Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
BUDE IDAMAN PENGGODA HASRAT

BUDE IDAMAN PENGGODA HASRAT

Sisca Yofie

5.0
Komentar
20
Penayangan
2
Bab

Rendi 19 tahun,yang harus menerima kenyataan bahwa kedua orangtuanya meninggal saat liburan bersama. Rendi merasa terpuruk,hingga sang ibu memberikan pesan kepada Rendi untuk tinggal bersama Bude Sarah,di sebuah rumah yang akan menjadi saksi cinta diantara mereka. Bude yang berumur 40 thn merasa bahagia dengan adanya Rendi di sisi bude selamanya.

Bab 1 KEHILANGAN DAN HARAPAN BARU

Aku Rendi, anak satu-satunya di keluargaku. Umurku 19 tahun, dan aku anak yang selalu bahagia memiliki kedua orang tuaku.

Aku anak yang rajin, hobiku adalah menonton film bokep, dan ketertarikanku menonton ketika aku kelas 2 SMA saat sahabatku menunjukkan film bokep pertama kalinya.

Setelah aku tidur terlelap, pagi hari aku melihat kabar bahwa kedua orang tuaku pergi untuk selamanya akibat kecelakaan pesawat saat mereka liburan bersama.

Aku sedih tak karuan, aku berteriak namun kenyataan mereka tak akan pernah kembali lagi ke dunia. Aku menemukan surat di laci lemari ibu, wasiat terakhir bahwa aku diminta untuk menemui budeku Sarah yang seorang janda untuk tinggal bersama.

Aku mencari alamat rumah bude dengan menggunakan map tanpa berkata-kata, dan bingung harus kemana lagi.

Di tengah jalan, aku menemukan seorang pemuda yang bernama Jono. Dia mengantarkanku ke alamat yang sedang ku cari.

Sesampainya aku di sebuah rumah, aku mengetuk pintu dan yang membukakan pintu seorang wanita seksi payudara besar yang aku tak tahu namanya.

Seketika hatiku tak karuan melihat wanita seperti ini, akupun memberanikan diri untuk bertanya apakah ini rumah bude Sarah.

Seketika wanita tersebut berkata iya dengan saya sendiri. Lalu aku berkata saya Rendi keponakan bude Sarah anak dari ibu Anita dan bapak Anton.

"Oh, Rendi, kamu sudah besar sekali," kata Bude Sarah, suaranya lembut namun dengan tatapan yang sedikit berbeda. "Masuklah, pasti kamu lelah."

Aku masuk ke dalam rumah yang terasa asing namun hangat. Rumah itu tidak besar, namun tertata rapi dengan perabotan yang sederhana namun elegan.

Aroma masakan yang lezat tercium dari dapur, membuat perutku yang kosong berbunyi.

"Duduklah, Bude buatkan teh hangat," kata Bude Sarah, lalu menghilang ke dapur.

Aku duduk di sofa, mengamati sekeliling ruangan. Ada foto-foto keluarga yang tidak kukenal, lukisan-lukisan abstrak yang menarik perhatianku, dan sebuah rak buku yang penuh dengan novel-novel tebal. Aku merasa seperti berada di dunia yang berbeda, dunia yang asing namun menarik.

Bude Sarah kembali dengan nampan berisi teh hangat dan beberapa potong kue. "Diminum dulu, Rendi," katanya, menyodorkan secangkir teh kepadaku.

Aku menerima teh itu, menghirup aromanya yang menenangkan. "Terima kasih, Bude," kataku.

"Bagaimana perjalananmu?" tanya Bude Sarah, duduk di sampingku.

"Lumayan lancar, Bude. Tadi ada teman yang membantu menunjukkan jalan," jawabku.

"Syukurlah. Kamu pasti sangat sedih kehilangan orang tuamu," kata Bude Sarah, suaranya penuh empati.

Aku mengangguk, tidak bisa berkata apa-apa. Air mata tiba-tiba menggenang di pelupuk mataku.

Bude Sarah memelukku, menepuk-nepuk punggungku dengan lembut. "Menangislah, Rendi. Jangan ditahan," katanya.

Aku menangis, meluapkan semua kesedihan dan rasa kehilangan yang selama ini kupendam. Bude Sarah memelukku erat, memberikan kehangatan dan kenyamanan yang sangat kubutuhkan.

Setelah beberapa saat, aku merasa lebih tenang. Aku melepaskan pelukan Bude Sarah, mengusap air mata di pipiku.

"Terima kasih, Bude," kataku, suaraku serak.

"Sama-sama, Rendi. Sekarang kamu tinggal di sini bersama Bude. Kita akan saling menjaga," kata Bude Sarah, tersenyum lembut.

Aku mengangguk, merasa sedikit lega. Aku tahu, hidupku tidak akan sama lagi. Tapi setidaknya, aku tidak sendirian.

Malam itu, setelah makan malam yang sederhana namun lezat, aku masuk ke kamar yang sudah disiapkan untukku. Kamar itu kecil namun nyaman, dengan tempat tidur yang empuk dan selimut yang hangat.

Aku berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar.

Pikiran tentang orang tuaku kembali menghantuiku.

Aku merindukan mereka, merindukan senyum dan tawa mereka. Aku merindukan pelukan hangat ibu dan nasihat bijak ayah.

Aku memejamkan mata, mencoba untuk tidur. Tapi pikiran-pikiran itu terus berputar di kepalaku. Aku mengambil ponselku, membuka aplikasi film bokep.

Aku menonton film-film itu, mencoba untuk melupakan kesedihanku.

Namun, film-film itu tidak lagi memberikan kesenangan seperti dulu.

Aku merasa kosong, hampa. Aku mematikan ponselku, meletakkannya di meja samping tempat tidur.

Aku membalikkan badan, menghadap ke dinding. Air mata kembali mengalir di pipiku. Aku menangis dalam diam, meratapi kehilanganku.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Bude Sarah berdiri di ambang pintu, menatapku dengan tatapan khawatir.

"Rendi, kamu kenapa?" tanyanya, suaranya lembut.

Aku menggeleng, tidak bisa berkata apa-apa.

Bude Sarah mendekatiku, duduk di tepi tempat tidur. "Kamu tidak bisa tidur?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Sini, cerita sama Bude," katanya, mengelus rambutku.

Aku menceritakan semua kesedihanku, semua rasa kehilangan yang kurasakan. Bude Sarah mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk atau mengelus rambutku.

Setelah aku selesai bercerita, Bude Sarah memelukku erat. "Kamu tidak sendirian, Rendi. Bude ada di sini untukmu," katanya.

Aku membalas pelukannya, merasa sedikit lega. Aku tahu, hidupku tidak akan mudah. Tapi setidaknya, aku tidak sendirian.

Bude Sarah terus bernyanyi, suaranya yang merdu mengisi setiap sudut rumah kecil kami.

"Kamu sudah seperti anakku sendiri," ucapnya, senyumnya hangat menenangkan hatiku yang gundah.

Aku terdiam, perasaan campur aduk menguasai diriku. Bude Sarah, dengan tubuhnya yang masih terlihat bugar dan menawan di usianya yang tak lagi muda, selalu memperlakukanku dengan penuh kasih sayang.

Namun, entah mengapa, kehadirannya selalu menimbulkan gejolak aneh dalam diriku.

Malam itu, Bude Sarah yang duduk di sampingku, mengelus rambutku dengan lembut.

"Aku tak mampu mengungkapkan perasaan yang berkecamuk di dalam hati. Aku merasa nyaman berada di dekatnya, sangat nyaman hingga rasanya aku ingin terus berada dalam dekapannya.

Namun, di sisi lain, ada perasaan aneh yang membuatku tak tenang, perasaan yang membuatku sulit tidur setiap malam.

Malam semakin larut, Bude Sarah masih menemaniku, menyanyikan lagu-lagu pengantar tidur yang dulu sering dinyanyikan ibuku. Tanpa sadar, aku terlelap dalam pelukannya, kehangatan tubuhnya menenangkan jiwaku yang resah.

Pagi harinya, aku terbangun dan mendapati Bude Sarah sudah duduk di sampingku, senyumnya merekah seperti mentari pagi.

Di tangannya, tergenggam secangkir susu hangat dan sepiring kue kering. "Selamat pagi, Nak. Ini sarapan untukmu," ucapnya lembut.

Aku merasa malu dan bersalah karena telah tertidur dalam pelukannya. "Maafkan aku, Bude. Aku merepotkanmu," ujarku, menundukkan kepala.

Bude Sarah tertawa kecil, "Kamu tidak merepotkan Bude sama sekali. Kamu sudah seperti anak Bude sendiri, jadi jangan sungkan."

Aku merasa terharu dengan kebaikannya. Namun, aku juga merasa tidak enak karena terus-menerus bergantung padanya.

"Bude, hari ini aku akan mencari pekerjaan. Aku ingin membantu Bude," kataku, tekadku bulat.

Bude Sarah tersenyum bangga, "Bude percaya kamu pasti bisa mendapatkan pekerjaan yang baik. Berhati-hatilah di jalan."

Dengan semangat baru, aku melangkah keluar rumah, udara pagi yang segar menyambutku. Aku berjalan menyusuri jalanan kota, mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuanku.

Hari itu, aku mendatangi berbagai tempat, dari toko-toko kecil hingga restoran-restoran di pinggir jalan.

Namun, belum ada satu pun yang memberikan jawaban positif. Aku tidak menyerah, aku terus mencari, berharap ada pekerjaan yang bisa aku dapatkan.

Saat sore menjelang, aku tiba di sebuah kafe kecil yang terlihat ramai.

Aku masuk dan bertanya kepada pelayan yang sedang sibuk melayani pelanggan.

"Maaf, apakah di sini sedang membutuhkan karyawan?" tanyaku.

Pelayan itu mengangguk, "Kebetulan sekali, kami sedang mencari seorang pelayan. Silakan bicara dengan manajer di sana," ujarnya, menunjuk ke arah seorang pria paruh baya yang sedang duduk di meja kasir.

Aku menghampiri manajer itu dan menjelaskan maksud kedatanganku. Setelah berbincang-bincang sejenak, manajer itu tersenyum dan berkata, "Kamu diterima.

Mulai besok, kamu bisa bekerja di sini."

Aku merasa sangat lega dan bahagia.

Akhirnya, aku mendapatkan pekerjaan. Aku segera pulang untuk memberi tahu Bude Sarah kabar baik ini.

Sesampainya di rumah, aku melihat Bude Sarah sedang duduk di teras, menatap langit senja. "Bude, aku mendapatkan pekerjaan!" seruku, wajahku berseri-seri.

Bude Sarah tersenyum lebar, "Alhamdulillah, Bude ikut senang mendengarnya. Kamu memang anak yang hebat."

Malam itu, kami merayakan keberhasilanku dengan makan malam sederhana namun penuh kebahagiaan.

Aku merasa lega karena akhirnya bisa membantu Bude Sarah. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk bekerja keras dan memberikan yang terbaik untuk Bude Sarah, wanita yang telah memberiku kasih sayang. seorang ibu.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Sisca Yofie

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku