Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Baby Han - (Gx G)

Baby Han - (Gx G)

zahabiya

5.0
Komentar
4.1K
Penayangan
43
Bab

warning!! GXG | Dunia Pelangi 🌈 Cerita ini mengandung konten dewasa dan LGBTQ+ yang sensitif bagi sekelompok orang. HARAP BIJAK DALAM MEMILIH BACAAN. Jika tidak suka harap skip. _______ Mikaela, seorang wanita muda asal Thailand dengan latar belakang yang sedikit misterius telah berhasil diterima untuk bekerja pada perusahaan fashion ternama di Seoul, Korea Selatan. Wanita muda berstatus janda yang tengah hamil atas program bayi tabung yang dia jalani di akhir masa pernikahannya dengan seorang pria Thailand bernama David. Mereka memutuskan untuk bercerai karena perselingkuhan yang dilakukan oleh sang suami. Hasil goresan tangan Mikaela telah menarik perhatian adik dari pemilik perusahaan J.H Fashion--Minwo Han. Perhatian berlebih dari Minwo terhadap Mikaela yang tanpa alasan jelas mengusik sang kakak. Karena Judith Han merupakan seorang lesbian sejak awal. Lalu kisah romantis yang berbau girl love mulai merebak di hati keduanya ketika Judith Han mengambil alih tugas Minwo untuk memberi tumpangan. Setiap detail sikap Mikaela secara perlahan menyeret atensi Judith untuk mendekat secara alami. Wanita dominan dari keluarga Han tersebut mulai tertarik untuk sering memikirkan Mikaela, termasuk ... berimajinasi liar hanya dengan menatap setiap lekuk tubuhnya. _______ Salah satu book untuk memenuhi obsesi penulis akan cerita berbau kehamilan beresiko.

Bab 1 1. Aroma tubuh Judith

Di sebuah kamar luas dengan penghangat ruangan yang melawan dinginnya suhu Seoul, ranjang king size dan selimut putih lembut yang tebal menjadi teman melewati detik demi detik waktu malam yang merayap menuju pagi.

Seorang wanita tampak bergelung menyamankan diri, lebih tepatnya bersembunyi di balik hangatnya selimut tebal. Sesekali tubuhnya bergerak pelan, namun nampak resah. Malam ini dia mengalami mimpi buruk. Bukan lagi malam, tapi lebih tepatnya menjelang pagi.

Ingatan-ingatan masa lalu berebut membayangi hampir di setiap malamnya. Sebuah memori tak menyenangkan yang bersembunyi di bawah kesadaran ketika siang menempati posisinya.

Mikaela adalah seorang wanita 27 tahun yang menyandang status janda di saat dia tengah mengandung 2 bulan.

Keringat dingin membasahi tubuhnya, ketika mimpi mengganggu tidur lelapnya. Dia mulai nampak bergerak gelisah.

________

Mikaela POV.

"Haruskah kau pertahankan bayi itu, Kae?"

"Hu'um. Itu keputusanku."

"Demi pria tak bertanggung jawab itu?"

"Bukan."

"Lantas?"

"Demi ketenangan batinku, Kak. Baby berhak hidup, bukan salahnya jika harus tumbuh di antara aku dan David."

"Tapi pria itu telah selingkuh di belakangmu, Kae. Kumohon sadarlah Mikaela!!"

Aku terbangun dengan hentakan oleh suara alarm pada ponselku. Dadaku berdebar keras, sementara napasku terengah ketika tersadar dari mimpi itu lagi. Sebuah mimpi yang sama dan hampir setiap malam akan berulang seolah dia telah menancap kuat dalam ingatanku.

Aku mendesah pelan, lalu menyadari bahwa kepalaku mulai terasa pusing, ini lebih mirip tertindih sebuah batu besar dan berat. Di saat yang sama perutku mulai bergejolak kuat, rasanya mirip teraduk karena sesuatu di dalam sana memaksa untuk keluar hingga membuat tenggorokanku terasa tercekat.

Tanpa berpikir panjang kubawa tubuhku dengan langkah gontai menuju kamar mandi, bersiap mengubur wajahku di atas closet.

Morning sickness mulai menyergapku seperti hari-hari sebelumnya selama dua minggu terakhir.

"Hoek ... ugghhh ... hoekk! Tenanglah, Baby! Kumohon!" ucapku lirih mencoba berdiskusi dengan calon di dalam perutku.

Tanganku masih mencengkeram pinggiran closet dengan wajah menunduk untuk mengeluarkan semua isi perutku yang hanya berupa cairan bening hingga tersisa rasa pahit yang mencekat tenggorokanku. Tubuhku bertahan pada posisi berjongkok untuk beberapa menit. Hari ini telah lebih dari sepuluh menit. Namun, rasa puas belum menyapaku.

'Tuhan kuatkan aku,' batinku.

____________

Seoul, 08.00 KST.

Suara pintu lift yang terbuka, aku segera melangkah masuk ruangan yang akan membawa tubuh lelahku ke bawah. Aku harus pergi bekerja.

Dengan membawa teh hangat dan juga salad buah, salah satu makanan favorit dan paling aman yang bisa masuk ke dalam perutku selama 2 bulan masa kehamilanku ini. Udara hari ini cukup dingin, jadi aku memakai baju rajut hangat, celana selutut dengan tali di pinggang dan sebuah jaket panjang yang tebal menutupi pahaku. Menjaga kehangatan baby lebih utama.

"Kau sakit?" Suara serak basah nan seksi menyapa pendengaranku, kubawa wajahku untuk menatapnya untuk menyuguhkan senyum termanis.

Aroma parfum maskulin yang menguar darinya mulai membuai indera penciumanku seperti pagi sebelumnya. Menyeret anganku pada suasana laut dengan angin sejuk. Seketika pikiranku lari menjauhi logikaku.

"Kau ingin mengecup leher ... ku?" Dia bertanya.

"Y-Ya," jawabku gugup.

Aroma itu, ketika tubuhnya mendekat dan memangkas jarak di antara kami, saat dadanya yang berisi menyembul indah menempel pada dadaku, saat belahan kemeja yang tersingkap karena dua kancing teratas tidak dikaitkan, semakin menguar bau maskulin yang berebut keluar dari kerah baju yang sedikit terbuka tersebut.

Hidungku menginginkan bau harum yang seakan menjadi candu buatku. Kurasa baby menginginkannya. Maka segera aku mengubur wajahku pada perpotongan lehernya, mengendus perlahan namun dalam. Kupejamkan mataku menikmati setiap sesapan hidungku membaui kulit putih di sana yang ....

"Ahhh ...," gumamku lirih.

Pintu lift terbuka dan dia melirik padaku."Ayo Kae! Kuantar kau sekalian!" ucapnya.

Aku terkesiap. Sial! Ternyata aku hanya melamun.

Selanjutnya aku menunduk hormat dengan wajah memanas, pasti saat ini bersemu merah. Aku merasa malu atas pikiranku sendiri yang berakhir dengan menggigit bibir bawahku. Seketika rasa gugup menyergapku. Sementara wanita di depanku masih setia mengamati tingkahku yang sedikit serba salah, sesaat kemudian dia berjalan dengan angkuhnya, sementara aku mengekori dengan melangkah sedikit cepat.

Seperti hari sebelumnya, ini adalah sebuah perjalanan pagi yang mendebarkan, kurasakan tubuhku berkeringat di saat suhu udara rendah. Bahkan aku merasakan panas dan dingin bersamaan.

"Kau tampak lebih pucat dari biasanya?" Suara berat dan serak basah yang terdengar cukup, ehm ... seksi kembali menyapa telingaku.

Kubawa tatapanku padanya yang tengah menyetir.

Mataku mulai meneliti. Kemeja putih dengan kerah terbuka, lengan panjang yang dilipat hingga 3/4 bagian, celana berbahan denim. Rambut panjang ikal yang diikat rapi bukan dengan ikat rambut, melainkan dililitkan lalu ditusuk dengan sebuah tusuk kayu yang kurasa mirip sumpit. Rapi, tapi sebagian dibiarkan tergerai begitu saja, yang menjadikannya terlihat begitu seksi karena sebagian lehernya yang terekspos.

Manik matanya yang berwarna hitam legam menatapku beberapa detik sebelum mengalihkan pandangannya untuk kembali fokus pada jalan.

Tubuhnya tidak kurus, tidak juga langsing, tapi cukup berisi. Namun begitu, kesan maskulin dan feminin tampak keluar bersamaan. Dadanya yang menyembul samar terlihat dari kemeja yang sedikit tersingkap membuatku menelan ludah. Kurasa aku tengah tenggelam di dalam pesonanya.

'Aku merinding, berada di dekatmu membuatku merasa panas dingin. Aku ingin mengubur wajahku di dadamu. Menghirup dan mengendus perpotongan lehermu. Bau maskulin yang menguar darimu membuai hidungku. Kurasa baby akan tenang.'

Pikiranku mulai berebut untuk mengeluarkan pendapat.

"Kae?"

Suaranya kembali menginterupsi lamunanku.

"Uhm, u-udara cukup dingin, Nona," ucapku mencicit lirih.

Dan percakapan kami terhenti sampai di situ, yang tersisa hanya musik pop yang mengalun lembut. Aku pun tidak habis pikir dan cukup menjadi sebuah rasa penasaran karena apapun tentang dia; bau tubuhnya, selera musiknya, bahkan suaranya akan membuai anganku begitu saja. Lalu akan menjadi sangat aneh ketika baby di dalam perutku seakan selalu merasa nyaman yang menjadikannya tenang.

______

Hari Senin yang tidak terlalu kusukai.

Sesampai di kantor, aku berjalan beriringan dengannya untuk memasuki lift yang dipenuhi oleh karyawan lain. Beruntung aku berada di tempat paling pojok, setidaknya dia melindungi tubuh ringkihku yang cukup berisi dengan punggungnya.

Dengan jarak yang hanya satu jengkal hidungku kembali terbuai oleh harum yang menguar dari tubuhnya. Oh. Sungguh, seharusnya setiap hari aku bersama dengannya saat memasuki lift. Agar rasa mualku teredam oleh aroma maskulin yang dua kali lebih mujarab daripada obat dari dokterku.

Sayangnya baru satu bulan aku bekerja di tempat ini, yang 14 hari di antaranya dia mulai membawa tubuhku bersama untuk berangkat dan pulang kerja. Sebelumnya aku bersama adiknya.

Oh, betapa beruntungnya aku. Bukan, tapi baby yang menjadikan bau tubuhnya sebagai candu.

Dengan memejamkan mata aku kembali memperdalam hidungku membaui aroma tubuhnya. Padahal itu hanya aroma parfum, yang ketika aku membelinya sendiri dan menyemprotkan pada kulitku, malah mual hebat yang terjadi.

Aku berpikir, apakah yang menjadi candu bagi baby adalah aroma parfum ataukah bau tubuhnya yang tersamarkan oleh cairan tersebut?

Mungkinkah perpaduan keduanya?

Kesenanganku terjeda seiring suara 'ding' yang menandakan kami telah sampai pada lantai 10 tempatku bekerja.

Semua karyawan berhamburan keluar dengan cepat, menyisakan kami berdua.

"Kau yakin baik-baik saja, Kae?" dia bertanya.

"Iya?" ucapku lirih sembari menatap wajahnya, lebih tepatnya perpotongan lehernya, kurasa baby masih ingin.

Lalu aku berjalan mengekori bos besarku yang cantik di saat bersamaan juga terlihat angkuh ini. Biasanya dia berjalan cepat, namun pagi ini sepertinya berusaha menyamai langkah kakiku. Ingatkan aku untuk menatap wajahku di cermin nanti.

Apakah benar aku tampak pucat?

___________

Tumpukan tugas sudah menungguku. Ini adalah sebuah ruangan yang nyaman karena kemarin nona Judith memberiku ruangan pribadi yang besar. Dia memintaku pindah dari kubikel sebelumnya. Iya, sebuah ruangan yang berhadapan langsung dengan miliknya.

"Terimakasih, Nona!" Kuakhiri perjalanan kami dengan menunduk hormat.

Tampak senyum seringai tergurat dari wajah seorang gadis yang tengah melewati kami sebelum akhirnya dia membungkuk hormat pada Judith. Sementara bosku masih menatapku untuk beberapa saat.

Entah apa yang dia pikirkan saat ini.

Hanya menatapiku tanpa berbicara. Namun, sikap tak jelas seperti ini membuatku tak kuat melawan tatapan matanya. Spontan aku menunduk, perasaan canggung membelai otak nakalku. Seperti biasa, aku mulai menggigit bibir bawahku. Tatapannya memanaskan pipiku. Kurasa aku malu.

"Tidak ... jangan lagi!" sahutnya tiba - tiba.

"Iya?" Aku mendongak menatapnya dengan penuh tanya.

"Jangan menggigit bibirmu lagi, Kae!" pintanya.

Sekilas bibirnya mengulas senyum lalu melangkah pergi meninggalkan aku yang mulai menjerit tertahan. Perasaan malu, gugup, di saat yang sama juga senang, semua bercambur membuatku menahan diri dari menggeram frustrasi. Rupanya dia memperhatikan aku ..., bahkan untuk hal kecil.

"Dia mengamatiku, dia tahu kebiasaanku, dia juga memperhatikan wajahku yang katanya pucat," gumamku lirih di antara langkah kakiku memasuki ruangan, lalu dengan segera aku berjalan menuju kamar mandi untuk mengamati wajahku di depan cermin.

"Ah, Ya. Aku terlihat lebih pucat dari biasanya." Aku menggerutu lirih.

"Kumohon jangan rewel, Baby!" lirihku sambil mengusap lembut perutku yang masih cukup rata.

Lalu terdengar suara ketukan pintu.

"Kae, kau di dalam?"

"Iya," jawabku sembari berjalan keluar dari kamar kecil menemui tamuku.

"Apakah kau kurang sehat? Kakak bilang kalau kau terlihat pucat." Dia berkata sembari menyambutku.

Dia adalah Minwo. Han Minwo lebih tepatnya. Adik laki-laki satu-satunya bosku, mereka hanya tinggal berdua karena orang tua mereka telah pergi karena kecelakaan pesawat beberapa tahun lalu.

Uang yang banyak, rumah mewah telah habis dalam kemunduran bisnis keluarga sepeninggal orang tua mereka. Jadi, Judith Han menjadi seorang yang tangguh untuk adiknya yang saat itu masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Maka dia meninggalkan semua kekayaan demi membayar hutang, dengan sedikit uang mulai merintis usaha baru hingga menjadi J.H Fashion, sebuah perusahaan yang bergelut di bidang fashion. Sesuai namanya.

Dan aku berhasil diterima sebagai seorang desainer pemula di perusahaan tersebut.

Hidupku sendiri terbilang cukup berantakan, meski mendapat uang kompensasi atas perpisahanku dengan David, mantan suamiku. Sejumlah besar uang untuk menebus rasa bersalahnya atas keberadaan baby di dalam perutku.

Namun, rasa kecewa serta frustrasi tidak membuatku berhenti untuk mengejar mimpiku sebagai seorang desainer.

Meski faktanya kemampuanku adalah hal yang jauh dari kata 'bisa'. Karena itu menyangkut kesenangan, bahwa momen ketika jari-jariku menggoreskan pensil di atas kertas sketsa, menari untuk menggambar sebuah model baju adalah keasyikan tersendiri.

Menggambar merupakan pelepasan dari jiwaku yang lelah akan kenyataan.

Saat aku mengajukan lamaran pada perusahaan ini, tak pernah terpikirkan untukku memperoleh kesempatan menuangkan setiap ide kreatifku yang jauh dari kata 'profesional' tersebut.

Iya, aku mendalami seni desain lebih karena hobi. Sebelumnya aku putus kuliah dan menikah dengan pria yang mencampakkanku setelah begitu banyak aku berkorban untuknya, nama baiknya dalam keluarganya hingga mau berkontribusi atas kecurangannya untuk memiliki seorang anak, yang nyatanya David mandul. Aku tahu itu dan dia pun sadar.

Pria itu tidak pernah menyukaiku, dia memiliki kekasih sebelum pernikahan kami dan hubungan tersebut dengan jelas di depan mataku tetap mereka lanjutkan. Iya, dalam pernikahan yang terpaksa itu tak satu malam pun kami lewati berdua untuk sebuah sentuhan hangat.

Semua tak lebih dari sebuah pernikahan demi keluargaku, untuk keluarganya, untuk keluarga kami.

"Kae!" Suara Minwo membangunkanku dari tertegun.

Tanpa sadar tangannya telah melambai di depan wajahku. Ah, sepertinya aku terlalu banyak melamun pagi ini.

"Uhm, ti-tidak. Aku baik-baik saja!" jawabku gugup.

Tatapan matanya yang teduh selalu sukses menciptakan rasa nyaman dalam hatiku, bahkan di hari terberatku ketika pertama kali masuk kerja dan berhadapan dengan beberapa desainer senior.

Senyuman Minwo selalu ramah, bahkan tawanya terdengar begitu renyah.

Wajah tampan, kulit putih, kurasa tinggi badannya 170 cm beda beberapa senti Judith. Sifat mereka pun berbeda dan sangat bertolak belakang, bagai siang dan malam.

Jika Minwo menjadi idola para gadis karena ketampanan dan senyum ramah serta sikap low profile-nya, maka Judith menjadi pujaan para pria karena keangkuhannya. Di saat yang sama kecantikannya memancarkan aura dominan. Dia sangat unggul dengan ketangguhannya dalam berbisnis.

Siapa yang tidak mengenal Judith Han, seorang CEO muda yang membangun usahanya sendiri dari nol. Dengan koneksi serta hubungan kerja yang telah dibangun orang tuanya, dalam waktu 10 tahun mampu berdiri dan memimpin beberapa anak cabang perusahaan yang tersebar di Korea Selatan, yang saat ini juga telah mulai melebarkan sayapnya di Kanada.

Ah, itu Judith Han. Setiap hal tentang dirinya mulai menyusup dalam celah otakku.

Tatapan mata tajam, suara beratnya yang serak basah sarat akan kesan seksi dan maskulin secara bersamaan.

Entah setan seperti apa yang merayuku tanpa aku tahu, atau mungkin karena aku lebih tertarik pada hubungan seperti ini dari awal. Yang kutahu bahwa aku mendapati pikiranku mulai berjalan dengan lancangnya menjauhi nalarku jika itu menyangkut dia.

Benar, untuk beberapa alasan yang bahkan tidak tahu itu apa aku mulai memikirkan untuk menginginkannya. Aku mau dia berada di sekitarku dalam jarak lebih dekat dari sekedar bos, lebih dari sekedar tetangga, bahkan lebih dari sekedar kakak dari Minwo.

Aku bahkan berpikir untuk sebuah sentuhan hangat ketika kulit kami bertubrukan dengan sengaja. Aku bisa menggeram dengan mendesah untuk semua pemikiran mesumku sendiri.

Karena, aku juga mulai berpikir untuk mau mengisi malamku bergelung selimut dalam dekapan posesifnya. Merasakan dadanya yang hangat menempel pada milikku. Tuhan, kurasa mungkin baby akan tidur nyenyak. Atau aku yang menginginkannya untuk diriku sendiri. Uhm, mungkin aku.

"Aku ...," lirihku menggeram oleh pemikiranku sendiri.

Pria di depanku hanya terkekeh pelan seolah tahu apa yang mulai merasuki pikiranku akhir-akhir ini. Mataku mengerjap, aku malu. Sementara tangannya terulur untuk mengusak rambutku gemas.

"Apakah kau sudah sarapan?" Dia bertanya. Aku menggeleng.

"Bubur?" Dia kembali bertanya.

Hanya mendengar nama makanan lembek yang kubenci itu, otakku telah bekerja cepat dengan membayangkan untuk menelannya. Tiba-tiba rasanya ada sesuatu yang mengaduk perutku. Mual yang sangat menyergapku.

Sontak aku membekap mulutku, dari muntah. Seakan ada yang mendorong keluar isi perutku. "Hmmpphh ...."

Sementara tanganku yang lain memberi isyarat agar atasanku itu duduk, aku berjalan sedikit berlari menuju ruang favorit keduaku setelah kamar, yaitu kamar mandi.

"Hoekk ... ugghhh! Arggh ... hoekk!"

Bulir keringat membayangi dahiku. Napasku kembali terengah, detak jantungku sedikit cepat, rasa mual memerangkapku dan enggan melepaskan.

'Baby, kumohon jangan rewel! Ibu harus kerja sayang!' batinku.

Bukan berusaha untuk menutupi keberadaannya, namun aku bukan tipe orang yang suka dikasihani. Maka biarkan waktu yang memberitahu mereka semua.

"Are you okay?"

Samar suara Minwo berteriak menjedaku yang tengah sibuk memuntahkan cairan bening yang terasa sangat pahit serta mencekat tenggorokanku. Perutku terasa mengencang karena dorongan mual dari dalam.

"Iya, aku baik - ugghhh ... hoekkk!" jawabku sekenanya.

Tak dapat lagi mulutku menjawab dengan jelas, hingga kurasakan sentuhan tangan memijit lembut tengkukku. Sentuhan ini terasa nyaman, namun sekaligus membawa rasa canggung. Aku merasakan tidak enak hati. Karena itu pasti atasanku, kepala designer J.H Fashion, Minwo Han.

Namun, rasa mual yang masih mirip memompa perutku belum juga memberiku rasa puas. Ini berbeda dari biasanya, hingga aku mengabaikan rasa malu dan memilih untuk fokus memuntahkan isi perutku.

Sepuluh menit tampaknya telah kuhabiskan dengan menguras isi perutku sambil berjongkok di depan closet. Hingga rasa puas menghentikan penderitaanku.

Dia membantuku berdiri dan lamat kudengar suara serak basahnya memanggil namaku beberapa kali seiring gelap yang menutupi pandangan mataku.

"Nona Judith!" gumamku lirih.

Bersambung.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh zahabiya

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku