BLIND HEART
a
sa-sisa air mata masih membekas di sana. Rambut k
n untuk kembali ke rumah besar tempatku bekerja beberapa hari ini. Aku mengesampingkan ego dan emosik
menung sendirian, kehela napas berat, kali ini fokusku buk
"Ayah jangan sedih, Silva janji akan cari uang buat bayar hutang kita,"
noleh ke arahku dengan senyum dipaksa
untuk menghidupi kami sekeluarga. "Seharusnya Silva y
Kamu anak Ayah yang hebat, nggak
dah, sekarang Ayah istirahat,
ada sama lelaki yang mendekat
Ayahku
aman tuan besar yang kali ini kuharap tak mengingat sikap tak
ciumannya kembali terlintas, bisa-bisanya a
ampakan keangkuhan yang sama dengan sang empunya. Kutarik napas
i setelah dipersilahkan petugas keamanan, mataku
h datar yang selalu mengiku
, Jo," sapaku
spresi. "Untuk apa kau dat
berdebar-debar. "Kenapa pertanyaanmu sep
ajam. "Tuan Max hampir membunuhku kar
arkah seperti itu? Lalu b
nar-benar tidak seng
ilahkan tinggalkan tem
a. Pekerjaan ini adalah harapanku satu-satunya, jika d
rbicara dengan Tuan Max
mbil resiko kau kembal
keributan, aku akan meminta maaf
tingan benda-benda dari arah kamar Tuan Max. Sontak saja pria itu m
pelayan yang juga baru ti
i kesalahan?" Suara wanita par
tu terdengar, matanya seper
ajam, dadanya naik turun se
uan
sat!" Hardikan Tuan Max
la pelayan mulai mundur perlahan. Tentu saja, s
erakan di lantai. Lalu, aku merasakan jantungku seakan lepas dari tempatnya ketika Tuan
i ke arahnya, menarik lengan kekar i
besar itu oleng dan malah jatuh menimpaku. Kami ja
buru. Tak lama, ia menggeram kasar layaknya srigala yang hend
g lagi," ge
... Say
aumu, hm?" t
, bisakah and
sa!" tukas
ar, berharap pertolongan dari Jo. Tapi, betapa terkejutnya aku saat t
n, hm?" dengus T
napas, badan anda terlalu berat," ujarku kesal.
dalam, lalu setelahnya ia
ekatan dengannya bukan hanya membuat napasku sesak, ta
aha tak menyinggung perasaannya, tapi sayangnya aku tak berh
ya, lalu berusaha berdiri
ertama kali. Kutuntun ia menuju kasur tanpa melewati pecahan benda ya
hkan kamar, Tuan
u bukan tugasmu!"
liknya di sini? Ya, mungkin saja dia menganggap tanganku
ang lagi?" tanya
s kujawab. "Maaf untuk hal kemarin, Tuan. Tapi, sungguh
atakan jangan pergi tanpa izinku. Tapi,
ciumku tanpa permisi!" ujarku keras,
al erat menandakan emosi yang siap meluap. Tapi, kalimat pria itu se
leh menciummu? Atau bahkan menidurimu?"
*
B