icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon

Mati

Bab 3 Bantuan

Jumlah Kata:3221    |    Dirilis Pada: 07/07/2023

a, melengkapi suasana langit di pagi hari. Suara orang-orang dipantai menyambut mentari diujung laut, entah apa yang diobrolkan begitu harmonis beserta suara ombak ke

bu-abuan panjang yang tidak begitu longgar, sisiran keren baginya dengan arah kekiri. Pria itu tengah menonton pertarungan langit malam dan pagi dengan sikut yang menopang tubuhnya di pagar balkon. Ia berbalik arah dan kemudian duduk di lantai balkon menyambar secangkir

keluar kamar mandi dengan handuk membalut pinggang menuju tas yang

ayahku memang tak tertarik dengan bahasanku kali ini, Ia ingin lebih menikmati kopinya dalam kesunyian indahnya pesona alam, aku hanya tersenyum menghela nafas kemudian menyeruput susu digelas yang kubawa. "Sudah siap?" siap apanya gumamku menatap heran pria penikmat kopi disebelahku ini, "Untuk apa?" kode dariku agar dijelaskan maksud pertanyaannya itu, "Ke pantai lah, masa iya ke mimpi" sambil terkekeh dengan maksud mengejekku. Kusetel muka kusutku untuknya, ya untuknya karena merusak suasana mentari yang sebentar lagi selesai dengan persalinannya. "Ayolah, yahhh. Biarka

libur, sendiri, berpasangan, bergerombolan teman, bahkan sekeluarga berada di area pantai. "Oiya, ayah. Mengapa ayah memakai setelan kemeja untuk ke pantai?" tanyaku dalam suasana bising angin pantai yang mengibas rambutku tapi tidak dengannya karena ia memakai minyak rambut,

ertemu teman ayah" jelasnya singkat sambil memperkerjakan 2 bola penglihatannya menjelajah sejauh mata memandang "Tapi kenapa aku yang diajak? Dan kenapa bertemu di pantai?" kan bisa aja ketemu di resto atau dimana selain di pantai, gumamku jengkel kepada pria yang lebih tinggi dariku itu. "Begini, ayah juga sebelumnya suda

lebih indah bersama tabrakan ombak pada tebing-tebing di pinggir kanan dan kiri pantai, ditambah volumenya yang kencang membuah helai pakaian terhempas kemana arah angin itu. Ada yan

ng Korea dengan ramuan tradisionalnya, tanpa sadar ia telah selesai merapikan gaunnya dan melihatku kembali, aku buang pandanganku dengan kasar beserta wajah menunjukkan rasa malu. Ia menertawaiku dan aku langsung ambil tindakan "Jadi ini teman ayah itu yaa? Terlihat seperti ayah, orang hebat" gerakan tanganku menjabat tangannya lebih dulu untuk mengalihkan perhatiannya, tanpa disangka gadis itu menjulurkan tangannya kepadaku "Aku Rina, senang melihatmu secara dekat" dengan senyum beserta mata tertutup juga kepala sedikit dimiringkan, aku mematung sekitar 3 detik semenjak Rina usai bicara, "Aku Vero, senang juga memandangmu, maksudku nice to meet you" kujabat dan segera kulepaskan. Bodoh! Harusnya aku lebih lama menjabat tangan halus nan lembutnya itu, gumamku kesal atas tindakanku yang mungkin membuat gadis itu kecewa atas sesi perkenalannya denga

gangi pipi memarku itu. Tanpa menjawab ia melancarkan pukulannya lagi kearah pipi kananku, dengan sigap aku siap menghindar kebelakang. Namun dia melompat kearahku lalu memukul kepalaku dengan tangan kanannya dari atas sambil melompat, tak ada waktu karena gerakannya cepat hingga aku hanya memilih untuk menangkis pukulannya itu seperti petinju yang menahan serangan, pukulan itu terasa menembus kulit dan berdampak rasa sakit untuk tulang, hingga ia menapakkan kakinya dan inilah kesempatanku. Kulihat tangan kirinya menuju perutku yang memang terlihat kosong tanpa pertahanan, namun gerakanku cukup mudah yaitu menendang kaki kirinya dengan kaki kananku dengan tujuan kakinya melebar dan terjatuh karena kesakitan. Semua harapan dibelokkan dengan kemampuan split-nya, tanpa sadar perutku tiba-tiba sakit karena pukulannya itu tetap dilanjutkan berkat melakukan

bantuan dengan melukiskan senyum di wajah sendunya, aku heran mengapa ia tiba-tiba tersenyum?. Rina tertawa "Bantulah aku bangun, kepalaku sakit karena kamu ambil bantalanku" masih tertawa dan aku pun entah mengapa terhipnotis untuk ikut

bertahan. Untuk salam perpisahan, aku sependapat dengan argumenmu" ternyata Rina sangat menyukai senja, yah aku tidak bisa memaksanya untuk membenci senja "Ohya, mengapa kau tadi tiba-tiba menyerangku hah?" ketusku sambil mengangkat kepala sedikit menatapnya seperti guru menghardik murid yang salah, "Ayahku mengajarkanku bela diri sejak aku masih kecil, jadi aku ingin berlatih denganmu. Namun pupus ketika ternyata kau bukanlah harapanku" mengangkat bahu tandanya ia tak peduli "Jangan kira aku tak belajar, aku sangat ingin. Tetapi TV lebih dulu dan lebih sering mengajarkanku lewat film bertema bela diri. Ayahku sibuk dengan mimpinya, apalagi ibuku" seketika hen

emarilah, nak. Akan kuberitau sedikit info" tanpa melihatku namun menyodorkan sepotong roti berisi selai coklat, baiklah apa lagi ini gerutuku dalam hati karena tak ingin ayahku tersinggung. Aku duduk di karpet itu menerima roti dengan selai yang hanya ada satu-satunya. "Om Yanto ini tinggal di Balikpapan, dan dulu ia adalah teman SMA ayah, setelah lulus ia mulai perantauannya untuk mencari jati diri dan menyelamatkan mimpinya. Ia jauh-jauh datang kesini setelah istrinya kecelakaan. Nah di tas itu" tunjuknya pada tas besar disamping Yanto "Berisi persenjataan lengkap yang akan diwariskan kepada..." "Hei, Mad. Kau yakin

bangga menjadi saksi kami yang mengucapkan kalimat perpisahan, "Baiklah, Yanto. Sampai ketemu lagi, atau bahkan selamat tinggal. Jangan sampai tercekik, jika kau ingin melihat kami bertambah hebat" saling berjabat tangan, be

wajah bahagia telah melepas rindu pada kenangannya. Kami berjalan membelakangi senja yang amat angkuh memberikan sebuah perpisahan, langkah gontai semu seorang ayah dan anak selepas berma

uk melintas, menyebrangi jalan yang tidak begitu ramai. Setelah menyebrang ayahku mengambil telepon genggamnya dengan mrlepaskan tangan yg digunakan untuk menggenggamku, mencari nomor yang seharusnya dihubungi, tapi bukan ambulans ataupun polisi melainkan seseorang yang dikenalnya, Arini, tetanggaku. Ya kusimak percakapan ayahku "Arini, kau dimana? Cepat bantu istriku!" bentak ayahku kepada

n menuju kamar, lorong demi lorong, tangga demi tangga, karena kamar kami di paling atas. Sampai. Ayahku

terpating memandangi sepasang kekasih itu. Aneh. Kulihat tangan ibuku membalas genggaman ayahku, baiklah kuletakkan tas besar ini dan kukunci pintu kamar dan duduk disebelah ibuku yang tertidur pulas dengan wajah pucatnya bersimbah keringat dingin, kugenggang tangan ibuku, tidak merespon seperti respon kepada ayahku. Namun seketika aku mendengar suaranya seketika tangan ibu menggenggam erat tanganku, aneh. Beberapa saat kemudian ayah dan ibu bangun tadi tidur pulasnya dengan keringat bercucur padahal ruangan amat dingin, mereka berpel

ia pantas tidak memikul beban berat. Aku juga membawa bawaan seperti ayahku, hanya saja dosis ranselku lebih ringan dibanding yang ayahku bawa. Pintu kamar telah dikunci ibuku dan kami melangkah melewati lorong-lorong vila dengan santai bak penyanyi dengan asisten dan menejer selepas manggung, ibuku mengenakan gaun biru lengan panjang yang terlihat longgar tanpa menunjukkan lekuk tubuhnya, dengan tudung hitam lengkap dengan ciput hitamnya sepatu tanpa hak, bak ibu-ibu sehabis kasidahan. Ayahku sang menejer mengenakan kemeja coklat dimasukkan ke celana bahanny

nya mengartikan penuh percaya diri mengikuti tur malam sang kapten, "Ayay, kapten!" tak mau kalah aku menjawab san

pun tidak hujan, kota ini selalu saja memiliki suhu rendah di malam harinya, tidak seperti ibukota yang terasa panas meskipun purnama hadir. Ibuku siap untuk tidur dengan merebah

et ketika sampai di wilayah padat penduduk dan gedung bertingkat. Malam pun jadi saksi bahwa kami telah berlibur dengan tenang, meskipun suasana memburuk. Tetap saja ak

Buka APP dan Klaim Bonus Anda

Buka