Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
HASRAT GILA SAUDARA TIRI

HASRAT GILA SAUDARA TIRI

Sisca Yofie

5.0
Komentar
2
Penayangan
1
Bab

Gadis cantik dan indah itulah Indri yang merasa kesepian di tinggal seorang ibu dan ayah yang berubah jahat seketika membuat Indri merasa kecewa. Seketika hadirlah seorang ibu dengan anak lelakinya yang hadir di kehidupan Indri dan sang ayah,membuat rindu terpukul dan sedih Rindu yang tak mengerti apa yang harus dilakukan, seketika mengubah semua Indri menjadi semangkin liar dengan kehadiran sang ibu dan Abang tirinya..

Bab 1 KESEDIAAN DAN LUKA MENDALAM

Aku Indri, umurku 17 tahun. Anak dari Bapak Ilham yang ditinggal meninggal oleh ibuku. Sudah satu bulan ibuku pergi, dan aku tak menyangka ayahku akan menikah lagi secepat ini.

Seorang janda beranak satu, sekitar umur 26 tahun, kini menjadi istri ayahku. Hatiku hancur. Ayah menikah tanpa memberitahuku. Sejak ibu tiada, aku merasa sepi.

Ayah lebih sibuk dengan istri barunya, seolah aku tak ada. Setiap hari, aku merasa kesepian. Rumah ini terasa asing, dingin, tanpa kehangatan ibu.

Malam itu, ayah menyuruh Bagas, anak tiri ayah, untuk mengantarku dan menjemputku ke sekolah. Aku menolak, marah. Aku tidak suka diperlakukan seperti anak kecil yang harus dijaga. Tanpa diduga, ayah menamparku.

Air mata mengalir deras. Aku berlari ke kamar, mengunci pintu, dan menangis sejadi-jadinya. Andai ibu masih ada, ayah tak akan pernah kasar padaku.

Terdengar ketukan pintu. Bagas memanggilku. "Indri, buka pintunya. Abang mau masuk, boleh?" Aku semakin marah. "Mau apa kamu ke sini? Puas kamu lihat aku dipukul ayah? Kamu bukan abangku! Pergi!" Bagas terus membujuk, tapi aku tak bergeming. Aku tak ingin melihatnya, tak ingin melihat mereka.

Keesokan harinya, Bagas sudah siap mengantarku ke sekolah. Aku menolak mentah-mentah. "Kamu siapa? Ikutin aku terus? Sana pergi! Aku mau sekolah sendiri." Bagas bersikeras.

"Indri, tunggu. Aku mau antar kamu sekolah, jemput kamu pulang." Aku menggeleng. "Aku nggak mau diantar kamu! Pergi jauh-jauh!"

Bagas menghela napas. "Di luar bahaya, Indri.

Aku takut kamu kenapa-kenapa. Biar aku antar, ya? Walaupun kita saudara tiri, aku tetap peduli sama kamu." Aku tetap menolak. "Nggak mau! Pergi!" Bagas terus memohon, dengan sabar dan lembut. Akhirnya, dengan berat hati, aku mengalah. Aku memasuki mobil, tapi hatiku penuh dengan rasa aneh dan curiga.

Di perjalanan, aku merasa ada yang mengganjal. Kehadiran Bagas dan ibunya terlalu tiba-tiba, terlalu sempurna. Seolah-olah mereka datang untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan ibuku.

Tapi, kenapa harus mereka? Kenapa ayah begitu cepat melupakan ibu?

Bagas menghentikan mobil. "Kenapa berhenti?" tanyaku bingung.

Bagas menatapku lembut. "Aku mau tanya sesuatu. Kamu kelihatan bingung, ada yang mau kamu ceritain?" Aku terdiam. Bagaimana aku bisa menceritakan semua kebingungan dan kecurigaanku? "Aku... aku nggak tahu harus gimana," akhirnya aku berkata. "Aku kangen ibu. Tapi kalian tiba-tiba datang, mengubah semuanya. Aku merasa aneh, nggak nyaman.

" Aku menatap Bagas, mencari jawaban di matanya. "Kalian ini siapa? Apa kalian cuma mau harta ayah? Kenapa ibumu menikahi ayahku?"

Bagas terdiam sejenak, lalu berkata dengan lembut, "Indri, aku ngerti perasaan kamu. Ini memang sulit buat kamu. Tapi, tolong jangan salah paham. Ibu dan ayahmu menikah karena mereka saling mencintai. Bukan karena harta, bukan karena alasan lain."

Aku menggelengkan kepala. "Aku nggak percaya. Terlalu cepat. Ibu baru meninggal sebulan yang lalu. Ayah nggak mungkin secepat itu melupakan ibu." Air mata kembali mengalir di pipiku. "Aku sedih, aku terpuruk. Aku nggak tahu harus percaya sama siapa lagi."

Bagas mengulurkan tangannya, mencoba menenangkanku. "Indri, aku tahu kamu terluka. Tapi, tolong jangan menutup diri. Aku dan ibu akan berusaha jadi keluarga yang baik buat kamu. Kami nggak akan menggantikan ibumu, tapi kami ingin jadi bagian dari hidupmu. Tolong beri kami kesempatan."

Aku menatap Bagas, ragu. Aku ingin percaya padanya, tapi hatiku masih penuh dengan keraguan. Aku ingin ibu kembali, aku ingin semuanya kembali seperti dulu. Tapi itu tidak mungkin. Sekarang, aku harus belajar menerima kenyataan, belajar hidup dengan keluarga baru ini.

"Aku ingin ke sekolah, bisa antar aku sekarang sebelum terlambat?" Indri memandang Bagas dengan mata memelas, berharap kakaknya itu mau mengantarnya. Bagas, yang melihat adiknya, segera mengangguk dan menjalankan Mobil.

"Tentu saja, Indri. Ayo cepat, nanti kamu terlambat," ucap Bagas sambil tersenyum. Indri dan Bagas bergegas menuju sekolah.

Sesampainya di sekolah, Indri memeluk Bagas erat-erat. "Terima kasih, Bang. Kalau tidak ada Abang, aku pasti sudah terlambat," ucap Indri tulus.

Bagas mengelus rambut adiknya dengan sayang. "Sama-sama, Indri. Belajar yang rajin, ya."

Sepanjang hari di sekolah, pikiran Indri melayang-layang. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Perasaan hampa menyelimuti dirinya, meskipun ia tahu bahwa Bagas adalah kakaknya sekarang. Ia berusaha menerima kenyataan itu, tetapi hatinya tetap merasa kosong.

Saat pulang sekolah, Bagas sudah menunggu di depan gerbang. Indri langsung berlari ke arahnya dan memeluknya erat. "Abang," bisik Indri, merasa aman dalam pelukan kakaknya. Bagas membalas pelukan adiknya, merasakan kesedihan yang tersembunyi di balik pelukan itu.

Di perjalanan pulang, Indri hanya diam, tidak seperti biasanya yang selalu ceria dan banyak bicara. Bagas melirik adiknya, khawatir dengan perubahan sikapnya. "Indri, kamu kenapa? Ada masalah di sekolah?" tanya Bagas lembut. Indri menggeleng, tidak ingin membebani kakaknya dengan masalahnya.

Sesampainya di rumah, Indri terkejut melihat pemandangan yang tidak biasa. Ayah dan ibunya sedang berciuman mesra di sofa. Pemandangan itu membuatnya merasa aneh dan tidak nyaman.

Tanpa berkata apa-apa, Indri langsung berlari menuju kamarnya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

Bagas, yang melihat adiknya berlari, segera mengejarnya. "Indri, tunggu!" panggil Bagas. Indri mengunci pintu kamarnya, tidak ingin diganggu. "Indri, buka pintunya sebentar saja," bujuk Bagas.

Setelah beberapa saat, Indri akhirnya membuka pintu kamarnya. Air mata mengalir di pipinya, dan ia berusaha menahan isak tangisnya. "Ada apa, Bang?" tanya Indri dengan suara bergetar. Bagas mengajaknya duduk di tepi tempat tidur.

"Indri, boleh kita bicara berdua sebentar?" tanya Bagas lembut. Indri mengangguk dan mempersilakan kakaknya duduk. Bagas menatap adiknya dengan penuh kasih sayang, lalu memeluknya erat. Indri menangis tersedu-sedu dalam pelukan kakaknya.

"Indri, di sini Abang selalu menjagamu.

Menangislah sepuasmu, kamu ini adikku sekarang. Ceritakan semua yang ingin kamu ceritakan," ucap Bagas lembut. Indri terisak, mencoba mengungkapkan perasaannya.

"Indri gak kuat lihat ayah cium ibu. Kamu sedih rasanya, gak tau harus gimana. Berat banget," ucap Indri di sela-sela tangisnya. Bagas mengelus punggung adiknya, mencoba menenangkannya.

"Abang ngerti perasaan Indri. Tapi, Indri harus ingat, Abang akan selalu ada di sini untuk Indri. Kita akan menghadapi ini bersama-sama," ucap Bagas tulus. Indri mengangguk, merasa sedikit lega dengan kehadiran kakaknya.

Malam itu, Bagas menemani Indri di kamarnya. Mereka berbicara tentang banyak hal, mencoba mencari cara untuk mengatasi perasaan sedih dan bingung yang Indri rasakan. Bagas berjanji akan selalu melindungi dan menyayangi adiknya, dan Indri merasa beruntung memiliki abang seperti Bagas.

"Bang, walaupun berat rasanya hati ini sekarang, Indri sudah nyaman dan mau memulai hidup ini bersama kalian," ucap Indri, suaranya bergetar menahan tangis. "Tetapi, Indri sedih jika ayah terus menyakiti Indri dengan cara memukul Indri. Sejak ibu tiada, ayah berubah kasar kepada Indri. Rasanya ingin pergi jauh saja, Bang. Ayah jahat sama Indri sekarang, Indri mau ikut ibu saja, Bang."

Bagas, kakak laki-laki Indri, merasakan hatinya hancur mendengar keluhan adiknya. Ia menatap wajah Indri yang penuh luka, baik luka fisik maupun luka batin. "Indri, jangan bicara seperti itu. Itu tidak baik. Nanti Abang bicarakan dengan ayah ya, biar dia tidak menyakiti kamu lagi," kata bagas, berusaha menenangkan Indri. Ia tahu, ini bukan janji yang mudah ditepati, tapi ia harus melakukan sesuatu untuk melindungi adiknya.

"Abang tahu ini berat, tapi kamu harus kuat, Indri," lanjut bagas, memeluk Indri dengan hangat. Pelukan itu seolah menyalurkan kekuatan, mencoba meredakan ketakutan dan kesedihan yang selama ini dipendam Indri. Waktu sudah larut malam, bagas berpamitan untuk tidur di kamarnya, meninggalkan Indri dengan sejuta pikiran yang berkecamuk.

Di dalam kamar, Bagas tidak bisa memejamkan mata. Ia terus memikirkan Indri, adiknya yang malang. ayah berubah setelah ibu indri meninggal. Dulu, ayah adalah sosok yang penyayang, selalu tersenyum dan memanjakan anak-anaknya. Namun, kehilangan ibu Indri membuat ayah terpuruk dalam kesedihan yang mendalam. Ia melampiaskan rasa sakitnya dengan cara yang salah, yaitu dengan kekerasan.

Bagas tahu, ia harus bertindak. Ia tidak bisa membiarkan ayahnya terus menyakiti Indri. Ia bertekad untuk berbicara dengan ayahnya, mencoba menyadarkannya dari kegelapan yang telah merenggutnya.

Namun, ia juga sadar, ini bukan perkara mudah. Ayahnya keras kepala, dan rasa bersalahnya mungkin telah membutakan hatinya.

Keesokan harinya, Bagas mencari ayahnya di ruang kerja. Ia melihat ayahnya duduk di kursi, menatap kosong ke arah jendela. Indra menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. "Ayah," panggil Bagas, suaranya pelan.

Ayah menoleh, menatap bagas dengan tatapan kosong. "Ada apa?" tanyanya.

"Ayah, aku ingin bicara tentang Indri," kata bagas, mencoba mengatur kata-katanya. "Aku tahu ayah sedang berduka, tapi jangan lampiaskan kemarahan ayah kepada Indri.

Dia juga kehilangan ibu, sama seperti ayah."

Ayah terdiam, tidak menjawab. Bagas melanjutkan, "Indri takut pada ayah. Dia merasa tidak aman di rumah ini. Ayah, tolong berhenti menyakitinya."

Ayah menunduk, menyembunyikan wajahnya. "Aku... aku tidak tahu apa yang kulakukan," katanya, suaranya bergetar. "Aku sangat merindukan. Aku merasa kehilangan arah."

"Aku tahu, Yah," kata Bagas, mendekati ayahnya. "Semua merindukannya. Tapi, kita tidak bisa terus hidup dalam kesedihan. Kita harus bangkit, demi ibu, demi Indri, demi kita semua."

Ayah mengangkat wajahnya, menatap Bagas dengan mata berkaca-kaca. "Apa yang harus kulakukan?" tanyanya.

"Kita bisa mulai dengan berbicara," kata Bagas. Yang penting, Ayah tidak sendirian."

Ayah mengangguk, setuju dengan usul Bagas. Mereka berdua terdiam sejenak, larut dalam pikiran masing-masing. Bagas berharap, ini adalah awal dari perubahan. Ia berharap, ayahnya bisa kembali menjadi sosok yang penyayang, dan Indri bisa merasa aman di rumahnya sendiri.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Sisca Yofie

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku