Hembusan angin malam begitu dingin menusuk tulang, membuat suasana begitu mencekam. Di rumah sakit, Kanaya baru saja melahirkan putranya yang bernama Nathan Prawira Wijaya. Kanaya dan Kusuma Wijaya-suaminya, sangat berbahagia akan kelahiran putra yang selama ini dinantikan mereka. Hingga Kanaya tak menyangka bahwa kebahagiaannya akan berubah menjadi tragis malam itu. Kala itu, ia tiba-tiba mendapati dirinya dan bayinya tengah berada di dalam mobil dengan sepasang netranya ditutup kain tebal yang diikatkan melingkar di kepalanya. Tubuh Kanaya yang lemah, membuatnya tak berdaya. selepas melahirkan ia begitu lemas karena banyak kehilangan cairan dan darah. "Ya Tuhan! Dimana aku? Mana bayiku? Kenapa aku tiba-tiba ada disini? Siapa mereka?" batin Kanaya bertanya-tanya. Ia ingin meronta, mencoba melarikan diri. Namun, kondisinya tidak memungkinkan untuk melakukan kenekatanannya. Ditambah mobil melaju kencang kala itu. "Oke, kalau begitu aku harus pura-pura masih pingsan, biar aku tahu siapa orang-orang jahat ini. Lihat saja! Aku bakal tahu siapa kalian dan apa maksud kalian!" Kanaya berkata dalam hatinya sambil merenung pasrah. Akankah Kanaya bersama putranya selamat? Apakah mereka akan melanjutkan kehidupan mereka dengan aman bersama keluarganya?
"Jangan ceraikan aku, Kang! Kumohon, aku masih mencintaimu, walaupun aku mandul, tapi aku tak rela jika kamu menceraikan aku." Tangis Larasati pecah seketika.
Diiringi hujan deras, petir yang saling bersahutan, membuat kesedihan Larasati semakin memuncak. Dia tak menyangka dirinya akan diceraikan Kusuma Wijaya-lelaki kaya keturunan darah biru-pemilik beberapa perusahaan retail yang sukses.
"Aku tidak menceraikanmu karena kamu mandul, aku hanya tidak terima karena kamu mengkhianatiku, aku murka dibuatnya!" bentak Kusuma.
"Baiklah, aku minta maaf, kumohon berkali-kali padamu bahwa aku minta maaf, maukah kau mengampuniku?" tanya Larasati memohon sambil memegang kaki kanan Kusuma.
"Harus bagaimana lagi caranya, agar membuatmu mengerti bahwa aku sudah tak mau melihatmu lagi! pergilah dengan lelakimu itu!" teriak Kusuma mencoba melepaskan tangan Larasati dari kakinya.
"Tidak! Aku tidak mau pergi, Kang!" ujar Larasati bersimpuh di kaki Kusuma.
Kusuma marah besar pada Larasati, dia berpikir berulang kali untuk memaafkannya, akan tetapi hatinya sudah dibuat hancur oleh Larasati, betapa geramnya Kusuma saat itu. Larasati terus menangis sambil berlutut merendahkan dirinya, sementara Kusuma terus menghindar.
"Cukup! Tak perlu merendahkan diri! Aku sudah muak denganmu!"
Kusuma buru-buru pergi meninggalkan Larasati di kamar mereka. Ia berjalan menuruni anak tangga hendak menuju ke taman belakang rumahnya, yang terdapat kolam renang yang cukup luas di sebelah kiri gazebo kecilnya. ia naik ke atas gazebo itu lalu duduk menatap ikan-ikan di kolam tepat dibawah gazebo itu. Ia merenung, menenangkan diri.
Kusuma ingin berkeluh kesah lagi pada ibunya, akan tetapi ia merasa sudah terlalu sering menyulitkan ibunya dalam masalah rumah tangganya bersama Larasati.
"Kenapa lagi, Suma! Ibu dengar pertengkaran kalian tadi!" Bu Sekar tiba-tiba berdiri di belakang Kusuma.
"Eh, Ibu! Sejak kapan Ibu ada di situ?" tanya Kusuma terperanjat sambil menoleh ke belakangnya.
"Beberapa menit yang lalu, bagaimana? Kamu sudah benar-benar ingin bercerai dengan Laras? Biasanya kamu konsultasi sama Ibu, Suma!" sahut Bu Sekar ikut duduk di samping Kusuma.
"Laras tidak mau aku ceraikan, Bu! Aku sudah muak dengannya! Siapa suruh mengkhianatiku, jika dia setia tentu semuanya akan berbeda." Sedih Kusuma.
"Sebenarnya, Ibu tidak pernah suka padanya, tapi jika dia bersikeras menolak, kamu ajukan saja syarat padanya, kamu harus menikah lagi Kusuma, supaya kamu punya keturunan." Titah Bu Sekar mengusap punggung tegap putranya.
"Kenapa Ibu malah menyuruhku mempertahankan Laras?" tanya Kusuma
"Ibu hanya kasihan padanya, dia sudah tidak punya orang tua." Jawab Ibu.
"Baiklah, itu kehendak Ibu, jangan salahkan aku jika dikemudian hari Laras berulah lagi, Bu! Jika sampai terjadi lagi, aku tidak akan pernah membuka lagi pintu maaf untuknya!" kesal Kusuma.
Beberapa jam ibu dan putranya itu berbincang di sana. Hingga Kusuma sepakat untuk mengikuti saran ibunya. Suma ke kamar dulu, Bu! Masalah ini harus diselesaikan sekarang juga!" ujar lelaki bertubuh tinggi besar dan bersuara berat itu.
"Silakan, jangan pakai emosi, kamu harus dalam keadaan tenang dalam mengambil keputusan." Sahut Bu Sekar mengikuti langkah Kusuma.
Kemudian Kusuma menghampiri Larasati yang sedang menangis bersimpuh di lantai.
"Sudahlah, jangan menangis terus, cukup!" ujar Kusuma membawa Laras berdiri dan memintanya duduk di sofa.
"Ini semua karena Ibuku yang masih memiliki jiwa pemaafnya, hingga aku tidak jadi menceraikan kamu! Tapi aku meminta syarat padamu!" tutur Kusuma berjalan ke arah jendela kamar dengan kedua tangannya yang dimasukkan ke dalam saku celana panjangnya.
"Katakanlah, apa syaratmu itu?" tanya Laras antusias.
"Kamu harus mengizinkan aku menikah lagi!" tegasnya.
Bagai petir di siang hari, Larasati terdiam dan terkejut dengan persyaratan yang diajukan Kusuma. Namun, daripada dirinya kehilangan seorang suami yang kaya raya, lebih baik Laras mematuhi persyaratan yang diajukan suaminya itu.
"Daripada aku kehilangan harta, lebih baik aku patuh saja dulu sama keinginan kamu, Kang!" batinnya tersenyum menyeringai.
Laras berjalan mendekati punggung Kusuma, dengan harapan lelaki yang masih menjadi suaminya itu akan memaafkannya.
"Baiklah, aku menyetujuinya!" jawab Laras terpaksa.
"Ya sudah kalau begitu, aku pergi dulu! Jangan pernah berani mengikutiku lagi!" pesan Kusuma pada Laras sambil membawa kunci mobil klasiknya yang berada di atas meja rias.
Kusuma segera pergi dari hadapan Laras. Ia ingin keluar sebentar saja mencari suasana segar yang dapat menyejukkan hatinya.
Kusuma menyalakan mobil tuanya sementara mobil mewahnya hanya terpampang berderet di garasi. Lantas Kusuma mengemudikan mobil Volvo 960 dengan santai sambil menghirup angin sore di kota Bandung.
"Tuhan! Seandainya aku punya pilihan, aku sudah tak mau bersama laras, tapi ibu memintaku untuk mempertahankannya, apa mau dikata, aku sangat menghormati ibu." Bayinnya sambil mengemudikan mobilnya.
Di perjalanan, Kusuma melihat wanita cantik yang sedang berdiri menenteng handbagnya, ia menyeberang jalan dengan anggun melintasi mobil Kusuma yang sedang berhenti karena lampu merah.
"Ya Tuhan! Cantik banget dia, aku mesti buru-buru
nyusul dia!" gumamnya.
Kusuma tak melepaskan tatapannya dari wanita itu sedetik pun, hingga mobil di belakangnya terus memberinya klakson berkali-kali.
"Ya Tuhan, lampu hijau." Ucap Kusuma terhentak.
Kusuma segera memutar arah mengikuti wanita cantik tadi yang telah menawan hatinya.
"Akhirnya, aku dapatkan kamu! Gak bakal aku sia-siakan kesempatan ini!" batinnnya.
Kusuma telah mendapatkan wanita itu, dia segera menghentikan mobilnya dan memarkirkannya di depan kafe yang tidak terlalu mewah itu.
"Permisi, boleh saya numpang duduk disini?" tanya Kusuma.
"Silakan." Jawab wanita itu.
"Maaf, boleh tahu siapa nama anda?" tanya Kusuma to the point.
"Kanaya." Sahutnya tersenyum.
Senyuman itu membuat Kusuma semakin terdecak kagum padanya.
Kanaya meneguk capucino-nya dengan anggun sambil melihat ke arah jalan raya. Kanaya cuek saja, tidak memedulikan Kusuma yang berada di hadapannya.
"Mbak pulang kerja?" tanya Kusuma lagi-lagi kaku.
"Iya, Mas sendiri?" tanya Kanaya membalas.
"Iya, saya juga pulang kerja." Sahut Kusuma.
"Dimana rumah, Mbak? Boleh saya antar?" tanya Kusuma.
"Saya belum kenal baik dengan Mas, tidak ada alasan bagi saya untuk mengatakan pada Mas, dimana alamat saya, bagaimana kalau Mas cuma modus?" sahutnya tersenyum.
"To the point saja, saya mengagumi Mbak sejak pertama kali bertemu. Itulah alasan saya mengikuti Mbak sampai ke tempat ini." Ungkap Kusuma.
"Apakah ada satu saja petunjuk untuk saya mempercayai, Mas?" tanyanya lagi.
Kusuma semakin tertarik dengan Kanaya, menurutnya Kanaya wanita yang pintar dan elegan.
"Ada, bukti bahwa saya tertarik pada anda adalah saya mengikuti anda sampai kesini. Padahal saya tidak mengenal anda." Sahut Kusuma.
"Itu bukan satu-satunya alasan." Sahut Kanaya singkat.
"Baiklah apa syaratnya supaya saya bisa lebih jauh mengenal Mbak?" tanya Kusuma lagi.
"Tergantung, bisa jadi keseriusan mengajak kenalan, kalau hanya sekadar ingin kenal sebaiknya tidak usah, apa mas berani berkenalan dengan saya lalu melamar saya?" tantang Kanaya.
"Wow, perkataan Mbak bikin saya tertantang, dan memang benar saya ingin segera melamar Mbak kalau memang bisa, dan boleh." Sahut Kusuma tersenyum gembira.
"Mas belum sangat mengenal saya, loh! Dan apakah Mas nantinya tidak akan menyesal menikahi saya? bahkan keburukan saya sekalipun Mas belum mengetahuinya." Jawab Kanaya memperingatkannya.
"Mbak sangat jujur, berapa usia Mbak?" tanya Kusuma.
"Usia saya sudah rawan menikah, saat ini saya berusia 29 tahun dan orang tua saya sudah cerewet memaksa saya menikah!" katanya.
"Nah, kita cocok kalau begitu, Mbak sudah didesak orang tua 'kan? Sementara saya sangat tertarik dengan Mbak." Ujar Kusuma.
"Waduh, bagaimana ini? Saya jadi tersudutkan, Mas!" jawab Kanaya tersenyum.
"Tidak begitu, ini hanya sebuah pilihan dan konsekuensi. Tapi ada satu hal yang harus saya katakan!" Kata Kusuma.
"Apa ity?"
"Saya sudah punya istri, dan istri saya mengizinkan saya menikah lagi. Bukan karena saya mata keranjang melainkan karena saya ingin punya keturunan dan ingin memiliki istri yang saya cintai."
"Memangnya Mas tidak mencintai istrinya? Lalu mengapa Mas menikah?" tanya Kanaya.
"Dia menjebak saya saat itu, hingga saya tak dapat membebaskan diri darinya dan sekarang dia mengkhianati saya dengan lelaki lain. Bahkan tadi, saya hampir saja menalaknya, akan tetapi ibu saya melarangnya karena kasihan padanya sudah tak punya orang tua."
"Rupanya begitu, saya tidak begitu faham dengan masalah keluarga Mas. Tapi saya ikut berduka dengan masalah Mas."
"Jadi, bagaimana boleh saya ke rumah, Mbak? Saya akan serius menghadap orang tua Mba! Saya benar-benar ingin melamar kamu, Mbak Kanaya." Ungkap Kusuma.
"Hmm, bagaimana ya?"