Konselor Pernikahan
*
ru sama sekali tak ada jeda baginya memangkas waktu, semua justru kian terbelenggu. Ia ingin menjerit sekuat tenaga
koni peran sebagai orang bodoh sekarang. Ia benci keadaan tersebut, ia ingin segera melajukan mobilnya menuju rumah sakit yang dik
alanya juga melongok keluar jendela sekadar memastikan pergerakan mobil di depannya, t
kson terus, pusing saya, Mbak!" omel laki-laki penumpang mobil di sisi kanan K
h sakit! Gimana perasaan Bapak kalau jadi saya." Rupanya Karenina
kan sama aja mengganggu ketenangan orang lain." Si peng
cuma kalian berdua yang protes sama saya." Rasa cemas
gigi memberi saran yang cukup efektif, sebab tanpa menunggu lebih lama Karenina memutuskan keluar dari mobilnya tanpa peduli apa yang terjad
i tergopoh-gopoh menemui rumah sakit meski jaraknya masih cukup jauh. Sial memang tak pernah memilah te
a terbayang tentang Denial, tangannya sesekali mengusap peluh ya
meremas perutnya, napas terengah-engah, tapi ia belum ingin berhenti sekarang. Tanpa aba-aba air matanya terjatuh me
ng kenapa dan ada apa, tapi Karenina enggan menjawabnya, ia hanya menggeleng seraya terus menangis. Aura se
r jika hanya diam saja dan menangis, Karenina menguatkan jiwa raganya untuk bangkit lagi, ia melangkah
dekat. Begitu menyebrang jalan dan tiba di rumah sakit yang ia tuju, Karenina bergegas menghampiri r
bantu, Mbak?" tanya
nial Nuraga di mana, ya?" Kareni
mputer di depannya yang berisi tabel
aru kecelakaan tadi,
mputer. "Maaf, Mbak. Tapi, di komputer saya
suami saya ada di rumah sakit ini, cob
asilnya tetap sama. "Maaf, Mbak. Tetap nggak ada
gak aktif sih nomornya." Ia berdecak kesal, tanpa mengatakan apa-apa lagi Karenina memutar tubuh menyusuri lorong rumah sakit begitu saja,
juga tak aktif padahal tadi ia yang sudah menghubungi kakak iparnya. Karenina berhenti di lorong, suara troli terdengar di belakangnya, ia merasa degup jantungnya bertalu-t
yang terbaring tak sadarkan diri di sana, sayangnya bukan Denial. Sepercik kelegaan membasuh
an itu kembali membuka ponsel, ia mencoba menghubungi nomor selain Elita. Ada nomor Anne, Zian serta
k memasuki area rumah sakit sebab rasa takut terus merembet di tubuhnya. Kini Karenina bersimp
sien menghampiri Karenina, ia berlutut di depan perempuan itu. "Ya ampun, Mbak. Keluarganya ada yang di rumah sakit
yang sembap, ia sesenggukan seraya mengusap air m
*
k menemukan Denial di sana. Cukup lama Karenina merenung ditemani wanita gemuk yang sempat memeluknya, ia hanya diam tatkala wanita tersebut memberikan banyak wejangan agar Karenina terus bersabar jika anggota keluarga
kah gontai menyusuri trotoar dengan tatapan kosong, sang jiwa seolah pergi meninggalkan raganya. Lambat l
ah mengambil mobilnya yang sempat ditinggal di jalan akibat kemacetan sore tadi, entah harus bagaimana selanjutnya, Karenina tak memilik
a tempat sampai di area trotoar. Jarak menuju mobil jelas semakin jauh, jika awalnya Karenina mar
kan mobil sore tadi, tapi sudah tak ada apa pun di sana-mobilnya, lalu-lalang kendaraan terli
u." Karenina masuk, terlihat sebuah etalase di permukaan meja berisikan banyaknya piring lau
ek berisi dengan rambut sedikit beruban, apron lusuh membalut bagian
k keluar-pada tempat terakhir kali ia meninggalkan mobilnya. "Saya kejebak macet, tapi saya lagi bu
anya itu mobil siapa, tapi memang nggak ada yang tahu, katanya mengganggu lalu-l
s di lantai, masalah tentang keberadaan Denial belum kelar, sekar
*