Kecelakaan yang terjadi di depan matanya membawa Rania pada pernikahan dadakan karena permintaan terakhir wanita yang dia tolong. Evan, harus menerima permintaan terakhir calon istrinya untuk menikahi wanita yang ama sekali tidak dia kenal tanpa adanya cinta di antara mereka. Bagaimana perjalanan rumah tangga mereka berdua? Akankah ada rasa cinta yang tumbuh di hati keduanya, atau malah kandas karena semua perbedaan yang ada?
"Rania, kamu sudah tidur ya?"
Suara panggilan dari arah luar kamarnya yang diiringi ketukkan di pintu terdengar begitu nyaring, Rania yang baru saja tertidur pun segera bangun dan membuka pintu untuk melihat siapa yang memanggilnya.
"Ada apa, Bu?" tanya Rania ketika mendapati Bu Karsih --ketua panti-- tampak berdiri di depan pintu dengan wajah panik.
"Nia, bisa tolong ibu sebentar gak? Sasa, panas, sementara setok obat penurunan panas kita habis. Tolong belikan obat di apotek dua puluh empat jam ya, Nak," jawab Bu Karsih dengan wajah khawatir.
"Mang Jaja lagi gak ada, pengurus yang lain gak ada yang bisa naik motor," sambung Bu Karsih dengan wajah paniknya.
"Iya, Bu. Nia siap-siap dulu, ya." Rania mengangguk cepat sambil buru-buru kembali ke kamar untuk mengambil jaket dan kerudungnya.
Rania pergi dengan mengendarai motor metic berwarna putih yang biasa dia pakai untuk mengajar di sekolah. Malam yang sudah larut ditambah dengan kondisi jalan yang licin karena baru saja diguyur hujan sepanjang sore tadi, membuat Rania harus benar-benar berhati-hati dalam berkendara. Belum lagi kurangnya penerangan jalan yang membuatnya harus terus mengalihkan pikirannya dari rasa takut, demi membeli obat penurunan panas untuk adik pantinya.
Setelah mendapatkan obat yang dia cari, Rania langsung kembali mengendarai motornya untuk segera pulang. Namun, matanya tiba-tiba saja terbelalak dengan tangan yang refleks menggenggan rem motor sekuat tenaga.
"Astagfirullah!" jerit Rania dengan wajah pucat pasi.
Suara benturan keras bersamaan dengan sebuah mobil sedan mewah terlihat hilang kendali hingga menabrak pembatas jalan beberapa kali dan terbalik dalam keadaan terus berputar lalu berhenti di tengah jalan.
"Inalillahi?" Rania menutup mulutnya dengan mata mengerjap beberapa kali, dia kemudian mengedarkan pandangannya, mencari seseorang yang bisa dia mintai tolong.
Namun, tidak ada seorang pun di sana. Hanya ada beberapa kendaraan yang lewat, itu pun tampak tak ada yang mau berhenti.
"Ya Allah, aku harus gimana?" gumam Nia dengan wajah bingung dan tubuh gemetar.
"T--tolong." Suara lirih dari arah mobil membuat Nia memberanikan diri untuk turun dari motor dan menghampiri mobil yang sudah dalam keadan hancur bahkan hampir tak berbentuk lagi.
"Andin?" Nia bertambah panik ketika melihat seorang wanita yang tampak sudah bersimbah darah berusaha untuk bergerak dan ke luar dari pintu dengan mengandalkan sisa kekuatannya. Walau wajah wanita itu tak terlihat jelas karena minimnya pencahayaan dan darah yang mengalir di pelipis hingga ke pipinya, tetapi, Nia sudah bisa mengenali wanita itu.
Andin adalah teman kuliahnya, mereka sempat hilang kontak ketika Andin meneruskan pendidikannya di luar negeri. Kini, mereka kembali bertemu dengan kejadian yang sangat tak terduga.
"Tolong! Tolong!" Nia berteriak kencang sambil mengedarkan pandangannya, mencari pertolongan dari orang sekitar. Sesekali dia melihat ke arah dalam mobil, memastikan jika Andin masih bisa bertahan. Dia juga mencoba menghentikan kendaraan yang lewat, tetapi tidak ada satupun kendaraan yang berhenti, atau orang yang datang menghampirinya.
Putus asa dengan usahanya meminta pertolongan karena tidak berhasil menemukan satu orang pun, Nia akhirnya kembali menghampiri mobil milik Andin.
"Andin? Kamu, masih sadar, kan?" tanya Nia sambil berjongkok di samping pintu mobil yang sudah hampir hancur dengan kaca yang pecah.
Nia melihat kepala Andin masih bergerak sambil menjawab pertanyaannya walau terdengar sangat lirih, yang menandakan kalau wanita itu masih hidup. Nia mencoba membuka pintu mobil yang sudah tak berbentuk. Berulang kali Nia berusaha membuka pintu mobil untuk membantu wanita itu ke luar, tetapi usahanya terus tak membuahkan hasil.
________________________
Nia terdiam di depan ruang oprasi dengan baju dan tangan yang ikut kotor terkena darah Andin saat dia berusaha menolongnya. Sesekali dia melihat lampu di atas pintu ruang operasi yang masih menyala hijau, tanda
operasi masih berlangsung.
Rasa khawatir dan takut akan keselamat teman lamanya itu pun semakin menyeruak, saat sudah hampir satu jam dia menunggu di sana, tetapi tak ada keluarga yang datang. Hingga beberapa saat kemudian, Nia bisa melihat beberapa orang yang tampak berlari menuju ke arahnya, bersamaan dengan dokter yang ke luar dari ruang oprasi.
Deg! Jantung Nia terasa berhenti sejenak ketika melihat seseorang yang dahulu sangat dia kenal kini berada di antara salah satu orang yang berlari itu. Tanpa sadar mata Nia mengikuti langkah laki-laki yang tampak begitu panik dan kacau.
"Evan?" gumam Nia dengan suara yang hampir tak bisa didengar oleh orang lain.
"Permisi, Mba. Anda yang jadi saksi mata kejadian kecelakan?" tanya Seorang polisi yang menghampirinya.
"Benar, Pak," angguk Nia.
"Boleh ikut saya sebentar, kami membutuhkan keterangan Anda," ujar polisi itu sopan.
"Baik, Pak." Nia pun beranjak berdiri kemudian mengikuti polisi itu.
__________________________
"Luka pasien sangat banyak dan berbahaya. Bukan hanya luka luar, tetapi juga luka dalam yang membuat pasien mungkin sulit untuk bertahan hidup," ujar Dokter pada keluarga Andin yang kini tampak berdiri di depannya dengan mata penuh harap.
"Enggak mungkin! Andin gak mungkin ninggalin aku! Kami akan menikah dua hari lagi, mana mungkin dia pergi begitu aja!" teriak laki-laki bertubuh jangkung dan berkulit putih bersih itu, sambil mengacak rambutnya hingga berantakan.
"Silahkan kalian temui pasien. Saya sarankan sebaiknya kalian kabulkan apa pun yang dia inginkan, karena mungkin ini adalah kesempatan terakhir untuk kalian membuatnya bahagia," pesan dokter itu dengan wajah prihatin.
Andin tampak tersenyum ketika melihat semua orang yang dia sayangi kini ada di depannya. Semua luka dan rasa sakit yang terasa sangat menyiksa tak lagi dia hiraukan ketika matanya melihat wajah sang calon suami yang terlihat sangat kacau. Mata merah, wajah pucat, rambut berantakan, dan baju yang terlihat asal digunakan.
"Evan," pangginya dengan suara lirih, membuat laki-laki yang sejak tadi hanya berdiri diam di belakang ibunya pun kini berjalan maju agar lebih dekat dengannya.
"Iya, sayang, ini aku," jawab Evan sambil menggenggam tangan Andin dengan sangat lembut dan hati-hati. Mata laki-laki itu terasa memanas saat melihat banyaknya luka yang diderita oleh calon istrinya itu.
Andin tersenyum lembut, sebelum kembali berusaha berbicara dengan suara yang hampir hilang. "A--aku sayang sama kamu, Evan."
Evan mengangguk, dia menunduk dalam menyembunyikan air mata yang sudah terlanjur jatuh tak tertahankan. "Aku tau, sayang. Aku juga sangat mencintimu, Andin. Bertahanlah demi aku, sayang ... aku mohon."
Evan bersuara dengan menahan sesak di dalam dadanya, dia bahkan tak sanggup untuk menatap wajah lemah dan tak berdaya wanita yang begitu dia cintai. Hubungan mereka sudah berjalan lebih dari tiga tahun, kini keduanya sedang menunggu hari untuk melangsungkan pernikahan dua hari lagi.
Namun, manusia hanya bisa berencana, sementara Tuhanlah yang memutuskan rencana itu akan terlaksana atau tidak. Sama seperti Evan dan Andin yang tiba-tiba mendapatkan musibah di saat seharusnya mereka sedang dalam keadaan bahagia.
"Tidak, Evan." Andin menggeleng lemah. "Waktuku enggak banyak lagi. Kamu harus ikhlaskan aku."
"Tidak, Andin. Kamu gak boleh ngomong kayak gitu. Kamu pasti bakal sembuh. Kita akan menikah dan memiliki banyak anak, seperti yang kamu impikan selama ini." Evan menggeleng cepat, dia tidak mau kehilangan Andin. Dia sudah tidak perduli lagi dengan air mata yang sudah menganak sungai, dia hanya ingin memberi semangat untuk Andin, agar wanita itu tak menyerah dengan kehidupan ini.
"Evan, menikahlah dengan Nia. Aku mohon," ujar Andin tiba-tiba, yang membuat Evan langsung menatapnya dengan kening mengkerut dalam.
"Andin, jangan aneh-aneh, aku hanya mau menikah sama kamu, sayang." Evan masih berusaha bersabar walau sesak di dalam dada kini semakain terasa menyiksa.
"Ini adalah pernikahan terakhir aku, Evan. Aku mohon, kamu mau menikah dengan wanita pilihanku. Jadikan dia wanita yang menggantikan aku bersanding di pelaminan bersama kamu dua hari lagi."