dingin."

Nara tampak menarik napasnya dalam dan mencoba mengembuskannya perlahan. Nara sedang mencoba menenangkan dirinya. "Apa Nenek sudah berusaha membawa Tuan Muda Jaden ke rumah sakit yang lainnya untuk mencari opini kedua?"

"Semua sudah aku lakukan untuk mengembalikan kesembuhan cucuku, tapi semuanya sia-sia. Jaden pun seolah sudah tidak memiliki keinginan untuk sembuh. Dia sangat membenci dirinya sendiri, apa lagi calon tunangannya juga meninggalkannya setelah tau cucuku mengalami kelumpuhan. Jaden benar-benar berubah menjadi orang yang tidak aku kenali." Perlahan butiran air mata keluar dari kelopak mata nenek Miranti.

Ada sesuatu yang seketika membuat hati Nara sangat sakit saat melihat nenek Miranti menitihkan air mata. Rasa bersalah di hati Nara juga semakin besar setelah mendengar Jaden sampai ditinggal oleh tunangannya karena kecelakaan itu.

"Nek, apa aku bisa bertemu dengan Tuan Muda Jaden Luther?"

Nenek Miranti melihat Nara dengan wajah serius.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Gairah Liar Ayah Mertua

Gairah Liar Ayah Mertua

Gemoy
5.0

Aku melihat di selangkangan ayah mertuaku ada yang mulai bergerak dan mengeras. Ayahku sedang mengenakan sarung saat itu. Maka sangat mudah sekali untuk terlihat jelas. Sepertinya ayahku sedang ngaceng. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi deg-degan. Aku juga bingung apa yang harus aku lakukan. Untuk menenangkan perasaanku, maka aku mengambil air yang ada di meja. Kulihat ayah tiba-tiba langsung menaruh piringnya. Dia sadar kalo aku tahu apa yang terjadi di selangkangannya. Secara mengejutkan, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan terjadi. Ayah langsung bangkit dan memilih duduk di pinggiran kasur. Tangannya juga tiba-tiba meraih tanganku dan membawa ke selangkangannya. Aku benar-benar tidak percaya ayah senekat dan seberani ini. Dia memberi isyarat padaku untuk menggenggam sesuatu yang ada di selangkangannya. Mungkin karena kaget atau aku juga menyimpan hasrat seksual pada ayah, tidak ada penolakan dariku terhadap kelakuan ayahku itu. Aku hanya diam saja sambil menuruti kemauan ayah. Kini aku bisa merasakan bagaimana sesungguhnya ukuran tongkol ayah. Ternyata ukurannya memang seperti yang aku bayangkan. Jauh berbeda dengan milik suamiku. tongkol ayah benar-benar berukuran besar. Baru kali ini aku memegang tongkol sebesar itu. Mungkin ukurannya seperti orang-orang bule. Mungkin karena tak ada penolakan dariku, ayah semakin memberanikan diri. Ia menyingkap sarungnya dan menyuruhku masuk ke dalam sarung itu. Astaga. Ayah semakin berani saja. Kini aku menyentuh langsung tongkol yang sering ada di fantasiku itu. Ukurannya benar-benar membuatku makin bergairah. Aku hanya melihat ke arah ayah dengan pandangan bertanya-tanya: kenapa ayah melakukan ini padaku?

Dari Istri Tercampakkan Menjadi Pewaris Berkuasa

Dari Istri Tercampakkan Menjadi Pewaris Berkuasa

Gavin
5.0

Pernikahanku hancur di sebuah acara amal yang kuorganisir sendiri. Satu saat, aku adalah istri yang sedang hamil dan bahagia dari seorang maestro teknologi, Bima Nugraha; saat berikutnya, layar ponsel seorang reporter mengumumkan kepada dunia bahwa dia dan kekasih masa kecilnya, Rania, sedang menantikan seorang anak. Di seberang ruangan, aku melihat mereka bersama, tangan Bima bertengger di perut Rania. Ini bukan sekadar perselingkuhan; ini adalah deklarasi publik yang menghapus keberadaanku dan bayi kami yang belum lahir. Untuk melindungi IPO perusahaannya yang bernilai triliunan rupiah, Bima, ibunya, dan bahkan orang tua angkatku sendiri bersekongkol melawanku. Mereka memindahkan Rania ke rumah kami, ke tempat tidurku, memperlakukannya seperti ratu sementara aku menjadi tahanan. Mereka menggambarkanku sebagai wanita labil, ancaman bagi citra keluarga. Mereka menuduhku berselingkuh dan mengklaim anakku bukanlah darah dagingnya. Perintah terakhir adalah hal yang tak terbayangkan: gugurkan kandunganku. Mereka mengunciku di sebuah kamar dan menjadwalkan prosedurnya, berjanji akan menyeretku ke sana jika aku menolak. Tapi mereka membuat kesalahan. Mereka mengembalikan ponselku agar aku diam. Pura-pura menyerah, aku membuat satu panggilan terakhir yang putus asa ke nomor yang telah kusimpan tersembunyi selama bertahun-tahun—nomor milik ayah kandungku, Antony Suryoatmodjo, kepala keluarga yang begitu berkuasa, hingga mereka bisa membakar dunia suamiku sampai hangus.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku