The Possible
ru saja menikmati makanan yang enak, dan dengan penuh nuansa kasih sayang menikmati di depan kami. Dia orang yang baik hati, berumur lima puluhan awal, namun perilakunya s
da juga mata kuliah yang disebut sebagai Hukum Orang-orang Aneh. Dulu dia pernah membuka mata kuliah tentang Hak-Hak Janin yang bel
semua mahasiswa masuk sekolah hukum diiringi dengan sejumlah idealism dan niat untuk melayani masyarakat, tapi setelah tiga tahu mengalami kompetisi brutal, kami tid
secara gratis, jumlah kami terpangkas dan hanya tersisa empat orang. Mata kuliah ini tidak ada nilainya, cuma dua jam dalam satu minggu, hampir tidak membutuhkan kerja apa pun. Dan inilah yang menarikku ke situ. Tap
mampu membantu mereka. Duduk di sampingku di belakang meja lipat yang sama adalah Bolie Harold, seorang laki-laki kulit hitam yang menjadi sahabat terbaikku di sekolah hukum. Dia juga merasa takutnya sepertiku. Di hadapan kami, terpampang kartu indeks terlipat dengan nama kami tertulis dalam tinta hitam-Bolie Harold dan Edward Cicero. Itulah aku. Di samping Bolie Harold berdiri podium tempat Miss Natalie berceloteh, dan sisi
besar tergantung di setiap sudut ruangan, suaranya yang melengking meledak dan menderu dari segala sudut. Alat bantu dengar ditepuk dan dicabut. Sejenak tidak seorang pun yang tertidur. Hari ini ada tiga obituary, dan saat akh
pajak penjualan, sang pianis menyerbu tuts piano. Penuh kegembiraan saat dia memainkan alunan pembukaan dengan suara berdentang-dentang. Orang-orang itu pun meraih buku nyanyian mereka dan menunggu bait pertama. Miss Natalie tidak melewatkan sat