Pernikahan Kontrak Sang Pendendam
aku gagal lagi. Dua kali aku telanjang di depannya, dua kali dia menolak. Dan penolakan yang kedu
yang Dion lempar semalam. Aku bangun, merangkak ke ka
rah perang, kini cuma kain lusuh yang kulempar
diriku sendiri. Bukan Adnan yang
kan Adnan. Aku nggak memikirkan bagaimana dia ter
hat tegang, seperti ada cerita yang dipaksa diam di sana. Itu bukan luka operasi pl
an yang membara. Kenapa dia punya luka itu? Apa yang sudah terjadi
s keperawanan. Sekarang, tujuanku be
ura-pura seksi hari ini. Sesi agresif sudah selesai, dan itu gagal total. Sekar
ana, sarapan bubur ayam, membaca koran bisnis
apanya, tanpa mend
di seberangnya. Aku berusaha m
uatkan khusus untukmu, karena ka
rhatian, walau caranya aneh. "Makasi
nya sedikit. Matanya
o kenapa?" tanyaku, langsu
at, tapi aku melihatnya. Itu seper
mbali menaikkan korannya. "Nggak a
l mahkota gue karena motif gue kotor, dan karena lo nggak bergairah gara-gara luk
a melipat di dada. Sikap tubuhnya
u, dan kamu menikahi aku untuk tujuan tertent
elihatan dari ukurannya, itu bukan luka jatuh dari
mau dengar spekulasi kamu. Aku nggak mau kamu mengganggu masa laluku. Fokus pada m
alkan buburnya yang
ekarang adalah menyesuaikan diri dengan jadwal dan etiketku. Kalau kamu punya energi
bodoh dan kekanak-kanakan. Tapi penola
Mbak Yuni adalah satu-satunya manusia yang tinggal d
dapur, sedang meny
a soal Tuan Dion?" tanyaku
sopan. "Tentu, Bu Ke
gkin... dia pernah sakit parah? Soalnya dia kurus bange
karena beliau atletis, Bu. Setiap hari bel
n apa?
di lantai bawah. Tapi beliau lebih suka berena
g. Berarti dia sering melepas pakai
Tuan Dion s
a tahun lalu, Bu. Dulu sih beliau jarang sekali berenang. Tapi setelah
elah aku pacaran dengan Adnan. Apakah luka
h kecelakaan tiga
, Bu. Saya nggak berhak membicarakan masa lalu Tuan Dion.
ai batasnya. Dion pasti sudah memberi tahu semua orang di rumah
mencari celah. Aku tahu Dion punya jadwal ketat, j
memutuskan untuk
ah ke area fitness dan kolam renang indoor. Ruangan itu remang-remang, ha
aku mel
dengan kekuatan yang brutal. Gerakannya cepat, teratur, tanpa jeda. Dia tid
basah kuyup. Dia memang atletis, seperti kata Mbak
a melihatku. Dia nggak berhenti, dia tetap me
erlihat jelas di bawah air, memanjang, terlihat lebih putih dari kulitnya yang kecokelatan
a langsung meraih handuk dan menutu
ggu," katanya, suaranya sedikit terengah
ku pelan. "Berenang itu un
nuju ruang ganti. "Berenang itu untuk menggerakk
karena
aku hampir nggak selamat," jawabnya, nadanya ki
selamat. Aku hampir mati karena malu. Tapi aku ngg
i, berbalik menatapku. Tatapannya tajam
alam pertama yang akan kamu sesali seumur hidup. Karena kalau aku melakukannya sekaran
ah coba cara lo, gue udah coba cara gue. Gue nikah sama lo, i
Dia berdiri telanjang dada di depanku
kan kasih kamu malam itu, kalau kamu jujur pada dirimu sendiri. Kalau kamu
tulus. Tulus pada motifnya sendiri. Sampai kamu bisa bilang, 'Aku mau kamu, D
nti, meninggalkan aku
siasi kontrak. Dia nggak butuh tubuhku. Dia b
atas es. Dingin, tapi membakar. Sekarang, aku tahu. Aku nggak l
a dia adalah satu-satunya orang yang melihat sisi han
ran itu telah berubah menjadi se
-aroma yang dingin, bersih, dan mematikan-menusuk hidungku. Aku nggak sadar, aku sud
Tuan
pa yang terjadi tiga tahun lalu. Aku akan menembus bentengnya. Karena sekarang, aku nggak lagi but