Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
RUNTUHNYA KEPERCAYAAN

RUNTUHNYA KEPERCAYAAN

Avrilia Nadhifa

5.0
Komentar
2
Penayangan
5
Bab

Sepasang suami istri yang saling mencintai menghadapi ujian ketika salah satu dari mereka terlibat dalam perselingkuhan emosional. Pengkhianatan ini menjadi titik balik yang menantang mereka untuk menentukan apakah hubungan itu layak dipertahankan.

Bab 1 Cinta yang Tak Terbantahkan

Matahari pagi masuk melalui celah gorden di kamar Sarah dan Adrian. Sinar lembut itu menyentuh wajah Sarah yang tengah duduk di meja rias, mengenakan blus putih sederhana. Di belakangnya, Adrian, mengenakan dasi, tengah berdiri sambil bercermin.

"Sayang, dasi ini seperti melawan aku," keluh Adrian dengan nada main-main, mencoba mengikat simpul dasinya.

Sarah tersenyum kecil, lalu berdiri mendekat. "Seperti biasa, aku yang harus menyelamatkanmu," ujarnya sambil mengambil alih dasi itu. Tangannya cekatan membentuk simpul yang rapi.

"Selamat, Tuan Adrian. Sekarang kau siap menghadapi dunia," ucap Sarah dengan nada menggoda.

Adrian menatapnya dan tersenyum lembut. "Tanpamu, aku mungkin sudah hancur di tengah jalan."

Sarah tertawa kecil, tapi ada bayangan kesedihan di matanya yang tak disadari Adrian. Rutinitas mereka yang sama setiap pagi mulai terasa kosong. Kehidupan pernikahan mereka memang stabil, tapi ada sesuatu yang hilang-percikan kecil yang dulu membuat segalanya terasa istimewa.

Di meja makan, mereka berbagi sarapan sederhana-roti panggang dan kopi.

"Jadi, hari ini ada proyek besar?" tanya Sarah sambil menyendok sedikit selai ke roti panggangnya.

Adrian mengangguk. "Presentasi klien. Kalau ini berhasil, perusahaan akan dapat kontrak besar."

Sarah tersenyum bangga. "Kamu pasti bisa. Kamu selalu hebat dalam hal itu."

Namun, Sarah tak bisa menahan rasa ragu yang tiba-tiba muncul. Sejak beberapa bulan terakhir, Adrian semakin sibuk dengan pekerjaannya. Waktu mereka bersama semakin sedikit.

Adrian melirik jam tangannya. "Aku harus pergi. Aku akan pulang agak larut malam ini."

"Lagi?" gumam Sarah, mencoba menyembunyikan nada kecewa.

Adrian menghela napas. "Maaf, Sarah. Aku janji akan mengganti waktu ini. Bagaimana kalau akhir pekan kita makan malam di tempat favoritmu?"

Sarah tersenyum kecil meski hatinya sedikit terluka. "Baiklah, aku tunggu janji itu."

Setelah Adrian pergi, Sarah duduk di sofa, menatap foto pernikahan mereka di dinding. Ia tersenyum, mengenang saat-saat penuh cinta di awal pernikahan mereka. Tapi, kenangan itu terasa seperti bayangan yang semakin jauh.

Sore harinya, Sarah pergi ke supermarket. Di lorong buah-buahan, ia bertemu dengan Lina, sahabatnya sejak kuliah.

"Sarah! Lama tidak bertemu," sapa Lina sambil memeluk Sarah dengan hangat.

"Lina! Kebetulan sekali. Bagaimana kabarmu?"

"Baik, seperti biasa sibuk dengan anak-anak. Bagaimana denganmu? Adrian masih romantis seperti dulu?" tanya Lina sambil mengangkat alis.

Sarah tertawa kecil. "Romantis? Mungkin kata itu sudah hilang dari kamus kami. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya."

"Pria memang begitu. Mereka pikir kerja keras adalah bentuk cinta," ujar Lina sambil memilih apel. "Tapi kau baik-baik saja, kan?"

Sarah terdiam sejenak sebelum menjawab, "Ya, kami baik-baik saja. Hanya... kadang aku merasa ada yang hilang."

Lina menatap Sarah dengan serius. "Kalau ada yang mengganggumu, kau harus bicara dengan Adrian. Jangan biarkan hal kecil menjadi besar."

Sarah mengangguk. Ia tahu Lina benar. Tapi, bagaimana jika Adrian tak melihat apa yang ia rasakan?

Malam itu, Sarah duduk sendirian di ruang tamu sambil menonton TV. Suara pintu terbuka terdengar, dan Adrian masuk dengan langkah cepat.

"Maaf, aku terlambat lagi," ujar Adrian sambil melepas jasnya.

Sarah menatapnya dengan senyum tipis. "Tidak apa-apa. Kamu pasti lelah."

Adrian mendekat dan mencium keningnya. "Terima kasih sudah mengerti. Aku akan mandi dulu."

Sarah menatap punggung Adrian yang menghilang ke kamar mandi. Di hatinya, ia bertanya-tanya apakah cinta saja cukup untuk membuat mereka tetap bersama. Rutinitas telah mengambil alih hidup mereka, dan Sarah tahu sesuatu harus berubah. Tapi apa?

Sarah duduk di ruang tamu, mendengarkan suara air dari kamar mandi yang bercampur dengan dentingan lembut jam dinding. Ia menatap TV yang menyala, tapi pikirannya melayang. Momen kecil seperti ini dulu terasa begitu hangat-menunggu Adrian pulang, berbagi cerita tentang hari masing-masing. Tapi sekarang, semuanya terasa seperti formalitas.

Saat Adrian keluar dari kamar mandi, mengenakan kaos abu-abu dan celana santai, ia membawa serta aroma segar sabun. Sarah menoleh dan tersenyum tipis, berusaha menghidupkan suasana.

"Kamu sudah makan malam?" tanya Sarah, meskipun ia tahu jawabannya.

"Belum," jawab Adrian sambil mengeringkan rambut dengan handuk. "Tapi aku terlalu lelah untuk makan. Mungkin hanya secangkir teh."

"Aku buatkan teh untukmu." Sarah bangkit menuju dapur tanpa menunggu jawaban Adrian.

Di dapur, Sarah menyalakan teko elektrik. Ia membuka lemari dan mengambil cangkir favorit Adrian-yang bertuliskan Best Husband. Kata-kata itu kini terasa seperti sarkasme kecil yang menusuk hatinya.

Adrian muncul di pintu dapur, bersandar di kusen pintu sambil menyilangkan tangan. "Sarah, kamu baik-baik saja?"

Sarah menoleh. "Aku? Ya, aku baik." Suaranya terdengar datar.

Adrian mengerutkan kening, mendekat ke arahnya. "Kelihatannya kamu sedang memikirkan sesuatu."

Sarah menggigit bibir bawahnya, ragu sejenak. Tapi akhirnya ia menghela napas. "Aku hanya merasa kita... berbeda akhir-akhir ini. Seperti ada jarak di antara kita."

Adrian terdiam sejenak, lalu menarik kursi dan duduk di meja makan. "Kamu merasa begitu?"

"Kamu tidak?" Sarah menatapnya dengan mata yang penuh tanya.

Adrian mengusap wajahnya dengan tangan, tampak lelah. "Aku tahu aku sudah sibuk belakangan ini. Tapi aku melakukannya untuk kita, Sarah. Untuk masa depan kita."

"Tapi apakah itu cukup?" Sarah meletakkan cangkir teh di depan Adrian. "Aku tidak hanya butuh masa depan. Aku butuh kamu sekarang, Adrian."

Adrian menatap cangkir teh itu, menghindari tatapan Sarah. "Aku tidak bermaksud membuatmu merasa seperti ini. Aku hanya... merasa terbebani. Banyak yang harus kupikirkan."

"Dan kamu pikir aku tidak merasa terbebani?" Sarah memotong, nadanya mulai meninggi. "Aku juga punya perasaan, Adrian. Aku di sini setiap hari, menunggu, berharap kamu akan memperhatikan bahwa aku ada."

Adrian mengangkat tangan, mencoba menenangkan situasi. "Sarah, aku minta maaf. Aku tidak tahu kamu merasa seperti ini. Aku hanya-"

"Kamu tidak tahu karena kamu tidak pernah bertanya," potong Sarah lagi. Air mata mulai menggenang di matanya, tapi ia menahan diri agar tidak menangis. "Aku hanya ingin kita seperti dulu lagi, Adrian. Aku ingin kita berbicara, tertawa, merasakan cinta itu lagi."

Adrian berdiri, mendekati Sarah. Ia meraih tangan istrinya, menggenggamnya erat. "Sarah, aku mencintaimu. Aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Mungkin aku salah karena terlalu sibuk, tapi aku akan memperbaikinya. Aku janji."

Sarah mengangguk pelan, meski hatinya belum sepenuhnya yakin. Janji Adrian terdengar tulus, tapi ini bukan pertama kalinya ia mendengarnya. Ia hanya berharap kali ini janji itu benar-benar ditepati.

Malam itu, mereka tidur berdekatan, dengan Adrian memeluk Sarah erat. Tapi meskipun tubuh mereka bersentuhan, hati Sarah tetap merasa jauh.

Sarah terbangun di tengah malam. Pemandangan kamar yang remang-remang terlihat sama seperti biasanya, tetapi ada sesuatu yang tidak biasa di dalam hatinya. Adrian masih memeluknya erat, napasnya teratur dan tenang. Ia tampak begitu damai dalam tidurnya, kontras dengan kekacauan yang dirasakan Sarah di dalam dirinya.

Dengan hati-hati, Sarah melepaskan pelukan Adrian dan bangkit dari tempat tidur. Ia melangkah keluar kamar menuju dapur, menyalakan lampu kecil yang cukup menerangi ruangan. Pikirannya penuh dengan pertanyaan dan keraguan.

Saat menuang segelas air, suara langkah kaki terdengar dari belakang. Adrian berdiri di ambang pintu, matanya masih setengah mengantuk.

"Kenapa kamu bangun?" tanyanya, suaranya serak karena baru bangun tidur.

Sarah tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Aku hanya haus. Kamu kenapa ikut bangun?"

Adrian berjalan mendekat, bersandar pada meja dapur. "Aku merasakan kamu tidak ada di tempat tidur. Ada yang kamu pikirkan lagi?"

Sarah terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Aku hanya merasa... kita tidak benar-benar bicara malam ini. Maksudku, ya, kamu bilang kamu akan memperbaikinya, tapi... apa kamu benar-benar tahu apa yang aku rasakan?"

Adrian mengusap wajahnya dengan tangan, menatap Sarah dengan ekspresi bersalah. "Aku tahu aku bukan suami yang sempurna, Sarah. Aku sadar aku terlalu sibuk, terlalu sering mengabaikanmu."

Sarah menatapnya dalam-dalam. "Aku tidak butuh kesempurnaan, Adrian. Aku hanya butuh kamu untuk benar-benar ada. Untuk mendengarkan, untuk peduli."

Adrian meraih tangan Sarah, menggenggamnya erat. "Aku peduli, Sarah. Aku benar-benar peduli. Tapi kadang, aku juga merasa seperti... aku tidak cukup untukmu."

Kata-kata itu membuat Sarah terkejut. "Tidak cukup? Adrian, kamu adalah segalanya bagiku. Masalahnya bukan itu. Masalahnya, aku merasa kita mulai kehilangan arah."

Adrian terdiam, menatap Sarah dengan mata yang penuh rasa bersalah. "Lalu, apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus kita lakukan?"

Sarah menggeleng pelan, air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa aku tidak mau kehilangan kita."

Adrian menarik Sarah ke dalam pelukannya, memeluknya erat seakan takut ia akan menghilang. "Kita tidak akan kehilangan apa-apa, Sarah. Aku janji. Aku akan berusaha lebih baik. Kita akan melalui ini bersama."

Namun, dalam hati Sarah, janji itu terasa rapuh. Ia ingin percaya, tetapi ada ketakutan yang tidak bisa ia abaikan. Ia mencintai Adrian, tetapi apakah cinta itu cukup untuk mengatasi semua kekosongan yang ia rasakan?

Keesokan harinya, suasana pagi terasa lebih dingin meski matahari bersinar cerah. Adrian berangkat lebih awal untuk rapat penting, sementara Sarah memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat rumah mereka.

Di bangku taman, Sarah duduk sendirian, memandangi burung-burung yang beterbangan di atas pohon. Pikirannya melayang-layang hingga sebuah suara akrab memanggilnya.

"Sarah?"

Ia menoleh dan mendapati Dimas, seorang teman lama dari masa kuliahnya, berdiri di sana dengan senyum hangat.

"Dimas? Apa kabar?" Sarah bangkit berdiri, merasa terkejut sekaligus senang.

"Baik. Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Kamu sering ke sini?" tanya Dimas sambil duduk di bangku sebelahnya.

Sarah tersenyum kecil. "Kadang-kadang. Tempat ini memberiku ketenangan."

Percakapan mereka mengalir dengan mudah, seperti dua teman lama yang tidak pernah kehilangan koneksi. Dimas, yang kini seorang konsultan, berbicara tentang kehidupannya dengan antusias. Sarah merasa lega bisa berbicara tanpa rasa canggung, sesuatu yang akhir-akhir ini jarang ia rasakan dengan Adrian.

Saat mereka berpamitan, Dimas menawarkan sesuatu. "Kalau kamu butuh teman bicara, Sarah, aku selalu ada. Ini nomor baru aku."

Sarah ragu sejenak, tetapi akhirnya menerima nomor itu. "Terima kasih, Dimas."

Saat berjalan pulang, Sarah merasa sedikit lebih ringan. Tapi, di sudut hatinya, ia tahu bahwa pertemuan ini mungkin menjadi awal dari sesuatu yang ia sendiri tidak bisa prediksi.

Bersambung...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Avrilia Nadhifa

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku