Fifi Rubiyanti gadis berusia delapan belas tahun terpaksa menikahi pria asal Jakarta yang bernama Jevan Julian. Di awal pernikahan Fifi sangat kesulitan untuk sekedar mendekatkan diri dengan suami barunya yang punya sifat pendiam. Dia juga kerap mendapat bentakan karena terlalu banyak bertanya. Dia tertunduk lesu karena bekal makanan yang ia buat sepenuh hati tidak digubris Jevan sedikit pun. Merasa diabaikan, dia pergi ke klub malam menghadiri undangan temannya. Sialnya, Jevan malah mengetahui hal itu. Jevan menghadangnya di pagi hari. Fifi menyerah, ia ingin pulang. Namun, secercah harapan almarhumah ibu Jevan membuatnya harus menelan bulat-bulat sumpah serapah yang sudah ia lontarkan pada Fifi. Ia pun dengan terpaks harus meminta kesempatan kedua pada Fifi untuk memperbaiki diri. Jevan juga sadar kalau alasan Fifi ke klub karena kurang perhatian darinya. Akankah kesempatan kedua ini berhasil? Yuk simak kisah mereka di sini.
Fifian Monika memberanikan diri untuk bicara pada suaminya yang terkenal dingin tak banyak bicara.
"Jevan..., Hm... a-aku memutuskan untuk pulang ke rumahku hari ini."
Jevan yang tengah menghadap kulkas langsung berputar mendengar kata yang terucap dari istri yang dijodohkan ibu padanya. Setelah benar-benar menatapnya ia pun mengangguk.
"Baiklah." Pria bertubuh tinggi itu pergi ke dapur mengambil sesuatu dan melemparkannya tepat ke hadapan istrinya.
"Apa ini?"
Suara Jevan jelas sekali menusuk ke telinga Fifi. Gadis belia yang masih delapan belas tahun itu terpaku menatap baju yang kurang bahan terlempar ke hadapannya.
"Kau bilang ingin berubah menjadi lebih baik, tapi kenapa kau masih menggunakan pakaian seperti ini?"
Pekikan Jevan di pagi buta ini berhasil membuat jantung Fifi berpacu hebat.
"Aku mencium bau rokok dan alkohol dari baju itu. Kemana kau menggunakannya?" teriak Jevan lagi.
"Aku ke kelab!" Jevan mendecih lalu mengerling tak habis pikir.
"Oh, ya, kelab malam memang duniamu," tutur Jevan kesal.
Pria berubuh tinggi itu mengambil gunting dari rak dan berjalan menuju kamar mereka. Ia membuka lemari istrinya dan mengeluarkan semua baju yang terbilang seksi dan mulai mengguntinginya dengan brutal.
"APA YANG KAU LAKUKAN?!"
Fifi balik meneriaki suaminya yang sudah tak terkendali. Ia tak mampu mengendalikan air matanya yang kini sudah membasahi pipi.
"HENTIKAAAN!"
Jerit Fifi sampai mengintip urat lehernya. Ia sudah tak tahan dengan kelakuan gila suaminya yang dingin ini. Sekalinya bicara malah menyakitkan.
"Tak kusangka, ternyata aku melakukan kesalahan besar karena telah menerima kau sebagai suamiku," sesal Fifi sambil menyapu air matanya dengan kasar.
Perkataan itu menarik Jevan dari kegiatannya, hingga ia beranjak dan membalikkan badan.
"Kau tahu, baju itu lebih berharga dari pada dirimu di mataku. Ketika aku kesulitan untuk menjadi istrimu, baju itu mampu membuatku lebih percaya diri di hadapan pria lain. Aku lebih berani untuk merayu pria yang ada di kelab itu dari pada suamiku sendiri. Bahkan untuk menyapa kau saja aku harus menyiapkan mental dulu. Begitulah kau di mataku," terang Fifi dengan air mata yang masih saja keluar.
Jantungnya berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Fifi sangat marah kali ini.
"Kau pikir, bagaimana denganku? Aku bahkan tak tertarik sama sekali dengan dirimu!" Jevan berbohong.
Setelah mengucapkan kata itu ia seperti tersadar akan kesalahan. Pria kelahiran Jakarta tahun 97 menghela napas kesal melihat Fifi yang sudah seperti istri sedih ditinggal mati suami. Bersimbah air mata.
"Baiklah, kalau kau memang mau pergi, silahkan."
Jevan menjatuhkan gunting, lalu pergi meninggalkan Fifi sendiri. Pagi yang cerah ini, harusnya menjadi hari yang baik karena ini adalah hari pernikahan mereka untuk satu bulan.
Kenapa malah pertengkaran hebat yang terjadi? Mendengar ucapan suaminya, Fifi tak mau berlama-lama. Ia langsung membereskan pakaian dan bergegas meninggalkan rumah yang dibeli Jevan atas nama mereka berdua.
'Benar, dia memang tak tertarik padaku. Untuk apa bertahan di sini lagi.'
Kepala Fifi di penuhi dengan kalimat Jevan yang menusuk jantungnya.
Jevan frustasi, ia membanting diri ke kursi yang ada diruang kerja. Ia sedang tak ingin melihat Fifi. Hanya itu satu-satunya ruangan yang tak boleh dimasuki istrinya.
Pria bernama lengkap Jevan Julian itu memijit pelipis. Ia tak tahu harus bagaimana menghadapi perempuan satu ini. Dari sekian banyak wanita yang mendekatinya, hanya Fifi yang sulit dimengerti olehnya. Namun kini, akibat pekerjaan yang terlalu banyak menyita waktu, hubungan pernikahannya menjadi longgar dan tak terkendali.
Selama ini ia selalu mencuekkan Fifi, karena ia memang tak sempat untuk melakukannya. Masalah di kantor menyedot seluruh perhatian dan energinya.
Jevan teringat perkataan ibunya untuk yang terakhir kali. 'Kamu harus mendidik Fifi menjadi istri yang baik ya, Jev.'
Jevan segera menyadari kesalahannya, ia harus meminta maaf dengan Fifi.
"Aaarghh...."
Jevan berteriak kesal. Ia keluar dan mencari Fifi, namun wanita itu sudah berpenampilan rapi dan sedang menyeret sebuah koper.
"Kau benar ingin pergi?" tanya Jevan dengan lembut.
Jevan sudah memaksa untuk membunuh amarahnya. Dihilangkannya ego yang sangat tinggi dibangunnya tadi. Fifi hanya mengangguk.
"Jika kau ingin sarapan, ada di meja."
Hingga akhir seperti ini pun, Fifi masih memperdulikan suaminya itu. Karena memang sebelum memulai percakapan tadi, Ia menyempatkan untuk membuat sarapan.
"Kumohon jangan pergi. Aku minta maaf."
Suara Jevan turun satu oktaf dan pandangannya terlihat berbeda dari yang tadi. Nyala apinya meredup menjadi teduh.
'Kelab malam memang duniamu dan aku tak tertarik pada dirimu.'
Perkataan Jevan itu terus saja terngiang dikepala Fifi. Hal itu semakin membuatnya semakin menatap nyalang ke Jevan dan hendak segera pergi dari rumah ini.
Tapi, kenapa sekarang ia malah melihat pemandangan yang diluar ekspektasinya. Jevan kini tengah memohon padanya untuk tidak pergi. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Tak bisa! Aku harus pergi untuk menyelamatkan hatiku. Aku bisa gila jika tetap disini," jawab Fifi namun tak berani menatap mata suaminya.
Ia menghindari kelemahannya. Ia sadar betul bahwa tatapan Jevan mampu meruntuhkan segala kekuatan yang ada pada dirinya.
Fifi bergegas meninggalkan Jevan yang masih menatapnya. Jevan melangkah lebih cepat dan merampas koper milik Fifi. Gadis berambut sebahu itu ternganga akan gerakan seperti kilat suaminya.
"KEMBALIKAN KOPERKU!" Fifi berteriak lagi. Kini ia mulai kesal. Jevan tiba-tiba saja menangkup wajah istrinya dan menatap matanya lekat.
Untuk pertama kali ia sedekat ini pada Fifi. Sejak menikah, ia tak pernah benar-benar memperhatikan gadis bermata hazel di depannya.
Ia selalu mengabaikannya, bahkan membentak gadis itu jika terlalu banyak bertanya. Namun, gadis yang masih bocah itu selalu berlaku baik padanya.
Ia menyiapkan pakaian kerja Jevan, memasakkan makanan dan membersihkan rumah. Bahkan, ketika Jevan ketinggalan berkas penting pun, Fifi sangat sigap mengantarnya ke kantor.
"Aku minta maaf, kita perbaiki semuanya dari awal. Pernikahan ini tak boleh hancur hanya karena keegoisan kita."
Suara Jevan merendah terdengar sangat lembut. Fifi tertegun mendengar perkataan suaminya barusan hingga tenggorokannya terasa kering. ia menelan saliva sekali untuk mengairinya.
'Wah, apa-apaan lelaki gila ini. Apa katanya? Memperbaiki hubungan? Selama ini, aku hanya berjuang sendirian, sedangkan ia sibuk dengan dunianya.
Ketika aku pamit ke duniaku ia langsung mengatakan hal yang sangat buruk padaku. Sekarang seenak jidatnya saja mengatakan hendak memperbaiki hubungan ini. Cihh.... Aku tak sudi. Tapi, tatapan matanya kali ini sangat serius, aku harus bagaimana ini? Sangat tak kusangka Jevan hingga berlutut begini. Tanganku yang semula bertengger di pinggang telah diraihnya. Aku bisa gila memikirkan ini semua.'
Pikiran Fifi terus saja meracau.
"Katakan padaku, apa yang harus kulakukan untuk membalikkan keadaan ini?" tanya Jevan semakin merendah.
'Aku masih diam seribu bahasa. Benar kata Winda laki-laki itu tak akan mengerti jika tak dikasi tahu, beda dengan wanita yang menggunakan perasaan, jadi mudah peka.'
"Aku mau kau bekerja secukupnya. Jika sudah dirumah, jangan mengerjakan apapun sampai aku terlelap. Satu lagi, jangan pernah kau telepon sekretarismu dengan durasi yang lama, aku tak suka."
Astaga!!!
Fifi langsung mengalihkan pandangannya keluar jendela.
'Dasar bodoh! Kenapa mengatakan poin terakhir itu didepan Jevan, bisa-bisa dia jadi besar kepala. Aduh, Fifi. Dasar kau bodoh!'
Fifi merutuki dirinya sendiri. Kali ini ia kalah menyembunyikan perasaan. Rasanya ia hendak mengubur diri agar tak terlihat dari muka bumi ini.
Jevan bangkit dari jongkoknya dengan wajah tersenyum tipis.
"Apakah kau cemburu?" pertanyaan Jevan mampu membuat pipi garis berambut hitam gelap itu merah merona.
"Tidak! Itu karena tidurku terganggu dengan suaramu yang jelek," elak Fifi yang sudah tertangkap basah. Lagi untuk pertama kalinya Jevan memeluk Fifi. Fifi sedikit menolak, namun ia kalah dengan tenaga Jevan.
"Wah, aku tak menyadari hal ini. Ternyata istriku cemburu pada sekretarisku," ledek Jevan. "Baiklah karena hari ini moodku sedang tak nafsu untuk bekerja, maka aku akan cuti. Kita berlibur."
Jevan mengucapkan kabar bahagia itu agar menyenangkan hati istrinya. Lagian sejak awal menikah mereka tak pernah sekalipun melakukan kebersamaan sebagai pasangan. Fifi mendorong tubuh Jevan yang kini memeluknya lagi.
"Benarkah?" tanya Fifi ragu.
'Ah, kenapa malah mengatakan 'benarkah'? seharusnya aku masih marah.'
Fifi kembali melakukan kesalahan. Dengan menyetujui untuk berlibur artinya ia sepakat dengan Jevan bahwa dirinya memang cemburu.
Dasar, bodoh. pikirannya terus saja membodohi kelancangan mulutnya yang sembarangan menjawab.
Jevan hanya membalas dengan menaikkan kedua alis disertai senyum merekah.
"Aku akan menelepon Ratih dulu. Siapkan barang kita."
Setelah Jevan membalikkan badannya, Fifi langsung memukuli pelan mulutnya. Setelah beberapa langkah, Jevan kembali menoleh pada Fifi.
"Tidak akan lama, kok." Lalu pria itu mengedipkan sebelah matanya menggoda istrinya. Fifi membalasnya dengan memasang wajah kesal.
'Kan apa kataku, pasti dia akan meledekku karena hal ini'.
Pikirannya lagi-lagi meracau kebodohannya.
"Baiklah, Ratih memberi kita waktu dua hari, karena lusa aku ada rapat penting dan tidak bisa digantikan. Ayo kita nikmati waktu dua hari itu untuk melakukan banyak hal bersama-sama."
Fifi tersenyum tipis menghargai usaha Jevan.
'Jika Jevan mampu melihat hatiku pasti ia akan meledekku karena sepertinya hatiku yang panas tadi telah berangsur berganti dengan bunga yang bermekaran. Aku tak mau terlihat bahagia karena jika Jevan melakukan kesalahan lagi aku tak akan sesakit tadi.'
"Baiklah, aku bersiap-siap dulu," kataku lembut seolah tak begitu semangat padahal hatiku sudah sangat antusias akan bepergian.