Rumah Kardus
sebelas malam lewat beberapa menit. Semua teman sekamarnya tampak sudah tertidur pulas, kecuali Debby di ujung sana yang masih tampak berbisik-bisik dengan Maharani
knya melalui jawaban-jawaban chat singkat yang ia ketik di sela-sela kesibukannya. Mungkin besok s
h hari terakhir Runi dan teman-teman seangkatannya dari jurusan Pendidikan Luar Biasa melaksanakan praktik kerja sebagai pengajar di yayasan tuna rungu di kota ini. Semua yang
wal kedatangan Runi dan teman-temannya selaku tim relawan dari Jakarta yang akan membantu memberikan pengajaran kepada mereka selama beber
sel berdenting. Halus, namun
ya, kemudian membaca dengan cepat tampilan pop-up pesan pada bagian ata
. Kita harus keluar dari kontrakan b
jam, kembali membelalak lebar. Otot-ototnya yang sedianya sudah siap untuk diist
Runi dalam hati. Please,
uk mama yang hanya berisikan k
ngan satu ikatan ekor kuda di belakang kepala tanpa menyisirnya lebih dahulu. Ia melangkah dengan lemas menuju sudut ruangan,
t dengan kedua sudut bibir tertarik ke atas. Pandangannya sedikit berkunang-kunang, entah karena efek memaksa
layar ponsel yang diletakkannya di atas lantai, ma
ang-barang kamu perlu dikemas secepatnya i
tidak ingin kehilangan barang-barangnya, dan seolah ini semua adalah kesalahannya. Padahal Runi saat ini be
las. Rasanya sedih, kesal, tidak enak hati, dan ingin marah. Tapi entah ma
dan melangkah pelan keluar kamar. Ia harus mencari Mbak Shinta, ko
mengecek jadwal kereta api. Sementara itu otaknya sibuk menyusun kalimat yang paling tepat sebagai alasan permintaan izin pulang yang mendadak ini. Jangan sampai Mb
n pintu di hadapannya itu. Ia khawatir suara ketukannya akan membuat
ri dalam. Runi kembali men
udah tidur?" Runi berucap sediki
di dalam ruangan kamar. Lalu Mbak Shinta muncul membukakan pintu dengan satu tangan. Satu tangannya l
apa, Run?" tanya
hnya sedikit dengan gugup, bersiap memberikan alasan palsu kepada Mbak Shinta. "Aku
g seperti ini, kecuali hal darurat misalnya karena kondisi orang tua yang sedang sakit. Toh memang kenyat
h yang langsung berubah mengerut, terlihat sangat ce
gga barusan, disuruh pulang. Aku bingung, Mbak, padahal kan praktek kerjanya masih s
sedang terjadi di rumah saat ini, ia yakin, ia pasti akan sangat enggan untuk menghadapinya. Dan la
ga cuma tinggal sehari lagi. Besok udah tinggal penutupan aja, ko
jah Mbak Shinta yang malah balas
jadinya gimana, Mbak ...?" tanya Runi ma
h, mahasiswi yang paling rajin di tim kamu. Tenang aja, nilai kamu ful
Mbak," ucap Runi lemas. Bukan lemas karena mendengar nilai praktek ker
lam. Kamu mau pulang naik apa ke Jakarta? Memangnya jam
. Ada kereta api ekonomi tujuan Jakarta, ber
lagi, menatap Runi penuh kecemasan. "Aduuh, siapa yang bisa nganterin kamu, ya ...?" Mbak Shinta menjulurkan kepala k
aksi atau ojek aja. Nanti aku cari sendiri
cemas. "Aku temenin deh, keluarnya," ucap Mbak Shinta yang h
Nanti aku minta bantuin bapak itu aja untuk cari kendaraan ke stasiunnya," ucap Runi, kali ini ia yang berusaha me
sudah, kalau gitu, nanti kabarin lagi ya, Run, kalau udah sampai di stasiun, terus kabarin juga kamu dapat
, Mbak," j
ak sangat khawatir melepas kepergian Runi, dan menitipkan permintaan maaf
a itu untuk mencari Pak Satpam yang bias
ke Jakarta malam ini juga, Runi akhirnya diantar oleh seorang abang ojek berwajah ramah yang biasa mang