icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Jadilah Milikku, Nona Sekretaris

Jadilah Milikku, Nona Sekretaris

Pixie Life Agency

5.0
Komentar
21.1K
Penayangan
165
Bab

Julian Evans adalah salah satu CEO terbaik di dunia, pemuda kaya nan tampan yang terkenal romantis. Siapa yang berani menolak pria sehebat itu kalau bukan sekretarisnya sendiri? Tak peduli seberapa besar perjuangan pria itu mengejarnya, sang gadis tetap menutup hati, walau di dalamnya ada cinta yang berbalas. Mia Sanders hanyalah anak sopir dan pelayan keluarga Evans yang dididik untuk menjadi sekretaris andal. Tujuan hidupnya adalah membahagiakan orang tua dan membalas budi baik keluarga Evans. Karena itulah, ia tidak berani membantah. Hubungannya dengan Julian Evans memang sebuah petaka yang harus dihindari. “Saya heran kenapa Anda bersikeras memercayai hal yang tidak nyata. Cinta di antara kita hanyalah angan-angan.” “Kalau begitu, beri aku tantangan. Jika aku bisa menyelesaikannya, kuharap tidak ada lagi keraguan dalam hatimu. Aku memang serius mencintaimu dan rela melakukan apa saja demi bisa hidup bersamamu.” Apa yang terjadi selanjutnya? Mampukah Julian meluluhkan hati sang sekretaris dan meyakinkannya bahwa cinta mereka layak diperjuangkan?

Bab 1 Ledakan Emosi

“Mia, bolehkah aku menanyakan sesuatu kepadamu?” ucap Julian sukses membuat sang sekretaris menghentikan langkah. Dua detik kemudian, gadis yang semula berjalan menuju pintu itu, berbalik menghadapnya.

“Ada apa, Tuan?”

Sambil menyempalkan tangan ke dalam saku, sang CEO mengitari meja kerja dan berhenti tepat di hadapan sekretarisnya.

“Max, kau, dan aku tumbuh bersama sejak kecil. Dengan kata lain, kau pasti sudah sangat mengenal kami,” ujarnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Baru kali ini Mia mendapati raut semacam itu. “Menurutmu, adikku itu orang yang seperti apa?”

Mendapat pertanyaan yang terkesan konyol, sang sekretaris hampir saja mengerutkan alis. Namun, demi menghargai bosnya, ia terpaksa mempertahankan tampang datar.

“Tuan Max orang yang cerdas dan penuh perhatian. Meskipun dia tegas dan ambisius, dia tetap bisa menempatkan keluarga sebagai prioritasnya. Tipikal pria idaman banyak wanita,” jawab Mia jujur.

“Begitukah? Lalu, apakah kau pernah menaruh hati padanya?”

Mendengar pertanyaan yang tak terduga itu, Mia sontak menaikkan alis. “Maaf?”

“Kau mengatakan kalau adikku itu idaman banyak wanita. Apakah kau termasuk salah satu dari mereka?”

“Kenapa Anda tiba-tiba menanyakan hal semacam itu, Tuan?” balas sang sekretaris sambil memiringkan kepala.

Julian pun mengangkat bahu sekilas. “Hanya ingin tahu saja. Jadi, apakah kau pernah menyukainya?”

Selang perenungan sejenak, Mia mengangguk tegas. “Ya. Sampai sekarang pun, aku masih menyukainya.”

Hanya dalam sekejap, jantung sang CEO berdebar tak karuan. Ia tidak menduga jika pertanyaan spontannya malah mendatangkan keresahan yang lebih hebat.

“Lalu, apakah karena itu kau tidak pernah menerima cintaku? Karena kau masih berada dalam bayang-bayangnya?” desah Julian yang tak bisa menyembunyikan keterkejutan.

Alih-alih menjawab, Mia malah menghela napas tak percaya. “Kenapa Anda berpikir begitu? Tentu saja tidak.“

“Tapi, kau baru saja mengaku masih menyukainya,” sanggah sang pria dengan napas yang menderu.

“Bukankah tadi Anda sendiri yang bilang kalau kita bertiga tumbuh bersama-sama? Sejak dulu, aku menganggap Tuan Max sebagai kakakku. Wajar jika aku menyukainya. Dia juga selalu baik dan menganggapku sebagai adik.”

Menyadari bahwa dirinya telah salah paham, Julian berkedip-kedip tanpa kata. Ia tidak tahu bahwa basa-basi juga bisa membahayakan hati.

“Apakah ledakan emosi Anda sedang kambuh, Tuan? Pikiran Anda sepertinya agak kacau,” sindir Mia dengan tampang polos.

“Tentu saja tidak. Aku hanya mengujimu saja,” gumam Julian sambil menggaruk pelipis.

“Menguji bagaimana?”

Kesal karena gadis di hadapannya itu sama sekali tidak peka, sang CEO spontan berdecak. “Kesetiaanmu terhadap Gabriella. Siapa tahu, kau tiba-tiba mengkhianati persabahatan kalian dan merebut Max darinya.”

“Sepertinya, Anda bukan menguji kesetiaan melainkan kesabaran saya, Tuan. Sebelum kita bertengkar lagi, izinkan saya kembali bekerja.”

Sebelum gadis itu sempat berbalik, Julian tiba-tiba menahan kedua lengannya.

“Maaf, tadi itu ... aku hanya bercanda saja. Sebetulnya, aku ingin mengetahui pandanganmu terhadapku. Bagaimana sosok Julian Evans di matamu? Kenapa kau tidak pernah serius setiap aku mengutarakan perasaan?” ucap sang pria dengan nada lembut.

Mia dapat merasakan ketulusan pada sorot mata yang hangat itu. Sebelum ia tenggelam di dalamnya, secepat kilat gadis itu menepis tangan sang CEO.

“Maaf, Tuan. Kita sedang berada di kantor, dan sekarang adalah jam kerja. Kita tidak boleh mencampuri urusan pribadi dengan pekerjaan.”

“Tapi semua agenda hari ini sudah terlaksana, dan kita tinggal menunggu jam pulang,” bujuk Julian dengan penuh harap.

Mia sudah hafal gerak-gerik pria itu. Setelah menahannya pergi, Julian akan menjelaskan tentang betapa ia mencintai Mia. Lalu, sang gadis akan menyangkal dan obrolan mereka akan diakhiri dengan pertengkaran.

“Maaf, Tuan. Hari ini, suasana hati saya sedang tidak bersahabat. Lebih baik, kita bicarakan nanti saja,” ujar sang sekretaris datar.

“Nanti, nanti, nanti. Mau sampai kapan kau menunda pembahasan ini?”

“Pembahasan apa, Tuan? Bukankah kita sudah mencapai kesimpulan. Saya tidak bisa membalas perasaan Anda.”

“Mustahil!” hardik Julian sambil mengguncang lengan sang sekretaris sehingga gadis itu terbelalak. “Kau memiliki perasaan yang sama denganku, Mia. Aku bisa merasakan hal itu.”

Sambil meringis, sang sekretaris menggeleng samar. “Tolong jangan mengada-ada, Tuan.”

“Aku berkata apa adanya. Kau memang mencintaiku, Mia. Apa kau lupa bagaimana paniknya dirimu saat aku diserang oleh penjahat dulu? Apa kau tidak sadar sebesar apa perhatian yang selalu kau berikan untukku?”

“Itu karena saya adalah sekretaris sekaligus asisten pribadi Anda, Tuan. Tolong jangan salah paham,” kilah Mia sambil berusaha melepaskan diri dari cengkeraman sang CEO.

Tiba-tiba, Julian merapatkan pandangan, meneliti bola mata sang gadis dengan saksama.

“Sekarang, katakan kepadaku. Apa yang membuatmu selalu menghindar dariku? Aku sudah memikirkan segala jenis kemungkinan. Yang terburuk adalah kau diam-diam menyimpan cinta kepada Max. Namun nyatanya, itu tidak benar. Lalu, apa?” selidik sang pria dengan suara lambat dan penuh penekanan.

Melihat keseriusan sang pria, Mia bergeming dengan rahang terkatup rapat. Mata gadis itu kini bergetar hebat. Namun, bibirnya sama sekali tidak bergerak. Dengan raut sedingin itu, Julian tidak akan sanggup menembus pertahanannya.

“Kau tidak ingin bicara? Kau tega membuatku penasaran seumur hidup?” desak Julian sembari melebarkan pandangan, berharap Mia akan tersentuh oleh kebulatan tekadnya.

Akan tetapi, beberapa detik berlalu, sang sekretaris masih kukuh dengan mulut dan hati yang terkunci rapat. Mengetahui usahanya gagal lagi, Julian akhirnya tertunduk dan memejamkan mata. Sembari mendesah, ia meratapi nasib cintanya yang menyedihkan.

“Kenapa kau selalu saja diam, Mia? Setidaknya, katakanlah alasan kau menolakku. Aku bisa memperbaiki diri, atau ... mencari solusi. Tapi jangan gantungkan aku seperti ini,” bisik sang pria sebelum kembali menegakkan kepala dan menampakkan mata merahnya. Ia benar-benar frustrasi menghadapi sang cinta.

Selang keheningan sejenak, bibir Mia akhirnya mulai membuka. Secercah harapan otomatis mencerahkan wajah sang pria.

“Apakah sekarang aku boleh pergi?” tanyanya membuat Julian kembali terpejam dan menarik napas panjang. Benih-benih harapan telah musnah sebelum sempat bertunas.

Dengan berat hati, pria itu akhirnya melepaskan lengan sang sekretaris. “Ya,” desahnya dengan anggukan miris.

Dengan wajah kaku, Mia melangkah mundur. Tanpa mengucapkan maaf ataupun permisi, gadis itu keluar dari ruangan, meninggalkan Julian dengan perasaan kacau.

“Gadis itu ... teganya dia membiarkanku menderita begini? Apakah dia sengaja? Dia pasti ingin memberi hukuman atas kejahatan yang dulu kulakukan,” pikir Julian sebelum mengacak rambut dan membanting diri di sofa. Tubuhnya terasa lemas dan tidak bertenaga.

Setelah bergeming meresapi keheningan, sang CEO akhirnya meraih ponsel. Begitu alat itu menempel di telinga, ia mendongak, membiarkan kepalanya beristirahat pada puncak sandaran sofa.

“Ada apa, Julian?” tanya seorang wanita tanpa sempat mengucapkan salam.

“Laporan ke-136, usahaku lagi-lagi gagal. Mia hanya diam dan menatapku dengan raut datar,” ujarnya dengan nada rendah.

“Memangnya apa yang kau lakukan? Apakah ada yang berbeda dari cara yang biasa?”

Mendapat pertanyaan semacam itu, sang CEO sontak meringis. Ia baru sadar bahwa emosinya telah mengacaukan rencana. “Tidak ada. Aku hendak memancingnya untuk memberi pendapat tentang diriku. Tapi, aku gagal.”

“Dasar gegabah,” celetuk wanita di seberang ponsel.

Sedetik kemudian, ocehan bayi terdengar seolah menyambung ucapan ibunya. “Yayayaya ....”

“Dengarlah, bahkan keponakanmu setuju denganku.”

Selang satu embusan napas cepat, Julian mengangguk samar. “Benar. Aku memang gegabah.”

“Nanti, cobalah dengan lebih tenang. Jika terus gagal mengendalikan emosi, kau tidak akan pernah mendapat kejelasan darinya. Wanita tidak suka didesak, Julian. Buatlah Mia bicara tanpa tekanan ataupun paksaan.”

Sambil menarik napas panjang, mengumpulkan asa, Julian kembali menegakkan badan. “Baiklah. Aku akan mencobanya lagi.”

“Ingat! Jangan sampai emosimu meledak lagi! Aku tidak mau menerima laporan ke-1000,” tegas Gabriella, sukses mewarnai wajah Julian dengan kengerian.

“Jika itu sampai terjadi, sepertinya ... kau harus segera mengirimku ke rumah sakit jiwa.”

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Pixie Life Agency

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku