Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Istri culun yang kusia-siakan

Istri culun yang kusia-siakan

karamelboba

5.0
Komentar
116
Penayangan
5
Bab

Gafi Bagaskara dan Gladis Alaysa adalah teman satu kantor. Tetapi mereka tak pernah akrab. Bagi Gafi, Gladis hanyalah wanita kampungan yang sama sekali tidak menarik minatnya. Gladis juga tidak modis penampilannya. Wanita itu sama sekali tidak menarik dan dikenal culun di kantor. Begitu pun dengan Gladis, dia membenci Gafi yang menurutnya terlalu narsis dan sok keren di kantor. Gafi tak pernah ketinggalan untuk tebar pesona pada seribu gadis. Baginya, Gafi hanya manusia berhati jahat. Suatu hari, mereka terlibat suatu masalah besar. Mereka mengalami kecelakaan, yang naasnya membuat selaput dara Gladis harus robek. Sesuatu hal yang dipercayai sebagai tanda keperawanan harus hilang dengan cara konyol! Mereka terpaksa menikah karena kejadian itu. Pernikahan tanpa rasa cinta membuat mereka terluka. Terutama Gladis, wanita itu tersiksa karena memiliki suami yang tak pernah menghargainya. Gafi bahkan menghinanya setiap saat. Namun siapa sangka jika Gladis memiliki rahasia dibalik penampilan culun yang selalu dia tampilkan. Tanpa siapapun ketahui, Gladis ternyata adalah gadis jelita. Akankah Gafi berubah setelah mengetahui rahasia besar ini? Bagaimana kisah mereka setelahnya? Apakah Gafi dan Gladis lantas akan jatuh cinta dalam pernikahan mereka?

Bab 1 Gafi Bagaskara dan sikap anehnya

Matahari telah sempurna memberi sinar untuk bumi. Teriknya membuat beberapa manusia mengeluh karena kepanasan.

Siang ini, saat jam istirahat para karyawan di sebuah perusahaan besar, seorang pria pemilik sepatu mengkilat tampak berjalan penuh percaya diri.

Penampilan, rambut, serta pakaian casual yang melekat pada dirinya membuat dia tampak lebih menonjol dibandingkan yang lain. Belum lagi tentang kulitnya yang kontras dengan kemeja hitam yang di gulung sampai ke sikut, membuat penampilannya semakin sempurna.

Dia adalah Gafi Bagaskara, salah satu karyawan di sebuah perusahaan besar, Dewanggara group. Dia selalu berhasil menjadi yang paling berkilau di mata para wanita.

Gafi itu bagai bintang. Di manapun dia berada pasti akan bersinar. Parasnya, pesonanya, sudah pasti memikat hati wanita.

Meski begitu, Gafi sebenarnya adalah pria lajang. Usianya sudah genap dua puluh tiga tahun, memang. Tetapi dia belum memiliki kekasih sama sekali. Bukan karena tak ada yang mau, namun karena Gafi lebih senang bergonta ganti wanita ketimbang stuck pada satu wanita saja.

Dia seorang playboy, memang.

"Hai, cantik," sapa Gafi mengerling nakal ketika ada karyawan perempuan baru yang lewat di depannya.

Tampak malu-malu, karyawan perempuan baru itu menunduk dengan sopan serta memberi senyuman. Dari wajahnya, bisa terlihat jika perempuan itu tertarik pada paras Gafi yang tampan.

Tentu Gafi puas sekali dengan reaksi itu. Dia menyugar rambut, kembali berjalan dengan percaya diri.

"Anak baru pun kau goda, Gaf?" ledek Hendra heran, teman Gafi yang sejak tadi berjalan bersisian menemaninya.

"Iya, iri karena kau tidak bisa menggoda mereka?" timpal Gafi over confident. "Kau kan, jelek," timpalnya lagi dengan santai.

Hendra hanya menghela panjang. Dia sendiri mulai mengakui dirinya tidak good looking setelah mengenal Gafi. Berteman dengan Gafi yang kerap berkata ceplas-ceplos namun sesuai fakta membuat dia sadar. Terlebih jika disandingkan dengan Gafi, tentu Hendra kalah telak.

Hendra itu bertubuh gempal, kulitnya kusam karena malas perawatan. Juga dia tak bisa memilih style yang cocok untuk diri sendiri.

"Jelek-jelek begini tipeku bagus, tidak seperti kamu yang menyukai Gladis, kan?" Hendra memberi seringai sambil bertanya barusan.

Jika Gafi meledeknya dari berbagai aspek, maka Hendra bisa membalas itu dengan satu hal saja. Sudah bisa dipastikan Gafi langsung mencak-mencak tak suka dengan ledekannya.

Hendra langsung dapat melihat reaksi tak suka yang tergambar jelas di raut tampan Gafi. Hendra sudah berteman lama dengan Gafi. Pria itu paling tidak suka jika diledek dengan seorang wanita yang juga merupakan karyawan di kantor ini, Gladis.

Bugh.

Tanpa basa-basi Gafi melayangkan tinjunya ke sebelah dada Hendra. Membuat pria itu sedikit mengaduh meski senyum nakalnya untuk menggoda Gafi belum juga hilang.

"Kenapa harus wanita itu, sih?" kata Gafi spontan melirik seorang wanita berjilbab panjang yang masih berkutat dengan laptopnya sendirian. "Jelas dia bukan tipe idealku. Kurus seperti triplek, muka kusam, dan anti sosial begitu."

Semua tentang Gladis yang ada di benak Gafi langsung keluar.

"Hai, kutebak kalian membicarakan gadis manis di ujung sana."

Itu adalah Bara, pria bertubuh proposional, berkulit sawo matang dengan senyum yang manis. Bara juga termasuk pria idaman di kantor ini. Dia maskulin dan terkenal sangat humble.

Bara datang diantara Gafi dan Hendra, merangkul kedua sahabatnya untuk berjalan menuju tempat makan yang posisinya tak jauh dari kantor.

"Gadis manis?" Gafi melepas rangkulan Bara dengan cuek. "Huek, tipemu begitu, ya, sekarang?" tanyanya sarat akan meledek.

Ketiga pria itu duduk di kursi mereka dan mulai memesan makanan seperti biasa.

Bara mengendikan bahu acuh. Meski begitu, senyum manisnya terus terlihat. Bara memang terbiasa seperti itu. "Hm, tidak juga. Tapi aku sedikit tidak setuju dengan pendapatmu soal tubuhnya yang seperti apa barusan?" Bara mengingat sejenak.

"Triplek," sahut Hendra diangguki Bara.

"Ya, itu. Maksudku, dia itu selalu mengenakan pakaian longgar dan tertutup, bisa jadi sebenarnya tak sekurus yang kita lihat."

Gafi berdecih sinis. "Mungkin maksudmu kamu menyukainya."

Jika seseorang penasaran tentang mengapa Gafi sangat membenci Gladis, maka Gafi akan menjawabnya dengan mudah. Bukan Gafi dan Gladis ada hubungan, bahkan mereka belum pernah bertegur sapa sebelumya. Alasannya simpel; Gafi membenci gadis jelek.

Gafi jahat? Ya, memang. Dia selalu berkata bahwa dia alergi wanita jelek, cupu dan anti sosial seperti Gladis.

Fakta bahwa Gladis adalah satu-satunya wanita berpakaian norak dan culun di kantor ini, membuat Gafi selalu menaruh atensinya pada Gladis. Bukan memandang wanita itu dengan rasa suka, akan tetapi sebaliknya. Gafi menganggap Gladis sebagai virus.

"Itu dia, wanita yang kalian idamkan," ledek Hendra menunjuk Gladis dengan dagunya.

Gafi dan Bara spontan menoleh ke arah pintu. Di sana, Gladis berjalan dengan wajah flat alias datar. Beberapa teman kantornya juga ada di sini, namun Gladis tentu tak bergabung bersama mereka.

Tak ada yang menyapa gadis itu. Bahkan para wanita pun menatapnya dengan kesal. Dan akhirnya seperti hari-hari biasa, Gladis duduk sendirian di pojok cafe ditemani buku tebalnya.

Gafi membuang pandangan dari sana. Tak sanggup menatap wanita yang membuatnya tiba-tiba mual.

"Cantik, bukan?" ledek Hendra lagi kepada Gafi.

Gafi melotot. "Berhenti meledekku dengan wanita itu atau kau kusiram dengan kopi ini!" ancamnya sama sekali tak membuat Hendra takut.

Justru, kedua pria itu malah tertawa melihat Gafi yang sangat benci dengan Gladis. Awalnya Bara dan Hendra heran mengapa Gafi sangat membenci Gladis. Mereka juga terkadang kesal sendiri melihat penampilan norak Gladis, namun mereka tidak sebegitu bencinya pada gadis itu.

Tetapi lama kelamaan mereka mulai paham dengan sifat aneh Gafi yang sangat membenci wanita jelek. Gafi memang memiliki sifat yang jelek. Keluarganya selalu memanjakan pria itu hingga dia menjadi manusia yang kurang ajar.

"Gaf, aku cuma punya satu pesan untukmu," kata Bara disela-sela kegiatannya menyeruput kopi.

"Kuharap bukan tentang wanita menjijikkan itu," ujar Gafi tak minat. Wajahnya yang selalu berseri-seri kian berubah murung hanya karena terus menerus diledek dengan Gladis.

Bara tertawa. "Bukan tentang dia, tapi tentang masa depanmu."

Mendengar itu, Gafi sedikit lega.

"Ekhem, maksudku, jangan terlalu membenci Gladis. Tidak ada yang tahu tentang masa depanmu," kata Bara.

Gafi langsung tak enak hati. "Maksudnya?"

"Ya, siapa tahu kamu itu justru berjodoh dengan Gladis di masa depan. Kamu mungkin akan menikah dengan Gladis, iyakan, Hendra?"

Hendra mengangguk dengan antusias. Meski mulutnya penuh dengan makanan, dia cepat berbicara untuk meledek Gafi. Lalu mereka bertos ria sambil tergelak melihat ekspresi kesal di wajah Gafi yang sangat natural.

Tentu, mereka puas meledek pria itu.

"AKAN KUPASTIKAN ITU TIDAK AKAN PERNAH TERJADI!" teriak Gafi bergidig ngeri membayangkan hal tersebut.

Sebegitu bencikah Gafi pada wanita jelek dan cupu seperti Gladis?

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku