Segitiga Penguasa - Sudut Pertama
dua puluh empat
a dari langit sore. Gerimis datang perlahan. Sesekali, kilatan cahaya di hamparan la
npa henti. Salah seorang lelaki membawa buntelan kain yang ia peluk erat dalam dekapannya. Rimbunan semak dan perdu mereka trabas tan
apa saja yang dapat memenggal kepala salah seorang, atau keduanya sekaligus, akan me
aur pasrah dengan tetes hujan. Udara di ujung hari mendadak terasa begitu dingin. Seolah menjelma bagai ribuan jarum
ekilas berpaling ke arah buntelan kain yang ia bawa. Rona kesedihan terpancar dari air mukanya. Dibu
il oleh sahabatnya, lelaki lainn
a. Perhatiannya lalu beralih ke arah belakang. Celingak-celinguk ia menera
ah seorang lelaki menyodorkan buntelan kain berisikan bayi ke
Aku tida
ki," potong lelaki itu, memaksa. Sebulir darah mengalir jatuh dari peli
n kepala. "Tidak! Kita harus tetap
terus mengeluarkan darah segar, membuat tungkai-tungkai kaki lelaki itu tak kuat lagi menopa
membantu. Ia memposisikan diri setengah berjongkok. "Sepertinya
ekali lagi, seorang bayi mungil yang berada dalam
gi. Tak ada lagi kata-kata penolakan yang dapat ia uc
yang aman. Jaga ia agar t
ri bersama-sama," lirih
idak akan kua
i kuat membawa
tidak terluka, kita belum tentu dapat mengimbangi mereka. Mereka ...." mati-matian, lelaki itu berusaha mengatur napas. Satu tangannya secara spontan bergerak memegangi bekas luka tusuk d
ung lagi. Tangis kegagalan menjadi penghias se
t buliran air mata yang jatuh ke wajah mungilnya, bergerak perlahan menelusuri tubuhnya. Tanpa mengerti apa
ah. Kum
i ..
moh
ngis. Ia dekap erat buntelan kain berisikan bayi dalam gendonganny
h rintik gerimis yang terus berjatuhan. Lelaki dengan sederet luka di sekujur tubuhnya
asi genting semacam ini, tak mungkin baginya berlama-lama untuk bernegosiasi. Keadaan mengharuskannya mengabaikan hati nurani. Jika ia tak segera melarikan diri, m
da buah hatinya yang semakin dibawa jauh dari sisinya. Selamat tinggal, anakku. De
nnya kuat mengepal. Ini akan menjadi pertarungan terakhirku, batinnya menegaskan. T
lelaki itu justru menyeringai bak pemangsa.
ah putih, berdiri tegap menatap langit malam yang terang benderang. Kedua tangannya bertaut di belakang
kurus bergegas berlutut. Air mukan
itu suda
dah, T
lakukan bersama d
diam. Bingung ha
rit yang masih berlutut di dekat
"Ma-maafkan aku, Tuan. Aku sadar, aku sudah berbuat salah. Maafkan aku," pinta
Semua ini sudah berjalan sesuai
ah itu,
ngangguk. Ter
palanya, melihat wajah Tuannya. Tak ada raut kemarahan di sana. Sebersit
p lelaki itu se
" Prajurit itu berba
t keberadaan Tuannya. Langkahnya ringan. Kelegaan tergambar jelas di setiap embusan napasnya. Tapi tunggu, tepat setelah b
panjang. Melihat ada gelagat tak baik yang
oleh ke belakang. "Ti-tidak, Tuan. Tidak ada apa-apa. Saya permisi," ka
an malam, seorang lelaki dengan kedua tangan yang masih bertaut di belakan