icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Segitiga Penguasa - Sudut Pertama

Segitiga Penguasa - Sudut Pertama

Penulis: NVR
icon

Bab 1 Sebuah Pelarian (Bagian 1)

Jumlah Kata:1176    |    Dirilis Pada: 20/05/2022

, dua puluh emp

a dari langit sore. Gerimis datang perlahan. Sesekali, kilatan cahaya di hamparan la

npa henti. Salah seorang lelaki membawa buntelan kain yang ia peluk erat dalam dekapannya. Rimbunan semak dan perdu mereka trabas tan

apa saja yang dapat memenggal kepala salah seorang, atau keduanya sekaligus, akan me

aur pasrah dengan tetes hujan. Udara di ujung hari mendadak terasa begitu dingin. Seolah menjelma bagai ribuan jarum

ekilas berpaling ke arah buntelan kain yang ia bawa. Rona kesedihan terpancar dari air mukanya. Dibu

il oleh sahabatnya, lelaki lainn

a. Perhatiannya lalu beralih ke arah belakang. Celingak-celinguk ia menera

ah seorang lelaki menyodorkan buntelan kain berisikan bayi ke

Aku tida

ki,” potong lelaki itu, memaksa. Sebulir darah mengalir jatuh dari peli

n kepala. “Tidak! Kita harus tetap

terus mengeluarkan darah segar, membuat tungkai-tungkai kaki lelaki itu tak kuat lagi menopa

membantu. Ia memposisikan diri setengah berjongkok. “Sepertinya

ekali lagi, seorang bayi mungil yang berada dalam

gi. Tak ada lagi kata-kata penolakan yang dapat ia uc

yang aman. Jaga ia agar t

ri bersama-sama,” lirih

idak akan kua

i kuat membawa

n tidak terluka, kita belum tentu dapat mengimbangi mereka. Mereka ….” mati-matian, lelaki itu berusaha mengatur napas. Satu tangannya secara spontan bergerak memegangi bekas luka tusuk d

g lagi. Tangis kegagalan menjadi penghias semp

t buliran air mata yang jatuh ke wajah mungilnya, bergerak perlahan menelusuri tubuhnya. Tanpa mengerti apa

ah. Kum

pi

moh

ngis. Ia dekap erat buntelan kain berisikan bayi dalam gendonganny

h rintik gerimis yang terus berjatuhan. Lelaki dengan sederet luka di sekujur tubuhnya

asi genting semacam ini, tak mungkin baginya berlama-lama untuk bernegosiasi. Keadaan mengharuskannya mengabaikan hati nurani. Jika ia tak segera melarikan diri, m

da buah hatinya yang semakin dibawa jauh dari sisinya. Selamat tinggal, anakku. De

nnya kuat mengepal. Ini akan menjadi pertarungan terakhirku, batinnya menegaskan. T

lelaki itu justru menyeringai bak pemangsa.

ah putih, berdiri tegap menatap langit malam yang terang benderang. Kedua tangannya bertaut di belakang

kurus bergegas berlutut. Air mukan

itu suda

dah, T

lakukan bersama d

diam. Bingung ha

rit yang masih berlutut di dekat

“Ma—maafkan aku, Tuan. Aku sadar, aku sudah berbuat salah. Maafkan aku,” pinta

Semua ini sudah berjalan sesuai

ah itu,

ngangguk. Ter

palanya, melihat wajah Tuannya. Tak ada raut kemarahan di sana. Sebersit

p lelaki itu se

” Prajurit itu berba

t keberadaan Tuannya. Langkahnya ringan. Kelegaan tergambar jelas di setiap embusan napasnya. Tapi tunggu, tepat setelah b

panjang. Melihat ada gelagat tak baik yang

oleh ke belakang. “Ti—tidak, Tuan. Tidak ada apa-apa. Saya permisi,” ka

an malam, seorang lelaki dengan kedua tangan yang masih bertaut di belakan

Buka APP dan Klaim Bonus Anda

Buka