HASRAT GILA SAUDARA TIRI
inggal meninggal oleh ibuku. Sudah satu bulan ibuku pergi,
ni menjadi istri ayahku. Hatiku hancur. Ayah menikah
u tak ada. Setiap hari, aku merasa kesepian. Rum
menjemputku ke sekolah. Aku menolak, marah. Aku tidak suka diperlakuka
ngunci pintu, dan menangis sejadi-jadinya. Andai
emakin marah. "Mau apa kamu ke sini? Puas kamu lihat aku dipukul ayah? Kamu bukan abangku! Pergi!
. Aku menolak mentah-mentah. "Kamu siapa? Ikutin aku teru
, jemput kamu pulang." Aku menggeleng. "Ak
napas. "Di luar
kamu." Aku tetap menolak. "Nggak mau! Pergi!" Bagas terus memohon, dengan sabar dan lembut. Akhirnya
dan ibunya terlalu tiba-tiba, terlalu sempurna. Seolah-olah m
eka? Kenapa ayah begit
obil. "Kenapa berhen
. Bagaimana aku bisa menceritakan semua kebingungan dan kecurigaanku? "Aku... aku nggak tahu harus gimana," akhi
anya. "Kalian ini siapa? Apa kalian cuma ma
u. Ini memang sulit buat kamu. Tapi, tolong jangan salah paham. Ibu dan ayahmu men
an yang lalu. Ayah nggak mungkin secepat itu melupakan ibu." Air mata kembali mengali
jangan menutup diri. Aku dan ibu akan berusaha jadi keluarga yang baik buat kamu. Kami nggak a
an. Aku ingin ibu kembali, aku ingin semuanya kembali seperti dulu. Tapi itu tidak mungki
memandang Bagas dengan mata memelas, berharap kakaknya itu mau mengantarn
terlambat," ucap Bagas sambil tersenyum.
-erat. "Terima kasih, Bang. Kalau tidak ada Aban
dengan sayang. "Sama-sama, I
anjal di hatinya. Perasaan hampa menyelimuti dirinya, meskipun ia tahu bahwa Bagas adalah
rahnya dan memeluknya erat. "Abang," bisik Indri, merasa aman dalam pelukan kakaknya. B
a. Bagas melirik adiknya, khawatir dengan perubahan sikapnya. "Indri, kamu kenapa? Ada masalah di
ng tidak biasa. Ayah dan ibunya sedang berciuman mesra di s
g berlari menuju kamarnya, air mata
tunggu!" panggil Bagas. Indri mengunci pintu kamarnya, tidak in
lir di pipinya, dan ia berusaha menahan isak tangisnya. "Ada apa, Bang?" tan
k dan mempersilakan kakaknya duduk. Bagas menatap adiknya dengan penuh kasih sa
ni Abang sela
akan semua yang ingin kamu ceritakan," ucap Bagas lem
tau harus gimana. Berat banget," ucap Indri di sela-sela tang
ada di sini untuk Indri. Kita akan menghadapi ini bersama-sama," ucap Bag
ari cara untuk mengatasi perasaan sedih dan bingung yang Indri rasakan. Bagas berjanji akan se
ya bergetar menahan tangis. "Tetapi, Indri sedih jika ayah terus menyakiti Indri dengan cara memukul Indri. Sejak ibu tiada, ayah
un luka batin. "Indri, jangan bicara seperti itu. Itu tidak baik. Nanti Abang bicarakan dengan ayah ya, biar dia tidak menyakiti kamu lagi," k
lah menyalurkan kekuatan, mencoba meredakan ketakutan dan kesedihan yang selama ini dipendam Indri. Waktu sudah
meninggal. Dulu, ayah adalah sosok yang penyayang, selalu tersenyum dan memanjakan anak-anaknya. Namun, kehilangan ibu Indri me
terus menyakiti Indri. Ia bertekad untuk berbicara dengan ayahnya
udah. Ayahnya keras kepala, dan rasa bers
duduk di kursi, menatap kosong ke arah jendela. Indra menarik napas dalam-d
agas dengan tatapan kos
coba mengatur kata-katanya. "Aku tahu ayah sedang berdu
angan ibu, sam
"Indri takut pada ayah. Dia merasa tidak aman d
dak tahu apa yang kulakukan," katanya, suaranya berget
dukannya. Tapi, kita tidak bisa terus hidup dalam kesedihan.
Bagas dengan mata berkaca-kaca. "A
icara," kata Bagas. Yang pen
iran masing-masing. Bagas berharap, ini adalah awal dari perubahan. Ia berharap, ayahnya