Usia pernikahan Arin baru saja seumur jagung. Namun, sang mertua sudah mempertanyakan tentang kehadiran anak. Sedangkan suaminya, Erlan tidak pernah menyentuhnya sama sekali dengan alasan kesehatan. Ketika sebuah fakta terkuak kepermukaan, Arin sangat marah hingga memutuskan untuk pura-pura mati. Kira-kira, fakta apa yang dapat membuat seorang Arin memutuskan untuk pura-pura mati? Simak kisahnya dalam novel "PURA-PURA MATI" ini!
1
"Mas, kamu ngga berangkat kerja? Bukannya kemarin kamu keterima tahap interview ya?" Tanya seorang perempuan yang mengenakan pakaian setelan formal. Perempuan itu tidak lain adalah Arin, Katrina Mayden.
"Hah!" Sang suami yang bernama Erlan tersebut menghela napasnya dengan lelah.
"Mas gagal lagi! Padahal mas sudah berusaha semaksimal mungkin. Pasti ini ada kaitannya dengan penyakit mas!" Jelas Erlan dengan nada lesu.
"Mas ngga nyari lagi pekerjaan yang lain gitu?" Tanya Arin sambil mengernyitkan keningnya.
"Hah! Besok saja sepertinya Rin. Nyari pekerjaan yang sesuai dengan kondisi mas itu susah. Kalau mas ngambil pekerjaan yang sembarangan, takutnya kondisi mas semakin memburuk." Jawab Erlan dengan lagi-lagi menggunakan nada lesu.
"Kamu juga tahu sendiri, kesehatan mas itu tidak baik. Jangankan untuk mencari kerja, untuk menyentuh kamu saja mas tidak sanggup!" Sambung sang suaminya yang bernama Erlan, Erlan Tirtanio.
"Hah Baiklah, bagaimana kalau kita sembuhkan dulu penyakit mas? Agar mas bisa bebas mengerjakan apa saja tanpa perlu memperhatikan penyakit itu. Untuk biaya, mas jangan khawatir. Tabunganku sudah lebih dari cukup." Ucap Arin yang memberikan tawaran pada sang suami.
"Tidak usah Rin, mas ngga mau ngerepotin kamu!" Ucap Erlan untuk menolak tawaran sang istri.
"Ngga papa kok mas, untuk suami sendiri." Ucap Arin untuk meyakinkan Erlan.
"Tapi itu uang kamu, mas takut nantinya akan berhutang sama kamu." Jelas Erlan yang masih saja menghindar dari kata berobat.
"Ngga papa kok mas, semisal mas merasa berhutang sama aku, nanti mas bisa membayarnya ketika sudah mendapatkan pekerjaan yang layak. Jadi, nanti perasaan berhutang itu akan menghilang. Tenang saja, aku tidak akan menagihnya cepat-cepat kok!" Ucap Arin yang masih tengah berusaha untuk membujuk sang suami.
"An...Anu..." Belum sempat Erlan membalas, terdengar sebuah suara yang menginterupsi mereka dari daun pintu.
"Ngga ada bayar-bayar segala! Anak saya ngga punya hutang apa-apa sama kamu! Yang ada, kamu tuh yang punya hutang dengan anak saya! Sia-sia saya bayar mahar tapi belum ngasih anak saya keturunan!" Maki seorang perempuan paruh baya yang tidak lain adalah Puspa, ibu mertua Arin.
"Jangan-jangan kamu mandul!" Sambung Puspa dengan melayangkan tuduhan pada Arin.
Melihat sang istri yang dipojokkan, Erlan malah menundukkan kepalanya, bukan membela.
"Sia-sia saya ngeluarin uang mahar!" Puspa mengulang makiannya.
"Belum saatnya Bu, sabar aja. Beri kami berdua waktu!" Pinta Arin dengan nada lembut.
"Alah! Waktu-waktu! Dari beberapa bulan yang lalu kamu jawabnya itu-itu aja! Saya bosan! Mending kamu suruh suamimu punya istri lagi sana! Biar saya segera punya cucu!" Ucap Puspa dengan nada marah.
"Tapi Bu!..." Ketika dirinya ingin menjelaskan yang sebenarnya, tidak sengaja Arin melihat Erlan yang menggeleng-gelengkan kepalanya, pertanda menyuruh Arin untuk jangan melawan ucapan sang ibu.
"Tapi apa? Tapi anak saya yang mandul gitu!" Tanya Puspa tidak terima.
"Mana mungkin anak saya mandul! Tidak ada dalam sejarah kalau keluarga saya ada yang mandul! Itu mah alasan kamu saja!" Jelas Puspa lagi dengan nada yang tidak enak didengar.
"Ah iya Bu..." Jawab Arin dengan pasrah. Dirinya tidak bisa berbuat terlalu banyak untuk saat ini.
"Iya-iya! Padahal kamu itu be go! Kalau sampai seminggu ini kamu ngga hamil, maka kamu harus mengembalikan uang mahar yang telah saya berikan!" Ucap Puspa dengan nada menjengkelkan.
"Tapi Bu...." Ketika dirinya ingin membela diri, lagi-lagi ucapan Arin dipotong.
"Ngga ada tapi-tapian! Pokoknya, kalau seminggu kamu ngga hamil, maka kamu harus mengembalikan uang mahar! Kemudian, ketika satu bulan setelah kamu juga tidak kunjung hamil, maka kamu harus mengizinkan anak saya, Erlan untuk menikah lagi! Titik!" Ucap Puspa yang tidak menerima bantahan.
Melihat sang menantu yang tidak berkutik lagi, Puspa pun tersenyum senang. Kemudian dirinya meninggalkan mereka berdua di ruang tamu yang merangkap menjadi ruang keluarga itu.
"Mas gimana ini? Kamu mau ya berobat!" Pinta Arin dengan nada memelas.
"Ngga bisa Rin, mas takut ngerepotin kamu. Nanti mas akan berobat kalau mas udah dapat kerjaan." Tawar Erlan dengan nada lembut.
"Hah baiklah! Kalau begitu, aku pergi ke perusahaan dulu ya!" Arin pun berpamitan pada Erlan sambil meraih tangan Erlan untuk di civm.
"Yaudah, mas anterin kedepan ya!" Ucap Erlan sambil mengusap kepala Arin.
Akhirnya sepasang suami istri itu pun pergi melangkahkan kakinya menuju depan rumah. Tanpa menghiraukan keberadaan Puspa yang entah sekarang berada di bagian rumah Arin yang mana.
Namun, begitu mereka sampai di depan rumah. Sebuah mobil tiba-tiba masuk ke pekarangan rumah Arin.
Tidak lama pintu mobil pun terbuka, keluarlah seorang perempuan dengan menggunakan pakaian yang terlihat glamor, dia Selva. Sahabat dekat Arin sejak bangku kuliah.
"Loh Selva? Tumben kamu pagi-pagi kesini?" Tanya Arin dengan nada heran setelah mereka cipika-cipiki sebentar.
"Heheh... Gue gabut di rumah Rin. Sedangkan Altaf, tunangan gue susah diajak main. Dia lebih mementingkan tugas kantor daripada ceweknya!" Adu Selva dengan menggunakan nada lesu.
"Ya ngga papa, Altaf kerja kan nantinya untuk kepentingan rumah tangga kalian nanti. Belum lagi kamu ingin pesta pernikahan besar-besaran bukan?" Ucap Arin untuk menghibur sahabatnya itu, tidak lupa dia juga menyelipkan pertanyaan retoris dalam kalimatnya.
"Ekhmm... Itu, iya sih heheh.... Eh, ngomong-ngomong Lo mau kemana? Gue mau ngajak Lo hangout nih!" Selva bertanya balik agar Arin tidak membahas tentang tunangannya.
Sebab, dirinya tidak ingin terkena masalah nantinya.
"Oh itu, aku mau ke perusahaan dulu. Biasa, ada oknum yang membuat masalah di perusahaan." Jawab Arin dengan nada lesu.
"Yah! Gagal dong kita hangout bareng!" Selva pun ikut berkata dengan nada lesu.
"Besok-besok aja gimana?" Tanya Arin agar Selva tidak merasa kecewa.
"Yaudah deh ngga papa! Lain kali aja!"
"Nah sip! Kalau begitu aku pergi dulu ya Sel! Mas!" Ucap Arin sambil melangkahkan kakinya menuju mobilnya yang terparkir di samping mobil Selva.
Tidak lupa tangannya melambai-lambai pada suami dan sahabatnya yang masih berada di teras rumahnya.
Akhirnya mobil Arin pun melaju meninggalkan pekarangan rumahnya. Arin sengaja tidak menggunakan jasa sopir, karena untuk saat ini dirinya belum memerlukan kehadiran sopir.
Namun di tengah perjalan Arin teringat, bahwa dirinya tidak membawa map yang berwarna kuning. Padahal map itu adalah bukti-bukti yang telah dikumpulkan pegawainya untuk menjebloskan oknum itu ke ranah hukum.
"Sial! Bisa-bisanya ceroboh!" Ucap Arin dengan kesal.
"Ah iya, di rumah kan ada mas Erlan! Aku mintain bantuan dia untuk mengantarkannya kesini aja deh!" Sambung Arin.
Dirinya pun menepikan mobilnya ke pinggir jalan sebentar, kemudian mengeluarkan handphone untuk menghubungi sang suami.
Namun sayang, setelah panggilan ketiga pun Erlan tidak kunjung mengangkat telepon Arin.
Akhirnya, mau tidak mau Arin pun memutar arah, untuk kembali ke rumahnya.
Begitu dirinya sampai di depan rumah, Arin melihat bahwa mobil Selva masih berada di depan rumahnya.
Arin pun mengernyitkan keningnya heran.
"Mungkin mereka ada masalah pekerjaan kali!" Ucap Arin dengan pelan untuk menebak kegiatan mereka didalam.
Karena tidak jarang Erlan menemui Selva untuk bertanya mengenai lowongan pekerjaan. Lagipula, di rumah itu juga masih ada Puspa. Tidak mungkin mertua yang selalu merasa benar itu membiarkan anaknya berbuat tercela.
Ketika Arin akan masuk ke dalam rumah, tiba-tiba seseorang membekap mulutnya dari belakang.
Buku lain oleh Urcrush
Selebihnya