Luka Dosa Warisan
ang-orang labelkan padanya. 'Anak pelakor', 'perempuan murahan', 'perebut suami orang', kata-kata yang sudah terlalu sering ia dengar, bahkan dari orang-orang terdekatnya. C
anya, Ny. Ratna sekaligus perayaan pernikahan kakaknya, Carla dengan Aksa Wijaya, seorang CEO muda yang akh
. Begitu ia menuruni tangga, tatapan sinis dari para tamu m
mpuan dari ist
ya dulu ngerebu
Pantas aja Carl
tu. Berjalan dengan perlahan menuju sisi ruangan yang lain.
. Senyum perempuan itu tampak manis bagi siapa pun yang melihatnya. Ag
rena aku anak sah Tuan Danupratama. Kau masih ingat?" Carla menyapanya dengan nada penuh sindira
u menunjukkan kelemahannya. "Aku bagi
memang bagian dari keluarga ini, tapi tetap saja kau hanya anak dari perempuan
pi belum sempat membalas, suar
masal
perti biasa dalam setelan jas hitamnya. Mata mereka bertemu sejenak, dan untuk sepersekian detik, Agnesia bisa merasaka
milikannya. "Tidak ada apa-apa, sayang. Aku hanya mengingatkan adik
ahi Carla bukan karena cinta, melainkan karena tekanan keluarga. Ia juga tahu Aksa buka
suatu yang tersirat dari tatapan kedu
to. Semua tamu beralih perhatian, termasuk Carla dan Aksa. Agnesia menghela napas, be
esia
erdiri di dekatnya, sedi
katanya pelan, cukup untuk hany
kalinya, seseorang dalam keluarga ini
ya. "Aku sudah terbiasa." Dan tanpa
n. Sesuatu yang sering dia lakukan saat hatinya terlu
kau berada sen
erlahan mendekat sambil membawa dua gelas coc
au lakukan?" Tanpa ragu, Agnesia menerima ge
menatap gadis itu dan berjalan di sisi lain. Kini, mereka m
itu?" Agnesia menatap Aksa deng
aca tentangku!" Kini tubuh mer
banyak belajar, bukan?" Agnesia ter
narik?" Kini Aksa lebih merapat. Sesekali
h. Memperlihatkan giginya yang berderet putih. Aksa turut tersen
engatakan itu!" Agnesia menegang saat Aksa de
alah satu jarinya di dada bidang Aksa tanpa sungkan. Agnesia tersenyum. Rupanya, langit cuk
ya!" Aksa berbisik lirih di telinga Agnesia, dan tanpa aba-aba mencium pipi
n wajahnya tanpa ragu dan Aksa menangk
g tubuh Aksa. Gadis itu mulai sadar,
mbali menarik tubuh Agnesia, dan
mpu mencerna. Tanpa pikir panjang, turut memberi r
bopong tubuh Agnesia ke sudut ruang
berusaha mendorong tubuh Aksa tapi
lam ini!" Aksa kembali mengunci tangan
. Aksa terlalu lama memendam rasa pada gadis yang kini ada di bawah tubuhnya. Tangannya dengan cekatan membuka paka
a akhirnya tersenyum penuh arti. Tak lama, ruangan yang suny