Area 21+ Setting cerita di Amerika "Satu uta dolar buat kesepakatan ini. Tapi, kamu ga beneran nikah sama aku." Hidup Selena Hart yang udah berat makin kacau waktu Damian Jorch tiba-tiba minta dia jadi istrinya. Twist-nya? Semua ini cuma gara-gara muka Selena mirip banget sama Elsie Sonata, calon pengantin aslinya yang mendadak ngilang entah ke mana. Kalau bukan karena tagihan medis tantenya yang numpuk setinggi gunung dan dia ga punya opsi lain, Selena pasti ogah nerima tawaran itu. "Jadi, cuma ucapin janji nikah di altar gereja doang, kan?" tanya Selena. "Iya," jawab Damian. Tapi, rencana mereka berantakan waktu Damian yang lagi mabuk berat kehilangan kendali diri. Dia sentuh Selena! Sekarang, "deal di atas kertas" mereka malah jadi jauh lebih rumit.
Selena keluar dari ruang dokter dengan wajah pucat pasi.
Tangannya yang menggenggam laporan medis gemetar parah, hampir meremas kertas itu tanpa sadar. Dia terhuyung ke kursi di ruang tunggu, lalu menjatuhkan diri ke sana sambil mencoba mengatur napas yang terputus-putus.
"Mana mungkin aku bisa ngadepin semua ini?" gumamnya pelan, suaranya hampir tak terdengar.
Kepalanya penuh kekacauan. Kata-kata dokter tadi terus terngiang di otaknya seperti kaset rusak: "Stadium tiga," "operasi darurat," "biaya pengobatan yang mahal banget."
"Perawatan ginjal kronis itu ga murah," desahnya getir. "Sementara aku cuma pelayan kafe dengan tabungan di bawah sepuluh juta."
Air mata mulai memenuhi matanya, membuat pandangannya kabur. Pikirannya melayang ke Cloe Miranda, bibinya-satu-satunya keluarga yang masih ia miliki.
Cloe adalah orang yang membesarkannya setelah kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan tragis beberapa tahun lalu. Sekarang, giliran Cloe yang butuh bantuan, dan hidupnya tergantung pada uang yang bahkan Selena tak bisa bayangkan untuk dimiliki.
"Tapi aku ga bisa kehilangan dia," pikir Selena, menggenggam laporan itu erat-erat seperti itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap waras.
Sebuah suara lembut memotong lamunannya.
"Selena?"
Kepalanya terangkat. "Iya?"
"Ini resep obat untuk bibimu," kata perawat sambil menyerahkan secarik kertas kecil.
Selena menerimanya dengan tangan yang masih gemetar. Matanya menelusuri daftar obat dengan nama-nama yang bahkan tak bisa ia ucapkan.
Dia tahu ini cuma solusi sementara. Yang sebenarnya dibutuhkan Cloe adalah sesuatu yang jauh di luar jangkauannya-transplantasi ginjal, yang harganya ratusan juta.
"Kamu baik-baik aja?" tanya perawat itu.
Selena memaksakan anggukan kecil, tapi di dalam, dia merasa seperti tenggelam. Baik-baik aja? Mana mungkin dia baik-baik aja?
"700 juta," gumamnya pada diri sendiri. "Aku ga bakal bisa ngumpulin uang sebanyak itu, bahkan kalau kerja 24 jam sehari seumur hidup."
Dia menyandarkan kepalanya ke dinding putih dingin, menatap langit-langit rumah sakit.
"Aku butuh keajaiban," bisiknya. "Atau bahkan iblis pun mungkin ga bakal mau bikin kesepakatan sama aku."
☆☆☆
Kamar Rumah Sakit
Selena masuk ke kamar rumah sakit bibinya dengan langkah berat, tapi ia memaksakan senyuman kecil di wajahnya. Cloe Miranda, terlihat lemah dan pucat, membuka matanya perlahan saat Selena datang.
"Selena," panggil Cloe dengan suara serak, tangannya yang gemetar terangkat, mencoba meraih tangan Selena.
"Cloe, kamu merasa lebih baik?" tanya Selena, menggenggam tangan bibinya dengan lembut.
"Mungkin... tapi aku masih ga tahu apa yang sebenarnya salah sama aku," jawab Cloe lirih. "Yang aku tahu, aku cuma jadi beban buat kamu."
"Jangan pernah bilang begitu," potong Selena tegas. "Kamu bukan beban. Kalau perlu, aku bakal ambil pekerjaan tambahan. Kamu bakal sembuh, dan kita bakal balik lagi bahagia seperti dulu."
Cloe menggeleng lemah. "Kamu ga perlu lakuin itu. Aku udah tua, Selena. Kamu harus simpan uangmu buat masa depanmu sendiri, bukan buang-buang buat aku."
"Aku ga peduli soal itu, Cloe," suara Selena bergetar penuh tekad. "Yang penting kamu sembuh. Itu aja yang aku mau."
Cloe tidak menjawab lagi, tapi Selena bisa merasakan beban rasa bersalah di genggaman bibinya yang lemah.
Di Kafe
Sore itu, Selena melanjutkan pekerjaannya di kafe tempat ia biasa bekerja. Kafe itu penuh dengan pelanggan kaya yang memesan kopi mahal dan kue-kue fancy tanpa pikir panjang.
Selena berjalan bolak-balik dengan baki penuh pesanan, menyapa pelanggan dengan senyuman meski kelelahan menghantam tubuhnya.
Di sudut ruangan, sebuah TV besar menyiarkan berita hiburan.
Telinga Selena menangkap suara pembawa berita yang bersemangat mengumumkan pernikahan mewah Damian Jorch, pewaris miliarder, dan Elsie Sonata, sosialita terkenal.
Layar menampilkan cuplikan tempat pernikahan mewah di The Hamptons, dengan pemandangan hijau luas dan langit biru yang memukau.
"Resepsi 2 juta dolar," suara reporter terdengar, memuji lampu gantung kristal, dekorasi bunga yang memanjakan mata, dan lorong emas yang terlihat seperti adegan dari dongeng.
Selena berhenti sejenak, tatapannya terkunci pada wajah Damian Jorch di layar. Rahangnya tegas, matanya biru menusuk, dan senyum penuh percaya diri yang memancarkan kekayaan dan kekuasaan.
"Dia kayak pangeran sungguhan," gumam Selena tanpa sadar, antara kagum dan tak percaya.
Namun sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara manajernya, Bu Harper, menginterupsi. "Selena, jangan ngelamun! Kerja, cepat!"
Selena buru-buru kembali fokus, membawa baki pesanan ke meja pelanggan.
Waktu Istirahat
Saat akhirnya dapat istirahat sebentar, Selena duduk di ruang staf dengan tubuh yang terasa remuk. Temannya, Maya, ikut duduk di sebelahnya, membawa segelas kopi dingin.
"Kamu denger berita heboh hari ini?" tanya Maya, menyedot kopinya.
"Berita apa?" jawab Selena lesu.
"Pengumuman pernikahan Damian Jorch. Pewaris miliarder, itu loh."
"Oh, itu," Selena mengangkat bahu. "Mereka kelihatan sempurna, kan?"
Tapi Maya malah menyipitkan mata, menatap Selena dengan penasaran. "Kamu ga lihat itu?"
"Lihat apa?" Selena merasa canggung dengan tatapan Maya.
"Kamu mirip banget sama dia-Elsie, pengantinnya," kata Maya santai.
Selena menghela napas. "Hampir ga mirip. Lagian, Maya, dunia mereka sama aku? Jauh banget. Mereka hidup di awan, aku di bawah tanah."
Maya terkekeh kecil tapi kemudian menatap Selena lebih serius. "Kamu keliatan beda hari ini. Ada apa?"
Selena akhirnya menyerah, dinding pertahanannya runtuh. Air mata mulai mengalir.
"Heh, hei," kata Maya lembut, menarik Selena ke dalam pelukannya. "Cerita aja, jangan dipendam."
Selena menyeka wajahnya. "Cloe... bibiku. Kamu tau kan dia sering ngeluh sakit punggung?"
Maya langsung serius. "Iya. Parah banget?"
"Stadium 3. Dokter bilang butuh operasi ginjal," suara Selena hampir pecah.
"Ya ampun... itu pasti mahal banget," bisik Maya, ikut prihatin.
"700 juta," Selena menghela napas panjang. "Tabungan aku udah habis cuma buat tes dan pemeriksaan. Kalau sedikit aja dari uang pesta pernikahan miliarder itu dipake buat bantu dia, mungkin dia udah sembuh sekarang."
Maya terdiam sejenak, lalu merogoh tasnya. "Nih, aku punya tabungan sedikit. Ambil aja, kamu lebih butuh."
Mata Selena membelalak, dadanya terasa sesak oleh emosi. "Maya, aku... aku ga bisa ambil itu."
"Ga usah debat sama aku," kata Maya, tegas tapi lembut. "Kita cari jalan keluarnya bareng-bareng."
Buku lain oleh Dina Amory
Selebihnya