Novel ini bercerita tentang seorang gadis berusia 17 tahun yang terpaksa menikah dengan pria beristri. Dia adalah Havva, gadis manis dengan hidung mancung dan mata cokelat yang tenang. Ia dilahirkan di keluarga sederhana. Sebuah desa kecil yang terletak di ibu kota Turki, Ankara. Saat Irlan pergi berlibur ke sebuah penginapan yang terbentang ladang gandum dan perkebunan yang luas. Ia jatuh cinta pada Havva yang merupakan anak pelayan di penginapan tempat Irlan tinggal. Havva menuruti perintah ayahnya. Karena dia tidak ingin ibunya menderita sakit terus-menerus. Begitu pula dengan ayah tuanya yang bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Havva, gadis manis, kini bersedia menikah dengan Irlan. Padahal istri pertama Irlan sangat sinis terhadap Havva. Dia adalah istri pertama Irlan, Bilqis. Sosoknya modis dan wajahnya selalu dengan riasan. Membuat Havva takut untuk melihatnya. Bisakah Havva bertahan hidup demi orang tuanya?
Seorang wanita berusia dua puluh lima tahun dengan gaya hijab pasmina serta blouse dan rok midi sedang memandang jenuh pemandangan di depannya. Bibir yang tampak merah pekat mengerucut kesal.
"Mengapa kau memilih tempat ini?" tanya seorang istri kepada suaminya yang sedang menikmati pemandangan ladang gandum di depannya.
"Memangnya kau tidak suka? aku rasa tempat ini sangat indah. Aku tidak sabar menunggu malam tiba. Mungkin aku bisa melihat langit dengan bintang bertaburan," kata laki-laki itu dengan bola mata misterius dan bulu mata yang lentik.
"Bagaimana bisa aku menyukai tempat seperti ini?" kesal wanita bernama Bilqis ini.
Irlan suaminya hanya diam tak menggubris kalimat perempuan cantik itu.
"Di sini terlalu sepi, bahkan lebih banyak nyamuk dari pada manusia!" gerutu Bilqis sembari melayangkan telapak tangannya ke udara. Karena nyamuk telah mengganggunya.
"Permisi, ini ada buah melon," seru lelaki berbaju lusuh yang merupakan pelayan dari penginapan kecil ini.
"Oh ya silahkan taruh saja di meja!" ucap Irlan dengan ramah hingga lesung pipinya terlihat cukup manis.
"Ini buah segar, baru saja saya memetiknya. Selamat menikmati," kata bapak itu seraya meletakkan piring yang berisi irisan melon di atas meja lalu pergi dengan sopan.
"Ya tuhan!" ujar Bilqis dengan wajah sedih. Kedua tangannya menutup wajah moleknya.
"Ada apa denganmu?" tanya sang suami sambil tangannya mencomot irisan melon lalu memakan sekali suapan.
"Kau lihat tadi penampilan bapak itu? dia terlihat lusuh. Aku tidak bisa membayangkan jika tangannya kotor dan langsung menyiapkan makanan itu," Bilqis melihat piring di atas meja itu dengan jijik.
"Ya tuhan! bisakah kau bersikap wajar layaknya manusia normal?" Irlan mendekati istrinya dengan memegang irisan melon.
Sang istri mengerutkan dahi dengan tindakan Irlan.
"Ini makanlah!" melon di depan mulut Bilqis telah datang. Si empunya bibir merah telah melotot tajam di depan pria hidung manjung itu.
"Ah yasudahlah jika tidak mau!" seru Irlan dengan sigap memakan melon di tangannya.
"Lebih baik aku ke kamar saja dan bermain ponsel." ucap Bilqis langsung melangkah pergi. Hingga sepatu boot miliknya terdengar.
Diam-diam Irlan menatap kepergian Bilqis dengan kecewa. Mungkin bisa dibilang sedih. Entah bagaimana cintanya tidak kunjung tumbuh kepada gadis itu. Ia menikah karena desakan orang tua dan para kerabatnya. Bukan karena sebuah cinta.
Awalnya ia pasrah dan meyakini bahwa kelak ia akan mencintai Bilqis. Namun sampai detik ini pun benih-benih asmara tidak menyapa dirinya.
"Hei Irlan turunlah! Makan siang akan segera di mulai!" teriak seorang laki-laki yang merupakan teman bisnisnya dari lantai bawah.
Irlan yang berdiri di balkon sontak memandang ke bawah. Tawa kecil Irlan terdengar saat beberapa teman bisnisnya berteriak keras mengajak Irlan turun.
Tanpa pikir panjang ia turun ke bawah. Sampai di tempat itu hidung Irlan mencium aroma yang begitu sedap.
Daging bakar begitu menggoda selera makannya. Di sebuah karpet tersaji makanan berupa kebab dan lainnya.
"Irlan Irlan kemarilah sang pebisnis keren! seorang temannya berucap riang.
Tangan kekar milik Zain merangkul Irlan dengan akrab.
"Kenapa kau tadi di atas terlihat melamun hah? Apa kau sedih? Apa yang perlu di cemaskan wahai Irlan. Semuanya sudah kamu miliki. Harta yang melimpah, restoranmu ada di seluruh kota dan kau mempunyai istri yang sangat cantik!" ujar Zain dengan melirik kepada teman yang lainnya. Kini semua orang tersenyum memandang Irlan.
"Siapa yang melamun? Aku hanya sedang menikmati suasana di pedesaan ini Zain," jelas pria dengan rahang yang terlihat tegas di balut rambut tipis. Ia tertawa kecil kepada teman-temannya. Ia menyuguhkan perasaan palsu kepada semua teman-temannya.
"Hahaha bagus lah kalau begitu," ucap Zain dengan menepuk pundak Irlan yang kekar.
"Aku juga mau wanita seperti Bilqis," ujar kembali Zain dengan candanya.
Semua tertawa mendengar Zain mengucapkan itu.
"Ayo ayo makanlah!" ucap seorang bapak yang mirip wajahnya dengan pelayan yang mengantarkan melon untuk Irlan.
Kini semua orang duduk di sebuah tikar dengan mengelilingi makanan.
Sebuah teriakan terdengar di atas. Suara itu tentunya berasal dari kamar Irlan. Semua teman Irlan mendelik mendengar suara jeritan itu. Mereka khawatir. Sementara Irlan tahu bahwa itu suara istrinya. Bilqis pasti sedang ketakutan oleh seekor hewan.
Irlan mendengus kesal. Karena seharusnya ia sudah memasukkan makanan ke dalam mulut sekarang.
"Tunggu apa lagi? Pergi sana temui istrimu!" seru Zain dengan cepat.
Kaki Irlan segera berdiri dan berlari menuju lantai atas. Di tangga pun ia cepat menginjakkan kakinya. Dengan cepat ia melihat istrinya menangis sesegukan dan terdengar keras.
Dengan cepat Bilqis menubruk kepada suaminya. Irlan hanya melongo dengan tindakan sang istri.
"Bajuku kotor semua! Dua ekor ayam telah mengotorinya! mereka pasti buang air besar di bajuku," rajuk Bilqis dengan frustasi. Ia menangis keras di dada bidang milik Irlan.
Mata Irlan melirik bosan. Ia menghembuskan nafasnya sejenak lalu melepas pelukan hambar itu.
"Tenangkan dirimu. Duduklah!" ucap Irlan dengan sabar ia mendorong wanita dengan wajah make up tebal itu agar duduk di atas ranjang.
Tangan Irlan menyentuh baju-baju yang menggantung di dalam lemari. Ia berkali-kali memeriksa apakah ada noda kotor yang menempel di baju istrinya.
"Tidak ada yang kotor Bilqis, kau lihat ini semuanya bersih. Tak ada kotoran ayam yang menempel," jelas Irlan dengan memperlihatkan baju-baju di depan mata Bilqis.
"Tapi dua ayam itu mengenai bajuku. Bulu-bulu kotor mereka pasti menempel di bajuku. Aku tidak mau memakai baju itu. Tolong singkirkan sayang. Aku jijik sekali," ucap Bilqis dengan kedua bahu terangkat dan raut wajah jijik.
Irlan segera melempar baju-baju itu di pojokan ruang kamar. Ia bergumam dalam hati kalau kelakuan istrinya sangat menyebalkan kali ini. Sudah jelas baju-baju itu masih wangi dan bersih.
"Sebaiknya kau turun dan makan siang, apa kau tidak lapar?" tanya Irlan dengan sungkan. Ia melihat istrinya dengan wajah muram.
"Sudahlah jangan bersedih! Kau bisa meminta pelayan di sini untuk mencucinya," kata Irlan mendekati istrinya.
"Aku benar-benar kesal sekali hari ini! Huh!" seru Bilqis dengan kedua telapak tangan menggenggam keras.
"Aku akan turun untuk makan siang," ucap Irlan dengan datar. Ia melangkahkan kakinya namun terhenti saat sang istri memeluk perutnya dari belakang.
"Aku bosan di sini, besok kita pulang saja ya?" wanita manja seperti Bilqis begitu membuat Irlan naik pitam, namun Irlan tetap bersikap sabar. Ia berbalik dan menatap wajah istrinya.
"Maaf sekali aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu," ucap Irlan membuat Bilqis cemberut berkacak pingngang.
Irlan berbalik kembali dan melangkah. Tepat di depan pintu keluar kamar ia menghentikan langkahnya saat sang istri memanggilnya dengan sebutan sayang.
"Kalau begitu ciumlah aku supaya aku bisa betah di sini," seru Bilqis dengan lirih dan tegas.
Seketika itu Irlan berbalik dan melangkah dengan lemas. Kini keduanya bertatap muka dan sangat dekat. Bilqis tersenyum manis di depan suami yang sangat dipujanya. Irlan segera mendaratkan ciuman di bibir Bilqis. Sekitar sepuluh detik mereka melakukan adegan romantis itu.
"Aku mencintaimu sayang," ucap Bilqis saat melepas sentuhan bibirnya. Ia menerbitkan senyum kembali hingga membuat Irlan terpaksa membalas senyuman itu.
"Kalau begitu aku turun ya?" tanya Irlan dengan lembut.
"Baiklah sayang," jawab Bilqis dengan suara centilnya.
Irlan segera turun ke lantai atas dan bergabung kembali dengan teman-temannya.
"Apa yang terjadi?" tanya salah satu temannya yang masih mengunyah makanan.
"Oh ada ayam yang memasuki kamar istriku, dia ketakutan," jelas Irlan dengan santai sambil tetap tersenyum mengedarkan pandangan ke semua teman laki-lakinya.
Sementara itu seorang bapak yang sejak tadi sibuk menuangkan minuman di gelas para tamunya, mendengar dengan jelas tentang ayam yang masuk ke dalam kamar salah satu tamunya. Segera setelah ia selesai dengan tugasnya. Dirinya langsung berjalan ke belakang menuju dapur para wanita memasak.
"Di mana Havva?" tanya bapak berambut sedikit gondrong itu dengan kemarahan yang membuat wajahnya memerah.
"Apa yang terjadi?" tanya ibu Havva dengan khawatir. Para ibu-ibu di sampingnya pun ikut ketakutan.
"Aku bertanya dimana Havva anakmu itu hah!" bentak lelaki yang bernama mahmud itu.
"Pagi tadi kau menyuruh Havva untuk menjaga ayam dan memberikan makanan untuk ayam kan? Mungkin dia masih di sana sekarang," jawab ibu Havva dengan suara gemetar.
Mahmud segera meninggalkan dapur itu dan bergegas menuju kandang ayam.
"Hei Havva!" panggil lelaki berkumis itu dengan keras.
Gadis berwajah manis itu panik melihat kedatangan pamannya.
"Apa benar ada ayam yang masuk ke dalam kamar tamu?" tanya laki-laki itu dengan sorot mata mengerikan.
"Aku berusaha menangkap ayam-ayam itu dan ternyata ayam itu sudah ada di kamar tamu. Tapi aku sudah menangkap ayam itu kok!" jelas Havva dengan gugup.
"Kau bodoh sekali menangkap ayam begitu saja tidak becus. Sejarusnya jangan sampai ayam itu masuk ke dalan kamar tamu!" kata Mahmud dengan geram melihat gadis berusia tujuh belas tahun itu.
"Baiklah lain kali aku akan lebih hati-hati," ucap Havva dengan menunduk. Sejujurnya Ia membenci pamannya itu. Tapi mau bagaimana lagi. Ia hanya bisa mendapatkan uang dengan menuruti perintah pamannya.
"Kalau kau melakukan kesalahan lagi, aku tidak segan-segan memotong gajimu." kata pamannya itu dengan tatapan tajam. Lalu Mahmud pergi dengan cepat. Ia takut para tamu akan mencarinya.
Havva terdiam menatap ayam-ayam itu yang sudah selesai di beri makan. Kandangnya pun sudah bersih.
"Ya tuhan kuatkanlah aku untuk menjalani kehidupan ini. Aku akan melakukan apapun demi membuat orang tuaku tidak kelaparan dan tetap hidup." ucap Havva dalam batinnya. Ia menangis tanpa bersuara. Tangisan paling menyedihkan telah memenuhi kisah dirinya.
Entah sampai kapan dirinya hidup seperti ini. Bapak dan ibunya menjadi karyawan di penginapan ini. Dirinya pun demikian. Sang paman yang merupakan adik dari bapaknya menjadi bos di penginapan ini. Namun perlakuan Mahmud sama sekali tidak sopan. Bahkan Mahmud sering marah setiap harinya hanya karena masalah kecil.
Gaji yang di berikan oleh Mahmud kepada para karyawannya pun sangat tidak wajar.
"Aku tidak boleh bersedih seperti ini, aku harus kuat. Gajiku yang telah ku tabung tidak boleh sia-sia. Aku akan terus bekerja keras agar bisa pergi dari desa ini bersama keluargaku," ucap Havva dengan yakin di lubuk hatinya.
Ia segera pergi dari tempat dimana kandang ayam itu berada. Ia melangkah untuk menuju dapur dan membantu mencuci piring.
"Havva!" panggil sang ibu saat melihat Havva memasuki dapur.
Havva segera mendekat kepada ibunya yang tadinya sedang sibuk dengan tungku yang panas.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya sang ibu dengan cemas kepada putri manisnya.
"Aku baik-baik saja, Bu"
Si ibu mengedarkan bola matanya di setiap kulit wajah anaknya.
"Aku takut kau di pukul oleh Mahmud. Pasalnya tadi Mahmud mencarimu dengan penuh amarah," jelas sang ibu dengan menatap teduh wajah anaknya.
"Aku baik-baik saja, Bu. Paman hanya memperingatkan aku agar aku lebih hati-hati menjaga ayam agar tidak masuk ke dalam kamar tamu," kata Havva dengan tenang.
"Syukurlah kalau begitu," suara ibu terdengar lebih nyaman.
"Ya sudah sana kau cuci piringnya! Ibu masih sibuk membuat makanan," pinta sang ibu. Havva pun langsung duduk dan mulai mencuci piring-piring dan gelas.
***
Malam hari telah tiba. Suara hewan-hewan kecil di malam hari mulai terdengar hingga membuat Bilqis kesal.
"Berisik sekali! Ada suara nyamuk, jangkrik dan kodok. Aduh aku benar-benar tidak bisa tidur di sini," ucapnya dengan mengacak rambut panjangnya.
Sementara Irlan yang berada di balkon mendengar kalimat Bilqis dengan tidak menggubrisnya. Ia masih menikmati malamnya dengan penuh rasa nyaman. Apalagi bintang bisa di lihat dengan mata telanjang. Irlan begitu terpesona dengan pemandangan ladang gandum yang luas di temani langit gelap dengan percikan cahaya bintang-bintang kecil.
Suara ketukan pintu terdengar. Bilqis yang berada di dekat pintu membukanya dengan malas.
"Aku ingin mengambil baju yang akan di cuci," ucap Havva dengan lirih. Ia takut perempuan di depannya akan memarahinya. Karena ayamnya yang memasuki kamar wanita di depannya.
"Hei kau ini kan yang tadi siang! kenapa lari begitu saja hah tanpa meminta maaf sekalipun! kau mengotori semua bajuku!" bentak Bilqis dengan suara kerasnya.
"Maaf soal itu. Lain kali aku akan lebih berhati-hati," jawab Havva dengan tertunduk takut.
"Ada apa ini?" tanya Irlan yang muncul di belakang Bilqis.
"Perempuan ini adalah pemilik ayam itu Irlan," kata Bilqis dengan sinis.
Irlan melihat Havva dengan kasihan. Havva memberanikan diri mengangkat wajahnya.
"Maafkan aku tuan. Sekali lagi aku meminta maaf," ucap Havva melihat wajah Irlan.
Seketika itu mata Irlan terpana melihat wajah Havva yang begitu menyejukkan hatinya. Bibir kecil dan hidung manjung serta bola mata hitam milik Havva membuat Irlan jatuh hati. Irlan memandang penampilan gadis desa itu dengan serius. Nampak sebuah kesederhanaan di dalam diri Havva. Irlan juga bisa melihat wajah Havva yang begitu manis. Meski kurus namun Irlan tertarik kepada gadis di depannya itu.
"Ini cuci semua bajuku!" Bilqis melempar bajunya kepada Havva. Beruntung kedua tangan Havva cepat menangkapnya. Havva segera pergi dengan perasaan sedih.
"Dasar wanita tidak sopan! Kenapa dia harus memprlakukan aku seperti itu! wanita kota memang tidak bisa menahan sedikit emosinya! aku benci dengan wanita yang hidup di kota!" gerutu Havva di dalam hati dengan geram. Ia meninju-ninju baju yang ada di tangannya. Hatinya benar-benar panas saat itu.
Bab 1 SATU
20/05/2024
Bab 2 DUA
20/05/2024
Bab 3 TIGA
20/05/2024
Bab 4 EMPAT
20/05/2024
Bab 5 LIMA
20/05/2024
Bab 6 ENAM
20/05/2024
Bab 7 TUJUH
20/05/2024
Bab 8 DELAPAN
20/05/2024
Bab 9 SEMBILAN
20/05/2024
Bab 10 SEPULUH
20/05/2024
Bab 11 SEBELAS
20/05/2024
Bab 12 DUA BELAS
20/05/2024
Bab 13 TIGA BELAS
20/05/2024
Bab 14 EMPAT BELAS
20/05/2024
Bab 15 LIMA BELAS
20/05/2024
Bab 16 ENAM BELAS
20/05/2024
Bab 17 TUJUH BELAS
20/05/2024
Bab 18 DELAPAN BELAS
20/05/2024
Bab 19 SEMBILAN BELAS
20/05/2024