Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
1.8K
Penayangan
35
Bab

Arimbi Maulida merasa dunianya runtuh saat Nina, sepupunya, membawa buku nikahnya dengan Seno Caturrangga, calon suami Arimbi, ke hadapannya seluruh keluarga besar. Nina mengaku telah dinikahi Seno secara hukum dan agama dua hari yang lalu. Dengan kata lain, Seno adalah suaminya sahnya saat ini. Padahal seminggu ke depan, Arimbi dan Seno akan melangsungkan pernikahan, setelah tiga tahun berpacaran. Undangan pun sudah terlanjur disebar. Pihak kedua keluarga geger. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau Seno dan Nina menjalin hubungan di belakang Arimbi hingga Nina hamil. Arimbi pada akhirnya mengalah. Ia ikhlas kalau pernikahannya dibatalkan. Namun Handoyo, ayah Arimbi tidak setuju untuk membatalkan pernikahan. Handoyo meminta pertanggungjawaban keluarga Seno yang telah mempermalukan keluarga besar mereka. Keputusan yang dianggap paling tepat pun diambil. Adalah seorang Ganesha Caturrangga, kakak kandung Seno yang belum menikah, diminta untuk menggantikan Seno di pelaminan. Arimbi tentu saja menolak. Selain ia tidak mencintai Ganesha, sejujurnya ia takut pada Ganesha. Ganesha itu sangat dingin dan tidak punya hati. Menurut Menik, sahabatnya, yang dulunya adalah pacar Ganesha, Ganesha itu workoholic. Hidupnya hanya untuk bekerja dan bekerja. Ganesha tidak pernah mencintai siapapun kecuali pekerjaannya. Namun karena desakan keluarga besarnya yang beralasan malu besar apabila Arimbi tidak jadi menikah, Arimbi terpaksa menerima keputusan keluarga besar mereka. Bagaimana nasib Arimbi setelah menjadi istri Ganesha? Bagaimana pula usaha Seno untuk kembali meraih hati Arimbi setelah Nina ketahuan berbohong soal kehamilannya? "Bagi saya, kamu itu cuma beban tambahan, yang lagi-lagi disampirkan keluarga di pundak saya. -Ganesha Caturrangga- "Saya juga tidak pernah ingin ada di posisi ini. Menjadi istrimu itu sialnya tujuh turunan, delapan tanjakan dan sembilan tikungan tajam. -Arimbi Maulida-

Bab 1 1. Awal Mula Bencana.

"Maaf kalau kedatangan saya ke rumah ini telah menghancurkan segalanya. Tapi saya harus mempertahankan hak saya bukan? Seperti yang sudah saya katakan tadi, saya dan Seno sebenarnya telah menikah dua hari yang lalu. Sah secara hukum dan agama. Ini adalah buku nikah kami berdua. Silakan kamu mengecek keasliannya, Rimbi."

Nina Sujatmiko memberikan dua buah buku nikah ke hadapan Arimbi dan juga om dan tantenya. Ia begitu puas kala melihat air mata yang menganak sungai di mata sepupunya. Arimbi Maulida. Keinginannya untuk membalas dendam pada Arimbi tunai sudah.

Sedari kecil ia sudah membenci Arimbi. Sepupunya yang cemerlang ini, membuat kehadirannya redup. Arimbi yang cantik, pintar dan baik hati memborong seluruh perhatian keluarga besarnya.

Sedari kecil dulu, setiap ada acara kumpul keluarga, Arimbi akan menjadi primadona. Dimulai dari selalu menjadi juara kelas, pandai mengaji, berakhlak baik, sopan kepada orang tua, dan rentetan pujian positif lainnya. Telinganya kerap sakit kala mendengar segala puja dan puji yang ditujukan pada Arimbi di waktu itu.

Bukan itu saja, setiap kali dirinya membuat kesalahan, maka kedua orang tuanya akan membandingkannya dengan Arimbi. Arimbi itu begini, Arimbi itu begitu. Hingga kepalanya seakan berasap mendengar nama Arimbi yang terus dijejalkan dalam benaknya.

Sejak saat itu, Nina memendam dendam kesumat kepada Arimbi. Cita-citanya hanya satu. Yaitu suatu hari kelak, ia akan membuat Arimbi menangis darah karena kalah padanya.

Ketika Arimbi kemudian berpacaran dengan Seno Caturranga, seorang pengusaha otomotif yang sukses tiga tahun lalu, Nina sudah mengincarnya. Namun Seno tidak pernah mengindahkan perhatiannya. Nina tidak pernah patah semangat. Ia terus berusaha, hingga dua bulan lalu ia berhasil menjebak Seno. Alhasil ia hamil dan meminta Seno untuk bertanggung jawab.

Rencananya berjalan mulus. Ia pun telah menikah secara sah dengan Seno dua hari yang lalu. Padahal Nina tahu bahwa seminggu lagi pernikahan Arimbi dan Seno akan dilangsungkan. Memang itulah rencananya. Mempermalukan Arimbi.

Sebenarnya Seno melarangnya untuk memberitahukan masalah ini kepada keluarga Arimbi. Rencananya nanti malam keluarga besar Seno akan menjelaskannya sendiri kepada mereka semua. Namun Nina tidak mau kalah set. Ia sengaja terlebih dahulu memberitahukannya kepada Arimbi. Karena ia punya perjanjian hitam di atas putih dengan Seno.

Nina ingin lebih dulu meracuni pikiran Arimbi. Dengan begitu, apapun alasan yang akan diberikan oleh Seno nantinya, tidak akan lagi masuk ke dalam benak Arimbi. Nina yakin setelah ia membeberkan tentang kehamilannya ini, maka Arimbi pasti akan membatalkan pernikahannya. Akibatnya tentu saja keluarga Arimbi akan malu besar. Pada saat itulah cita-citanya sedari kecil akan berhasil. Arimbi kalah telak di kakinya.

"Mbak minta maaf ya, Rimbi? Tapi nasi telah menjadi bubur. Mbak dan Seno sebenarnya sudah lama saling mencintai. Tetapi Seno tidak tega untuk mengatakannya padamu. Mengenai pernikahan kalian, sebenarnya Seno tidak menginginkannya. Kedua orang tuanya lah yang mendesak. Seno ingin menolak tetapi ia tidak mempunyai alasan untuk itu. Seno juga bilang bahwa ia tidak bisa meninggalkan Mbak. Makanya Seno, maaf, menghamili Mbak. Kata Seno dengan begitu ia mempunyai alasan untuk membatalkan pernikahan ini."

Nina mengakhiri ceritanya dengan derai air mata. Namun kedua bola matanya memancarkan kepuasan. Ia bahagia sekali menyaksikan Arimbi kehilangan kata-kata. Rasakan! Begitulah sakitnya hatinya, setiap kali orang-orang membandingkannya dengan Arimbi. Ia bahagia sekali kala memindai Arimbi berkali-kali menyusuti air mata.

"Katakan sesuatu, Rimbi. Jangan diam saja. Kamu boleh memaki bahkan memukul Mbak. Mbak sebenarnya juga tidak mau semua ini terjadi. Tapi Mbak tidak kuasa menahan rasa ini. Mbak hanya seorang perempuan yang tengah jatuh cinta."

Nina menyusut air mata. Aktingnya ia keluarkan semaksimal mungkin. Ia tidak ingin terlihat terlalu jahat. Ia masih ingin menjaga martabatnya. Bagaimanapun mereka berdua adalah saudara sepupu. Ibu Arimbi adalah adik kandung ayahnya.

"Sudah berapa lama Mbak Nina dan Mas Seno bermain di belakang, Rimbi?" tanya Arimbi pelan.

Ia mati-matian menahan diri untuk tidak mencakar dan meneriaki Nina. Arimbi tidak buta. Ia bisa melihat betapa Nina sangat bahagia mengabarkan tentang pernikahannya dan Seno. Air matanya tidak sesuai dengan air mukanya.

Namun Arimbi mencoba bersikap bijak. Nina tidak akan hamil kalau Seno tidak menggaulinya. Artinya bukan hanya Nina yang salah. Namun Seno juga. Seno tega menghianatinya.

"Setahun belakangan ini, Rim." Nina kembali berbohong. Kalau berakting itu harus all out dan dramatis bukan? Setengah-setengah itu feelnya kurang.

"Baik. Sekarang Rimbi tanya, maksud Mbak ke sini untuk apa?" imbuh Arimbi datar. Walau hatinya hancur, ia tetap harus menjaga harga dirinya. Ia tidak ingin Nina semakin besar kepala menyaksikan kehancurannya.

"Untuk mencegah kamu menikah dengan Seno tentu saja. Karena bagaimanapun hubungan Mbak dengan Seno, saat ini Mbak adalah istri sah Seno. Sedang hamil pula. Mbak tahu kalau Mbak salah. Tapi semuanya sudah terjadi bukan? Mbak harap kamu mengerti. Selain itu Mbak ingin kamu mengetahui masalah ini terlebih dahulu dari Mbak sendiri, daripada kamu mendengarnya dari orang lain."

"Baik. Mbak Nina tidak usah khawatir. Rimbi pastikan bahwa Rimbi tidak akan melanjutkan pernikahan ini. Rimbi tidak sudi menikahi seorang penghianat. Karena sejatinya seorang penghianat itu mendapatkan seorang penghianat juga."

Mata Nina membara. Arimbi ini sungguh kurang ajar. Sudah kalah, namun masih saja menyindirnya.

"Rimbi berpatokan pada ayat yang mengatakan bahwa wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji pula. Serta wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula."

"Keji-keji begitu, tapi masih bisa membuatmu menangis bukan?" dengkus Nina sinis. Ia tidak tahan terlalu lama menjadi orang yang tertindas. Bukan kepribadiannya sama sekali.

"Bagaimana rasanya dicampakkan? Darah serasa turun semua atau hati seperti diremas-remas? Yang mana paling mendekati, Rimbi?" ejek Nina lagi.

"Cukup, Nina! Sekarang sebaiknya kamu pulang. Tante sama sekali tidak mengira kalau kamu sedemikian kejinya."

Bu Ambar sama sekali tidak menyangka kalau keponakannya sekeji ini. Menilik ucapan-ucapannya yang penuh provokasi kepada Arimbi, sepertinya masalah ini sudah diniatkan oleh Nina. Nina memang sengaja ingin menghancurkan Arimbi.

"Tenang, Tante. Saya memang sudah mau pulang kok. Apa yang ingin saya katakan, sudah saya sampaikan. Harapan saya, semoga Rimbi tetap memegang teguh ucapannya. Ingat, jangan memimpikan menikahi suami orang ya, Rimbi?" Nina meraih tas tangannya dengan gaya mengejek. Arimbi menahan rasa geramnya dengan mengepalkannya erat-erat. Nina sungguh keterlaluan.

"Satu patah lagi kalimat ejekan kamu lontarkan pada Rimbi, saya akan mengusir keluargamu dari rumah saya yang kalian tempati."

Pak Handoyo yang sedari pertama Nina datang, mencoba menahan diri, tidak tahan lagi. Entah terbuat dari apa hati Nina ini. Tiada sedikit pun penyesalan atau rasa malu pada air mukanya.

"Baik. Saya pulang sekarang. Saya harap Om bisa bersikap bijak. Masalah kita, adalah masalah kita. Jangan membawa-bawa keluarga saya."

Nina buru-buru meralat kalimatnya. Ia tidak mau kalau keluarganya kesulitan gara-gara dirinya. Sejurus kemudian Nina pun berlalu. Meninggalkan Arimbi serta om dan tantenya yang terpekur bingung. Rasakan kalian semua!

***

Suasana ruang tamu sangat hening. Hanya detak jam di dinding yang terdengar. Seno berulangkali mengucapkan kata maaf. Sementara Bu Santi dan Pak Hasto terus meremas-remas jari jemari karena gugup. Rasa malu berbalut kesal membuat keduanya kehilangan alasan untuk berbicara. Seno memang keterlaluan.

Sementara Ganesha Caturrangga, kakak Seno, mengamati air muka Arimbi yang datar. Tidak terlihat emosi apapun di sana. Dalam hati Ganesha memuji Arimbi. Untuk ukuran perempuan yang ditinggal menikah tepat seminggu menjelang pernikahannya, kontrol diri Arimbi juara. Perempuan lain mungkin akan mengamuk, menangis histeris atau minimal menampar Seno, seperti yang tadi ditawarkan Seno pada Arimbi. Hebatnya Arimbi hanya diam.

"Seperti yang saya katakan tadi, Nina menjebak saya. Ia membubuhi obat perangsang dalam minuman saya, saat saya bertemu dengannya ke club. Nina bilang ia berulang tahun dan meminta saya datang."

Seno kembali mengulangi ceritanya. Apa yang ia katakan memang kenyataan yang sebenarnya. Nina memintanya datang ke acara ulang tahunnya di salah satu club. Nina juga mengatakan kalau Arimbi ada di sana. Makanya ia pun datang tanpa curiga. Ketika sampai di club, ternyata hanya ada Nina seorang. Ia bermaksud kembali ke rumah. Namun Nina memohon untuk menemaninya sebentar. Nina beralasan minumannya juga sudah dipesan.

Ia terpaksa menurut karena Nina adalah sepupu Arimbi. Ia pikir setelah minum ia akan pulang. Tak disangka tak dinyana, ia malah pusing setelah menengak minuman yang dipesan oleh Nina. Selanjutnya ia tidak ingat apa-apa lagi. Bangun-bangun ia sudah ada di hotel dalam keadaan polos di samping Nina yang juga polos. Nasi telah menjadi bubur.

Dua bulan berlalu, dan beberapa yang hari lalu, Nina mengabarkan kalau ia hamil. Nina pun meminta pertanggungjawaban. Ia tentu saja tidak bersedia menikahi Nina, karena kurang dari sepuluh hari lagi ia akan menikah dengan Arimbi. Kekasihnya yang amat sangat dicintainya.

Nina mengamuk. Ia mengancam akan melaporkannya kepada pihak yang berwajib apabila ia tidak mau bertanggung jawab. Dalam kepanikan Seno pun tidak bisa berpikir panjang. Tiga hari kemudian mereka menikah di rumah keluarga Sujatmiko, keluarga Nina. Ayah Nina sendiri yang menikahkan Nina. Sementara saksi-saksinya adalah kerabat Nina juga.

Namun sebelum mereka menikah, Seno telah membuat perjanjian hitam di atas putih dengan pihak keluarga Nina. Bahwa setelah melahirkan, akan dilakukan test DNA pada bayi Nina. Karena ia tidak ingat pernah menggauli Nina. Jikalau bayi tersebut terbukti bukan berasal dari benihnya, maka ia akan menceraikan Nina. Setelah Nina sendiri dan pihak keluarga Nina menyetujui, barulah Seno bersedia melaksanakan pernikahan.

"Mas mohon kamu bersabar sampai Nina melahirkan ya? Seperti yang Mas katakan tadi, kalau anak tersebut terbukti bukan anak Mas, Mas akan menceraikan Nina. Dan kita bisa kembali menikah," bujuk Seno lirih.

"Apa Mas tidak malu berbicara seperti ini pada Rimbi?" Arimbi tidak habis pikir dengan dangkalnya pemikiran Seno.

"Mas anggap apa lembaga perkawinan, sampai bisa Mas atur-atur seperti itu?" Arimbi membentak Seno.

"Mari Rimbi jelaskan satu persatu rencana hebat Mas ini. Rimbi Mas minta menunggu sampai anak itu lahir, demi test DNA. Mas pernah berpikir tidak, Bagaimana jika anak tersebut memang benar-benar darah daging Mas? Bagaimana nasib Rimbi yang sudah menunggu selama berbulan-bulan untuk kemudian kembali kecewa? Mas membuat Rimbi ini seperti lotere? Benar tidak, Mas?" tandas Arimbi pedas.

Seno tidak bisa berbicara. Begitu juga Pak Hasto dan Bu Santi. Mereka semua kehilangan kata-kata. Mereka semua sadar, pada akhirnya Arimbi lah yang akan dikorbankan. Baik sekarang atau pun ke depannya.

"Satu hal lagi ya, Mas. Rimbi tidak sudi memegang janji suami orang. Apalagi mengharap pernikahan perempuan lain gagal, hanya karena Rimbi mengidamkan suaminya. Maaf, Rimbi tidak sepicik itu. Pulanglah Mas Seno. Kita batalkan saja pernikahan kita."

Arimbi memberikan keputusannya. Walau dadanya sesak oleh kemarahan yang ingin sekali ia teriakkan, namun Arimbi sekuat tenaga mempertahankan martabatnya. Memukuli Seno sampai mati, ataupun menangis hingga mengeluarkan air mata darah, tidak akan bisa mengubah keadaan. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Ia sudah dihancurkan. Untuk itu ia tidak akan menghancurkan dirinya kembali, dengan bersikap seperti seorang seorang pecundang kalah perang.

"Tidak bisa! Enak sekali kamu membiarkan mereka melepas tanggung jawab begitu saja!" Pak Handoyo mengamuk. Sedari tadi ia diam saja, karena ingin membiarkan putrinya berbicara. Ia biarkan putrinya memuntahkan perasaannya dulu. Dan kini adalah gilirannya.

"Ayah memang tidak menginginkan suami orang tidak punya iman ini menjadi menantu Ayah. Apalagi menjadikan kamu lotere bagi laki-laki kardus ini. Tapi Ayah juga tidak mau malu. Undangan sudah kita sebar. Semua orang sudah tahu kalau kamu akan menikah. Mereka harus bertanggung jawab!" Handoyo berdiri dari sofa dan menunjuk-nunjuk Seno dan keluarga penuh amarah.

"Tentu saja kami akan bertanggung jawab Pak Handoyo." Pak Hasto Caturranga pun bersuara.

"Sebelum ke sini kami sudah mempersiapkan satu rencana. Putra tertua kami, Ganesha Caturranga lah yang akan menggantikan Seno untuk menikahi Arimbi. Bagaimana Pak Handoyo? Apakah Bapak setuju?"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Suzy Wiryanty

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku