"Ayo cerai!" Hana berdiri dengan pandangan kosong ke arah Arian, suami yang sudah membersamainya selama dua tahun. Sementara pria itu menatap tak percaya ke arah Hana. "Hana, apa yang kau katakan ini?" "Aku mau cerai." "Tapi, kenapa? Kita tak punya masalah selama ini, aku bahkan tak tahu apa kesalahanku." "Kesalahanmu? Kau terlalu berharap lebih pada wanita yang masih terikat dengan masa lalunya seperti aku. Apa yang kau harapkan? Timbal balik rasa? Ceraikan aku! Jangan pikirkan soal janjimu pada mama, aku bisa mengatasinya sendiri." Hana berlalu dari ruang kerja Arian, meninggalkan pria yang masih mematung tak percaya. Sementara Hana masuk dan mengunci dirinya di dalam kamar, air mata yang sedari ia tahan pun luruh seketika. Tangannya gemetar meraih bingkai foto Mariam, mendiang ibunya lekas memeluk foto itu dengan erat. "Maafkan Hana, Mah. Maafkan Hana!"
"Aku mau putus!"
Hana terdiam sebentar berusaha mencerna kalimat yang terlontar dari bibir
Adam, lelaki yang sudah membersamainya selama empat tahun belakangan.
"Ini ngga lucu ya, Dam!"
Gadis itu tertawa kecil sesekali menggeleng pelan, ia menganggap jika
kalimat yang ia dengar barusan hanya guyonan Adam. Lagi pula apa alasan Adam
memutuskannya secara sepihak?
Ia bahkan tak tahu di mana letak kesalahannya, sejauh ini mereka baik-baik
saja, tak ada masalah berarti bahkan pihak keluarga pun tahu hubungan mereka
seserius apa.
"Aku serius, Han."
Hana menoleh, menatap lekat Adam dan mencari kebohongan di sana. Udara sejuk
di taman Bogor mendadak panas, tadinya mereka ke tempat ini untuk merayakan
anniversary mereka yang ke empat tahun, tempat di mana keduanya tak sengaja
bertemu, hingga membuat mereka terikat dalam satu hubungan asmara.
Adam meraih jemari lembut Hana, dan meremasnya perlahan. Wajahnya terlihat
sedih, dan Hana, mungkin sebentar lagi menangis.
"Aku dijodohkan."
Hana terdiam sebentar, lagi dan lagi ia tertawa miris.
"Dijodohkan? Kamu lelaki, Adam. Tak bisakah kau menentangnya? Dan apa
maksudnya mereka menjodohkan mu sementara selama ini sikap orang tuamu
terlampau manis dan baik padaku. Kita bahkan sudah merencanakan pernikahan ini
sebelumnya, tiga bulan lagi aku akan sah menjadi istrimu. Dan ini ..."
Hana menunjuk cincin yang ada di jari manisnya, benda kecil yang Adam
sematkan untuk mengikat Hana tahun lalu, meski tanpa perwakilan keluarga sekali
pun.
"Aku tunanganmu, Adam. Kau tak bisa seperti ini!"
Air mata menggenang, ia mulai kesal, marah, benci, sakit hati, semua berbaur
menjadi satu.
"Hana, dengarkan aku! Aku mencintaimu, tapi aku juga tak bisa menolak
permintaan papa, semua terjadi begitu saja dan kau akan memahami itu."
"Memahami? Ini konyol, Adam. Katakan saja sudah berapa lama kau
menjalin hubungan dengan wanita itu!"
Adam terlihat frustrasi, ia langsung berdiri mendekat dan hendak memeluk
Hana, di luar dugaan, gadis itu menghindar. Tanpa banyak kata ia melepaskan
cincinnya dan menyerahkan dengan kasar pada Adam.
"Baik. Kita putus! Aku janji tidak akan pernah menunjukkan diri padamu,
ini pertemuan terakhir kita."
Ada rasa tak terima di hati Adam, bukankah ini yang ia inginkan, sudut
hatinya menyuruh untuk mempertahankan Hana, tapi keadaan memaksanya untuk
mengambil keputusan yang akan membuatnya kehilangan Hana, wanita pertama yang
ia cintai.
Seolah turut bersedih, hujan turun mendadak membuat Hana terus berjalan
menjauh dengan pandangan kosong, tak peduli seberapa basah dirinya karena
guyuran hujan. Hana memanfaatkan keadaan, yakin jika alam turut mendukungnya
untuk menangis tanpa takut ada yang tahu, termasuk Adam.
Langkahnya berat seolah tak bertenaga, kenyataan pahit diterima dengan paksa
meski sejujurnya enggan. Empat tahun itu bukan waktu yang sebentar, bagaimana
ia membersihkan lembar demi lembar kenangan selama itu, luka yang bahkan lebih
perih dari sayatan pisau. Tak terasa langkahnya sudah tiba di depan rumah,
tepat di depan pintu ia berdiri dengan hati yang rapuh, rasa sesak menjalar
sedari tadi.
Tak lama pintu terbuka, wajah Mariam terlihat khawatir melihat Hana pulang
dalam keadaan basah, seketika Hana langsung memeluk erat Mariam, menumpahkan
tangisnya yang menggila di pelukan wanita yang telah melahirkannya.
"Sayang, ada apa? Di mana Adam?"
Mariam melihat sekeliling, tak ia temukan mobil Adam, putrinya dibiarkan
diguyur hujan tanpa perasaan.
"Salah Hana apa? Adam meninggalkanku, Mah. Harusnya aku tak mengenal Adam
jika akan seperti ini ujung kisahnya. Apa maksudnya menciptakan luka yang
bahkan tak ku tahu letak salahku di mana. Mah, Hana masih mencintai Adam,
wanita mana yang beruntung karena sudah menjadi pilihan Adam?"
Mariam hanya diam, hatinya turut merasa sakit ketika melihat kesedihan Hana.
Sejak hari itu, putrinya jatuh sakit. Sudah satu minggu ia menolak untuk
makan dan lebih memilih minum air dan roti setiap harinya, Hana terus saja
melamun. Entah di kamar, di halaman rumah, bahkan di pinggir kolam renang.
Tatapannya kosong, badannya semakin kurus, ia juga tak seceria biasanya.
Mariam tak bisa banyak bertindak, diam-diam ia juga menyembunyikan sakitnya
dari Hana agar tak membuat putrinya semakin sedih. Mariam berusaha bersikap
biasa saja dan mengurus butiknya seolah tak ada masalah sama sekali. Meminum
obat sembunyi-sembunyi agar tak terlihat oleh Hana, bahkan di rumah.
Hingga pagi itu, setelah sebulan lamanya bungkam. Hana mendatangi kamar
Mariam untuk mengajaknya sarapan. Sepertinya ia sudah sedikit melupakan
kesedihan di hari itu, mungkin. Hana mengetuk pintu kamar Mariam, tapi tak ada
sahutan.
"Apa mama sudah ke butik? Tapi pintunya dikunci dari dalam," gumam Hana
mencoba mengetuk lagi.
"Mah, buka pintunya!"
Tak ada sahutan. Rasa panik menyerang tiba-tiba, membuat Hana berusaha untuk
membuka pintu secara paksa, dan akhirnya ia baru sadar jika setiap ruangan di
rumah itu punya kunci cadangan.
Buru-buru Hana berlari menuju ruang depan, memeriksa setiap pot bunga
mencari kunci cadangan yang disimpan Mariam.
Ketemu!
Hana kembali dan membuka pintu kamar Mariam, pemandangan di hadapannya
membuat ia terkejut.
"Mama!"
Hana memekik histeris, berlari ke arah Mariam yang sudah terbaring di lantai.
Dengan tangan gemetar ia meraih ponsel Mariam yang ada di atas nakas, rasa
terkejutnya bertambah karena melihat daftar panggilan dengan dokter Arian yang
tak hanya sekali.
Ia tak tahu siapa dokter Arian, tapi yang menjadi pertanyaan kenapa ibunya
menghubungi dokter sesering itu, apa yang ia sembunyikan dari Hana. Tanpa pikir
panjang ia segera menghubungi dokter Arian, bibirnya gemetar menjelaskan
keadaan Mariam saat ini.
Beberapa saat menunggu, sebuah ambulans tiba di depan rumah, beberapa
petugas kesehatan membopong Mariam ke arah mobil, disusul Hana. Sepanjang jalan
Hana terus menangis, berulang kali merasakan denyut nadi Mariam yang
beruntungnya masih berfungsi, Mariam masih bernapas.
Di rumah sakit, Mariam langsung dilarikan ke ruang UGD, dokter muda yang
bertugas untuk memeriksa Mariam tampak gesit. Kini tinggal Hana yang menunggu
dengan gelisah di luar ruangan, bibirnya tak berhenti berdoa, rasa menyesal
menyerang secara beruntun.
Andai ia tak menuruti ego hingga mendiamkan ibunya yang tak bersalah, pasti
ia tahu sakit yang diderita Mariam, bukan malah menemukan wanita itu dalam
keadaan tak sadarkan diri. Sudah satu jam lamanya ia menunggu, hingga lampu di
atas pintu ruang UGD mati. Pintu terbuka, dua orang perawat wanita keluar
dengan buku catatan tapi tak menyapa Hana sama sekali.
"Sus, bagaimana keadaan ibu saya?"
Ragu-ragu kedua wanita itu saling berpandangan, sampai akhirnya dokter Arian
keluar dan menyuruh keduanya untuk kembali menjalankan tugasnya.
"Ibu ..."
"Hana! Aku tak setua itu," sambar Hana cepat. Dokter Arian tersenyum tipis,
kemudian langsung menyuruh Hana ikut ke ruangannya.