"Aduuh, gatal banget, aaaaahhhh!" suara wanita itu tiba-tiba pecah dari teras rumah. Dia dengan cemas mengelus-elus bagian kewanitaannya, wajahnya berkerut karena tak nyaman.
Di jalan komplek perumahan, dentingan lonceng kecil menggema, "Dung dung dung! Es dung dung!" seru Dul, pemuda berkaus putih yang membawa nampan es balok di atas kepala. Tubuhnya tinggi dan atletis, posturnya tegas saat melangkah, membuat siapa pun yang melihat dari belakang pasti menganggapnya cukup maco.
Namun di balik wajahnya yang tampan, Dul punya selera humor yang kerap melontarkan guyonan saat berjualan. "Tampan, beli esnya dong!" suara menggoda dari arah teras memanggil.
Tasya berdiri dengan tangan di pinggul, senyum tipis menghiasi wajahnya yang matang. Di usianya yang sudah 35 tahun, dia masih menyandang status single parent. Bukan karena penampilannya yang biasa-biasa saja, tapi lebih karena hatinya yang belum sepenuhnya luluh pada pria manapun, meski ia terus berharap menemukan yang tepat. Tasya, dengan aura tegas seorang supervisor kosmetik di kota, selalu tahu cara bermain kata saat menggoda Dul.
Tasya duduk santai, wajah mungilnya yang bersih memantulkan cahaya mentari sore. Kulitnya yang putih seperti porselen, dipadu dengan tubuh aduhai yang bikin siapa pun sulit menoleh tanpa sengaja.
Dadanya yang indah, terasa pas dan proporsional, seolah jadi rahasia kecil yang membuat orang penasaran.
"Makasih, Mba. Mba Tasya baru tiba, ya?" suara Dul terdengar bersemangat sambil mengemasi dagangannya.
"Iya, Dul. Mba ambil cuti dua hari, sekalian lepas rindu sama kamu!" Tasya membalas dengan senyum paling manis yang bisa ia berikan, bibirnya membentuk lengkungan sempurna. Hehe, kamu makin cantik kalau lagi ngegombal, ya,"
Dul menyela, mencoba menahan senyum sambil melempar es ke keranjang. "Eh, Mba mau beli es satu nggak?" Tasya menatap Dul, tidak ingin si penjual pergi begitu saja. Ia menepuk dagunya dan mengerutkan alis, berusaha merancang cara supaya bisa bertahan lebih lama.
"Kira-kira, masih sisa berapa porsi, Dul?" tanyanya dengan suara lembut. "Kurang lebih dua puluh, Mba," jawab Dul sambil menghitung es di kotak pendingin. Tasya tersenyum penuh arti, lalu berkata, "Kalau begitu, aku borong semuanya, tapi kamu temani aku makan, ya!"
Ia menatap Dul sambil memainkan alis, penuh godaan. Dul tertawa kecil, lalu mengangkat bahu santai. "Siapa, sih, yang bisa nolak permintaan wanita secantik Mba Tasya?" ujarnya tulus, menghapus lelah seharian dengan senyuman itu.
Dul sudah pernah merasakan manisnya bibir Tasya, kenangan itu membuat kedekatan mereka terasa hangat, hampir seperti rahasia yang mereka bagi bersama.
Saat Dul mulai merapikan posri pesanan dari Tasya, tiba-tiba Tasya menatapnya dengan senyum menggoda. "Kamu nggak kangen sama aku, Dul?" godanya, matanya berbinar.
Dul cuma mengangkat bahu santai. "Nggak, Mba. Cuma kangen aja!" jawabnya sambil menyembunyikan senyum kecil. Tiba-tiba, tangan Tasya mencubit perut Dul dengan cekatan. "Nyiuutt...!"
Dul terkejut, es yang tadi dia pegang itu langsung meluncur dan mendarat tepat di dada Tasya. "Aduh, dingin, Dul!" teriak Tasya, sambil menarik nafas panjang.
Dul merengut, membela diri. "Siapa suruh cubitin aku, Mba? Lagian, kok kamu cuma pakai singlet gitu?" Tasya cuma melempar pandangan sambil tersipu. "Dul, aku mau bersihin badan dulu. Kalau udah selesai langsung masuk, ya!"
Dia lalu berlari kecil ke dalam rumah. Dul mengerutkan kening, tak bisa menahan senyum saat matanya tertuju pada lekuk pinggul Tasya yang bergoyang pelan. "Wih, semok banget bokongmu, Mba..." batinnya.
Dia kembali fokus pada pesanan, tapi pikirannya sudah melayang ke tubuh Tasya, berharap kenangan manis bulan lalu akan terulang lagi.
Tak lama kemudian, Tasya melangkah keluar membawa talenan untuk wadah es Dul. Begitu muncul di pintu, Dul spontan melotot, matanya membesar seolah nyaris melompat keluar saat melihat Tasya hanya membalut tubuhnya dengan handuk mandi tipis.
"Cepetan, Dul! Nanti tetangga pada julid liatin kita," bisik Tasya sambil melempar senyum nakal.
"I-iya, Mba," jawab Dul terbata, napasnya tercekat, tangan gemetar sedikit.
/0/28771/coverorgin.jpg?v=dd87c90c4cacbdda0b632c3dadf540b3&imageMogr2/format/webp)
/0/4354/coverorgin.jpg?v=ecb7c02caea887179aa0ed024447d116&imageMogr2/format/webp)
/0/4760/coverorgin.jpg?v=5b5d159c31f41b5b4c23c4a193c5afd1&imageMogr2/format/webp)
/0/22397/coverorgin.jpg?v=f499664c12913d8df592fd3731f46cc0&imageMogr2/format/webp)
/0/26240/coverorgin.jpg?v=662fe648190aa082e7081b5f60cf8b56&imageMogr2/format/webp)
/0/10813/coverorgin.jpg?v=748f1fe0beef96412cd6727bbe66147d&imageMogr2/format/webp)
/0/13864/coverorgin.jpg?v=65cd4992d93acf0e7fb3ae0dc0f9d9fa&imageMogr2/format/webp)
/0/14040/coverorgin.jpg?v=e2468d2e6fe1987cb823e8cf9614f31e&imageMogr2/format/webp)
/0/14152/coverorgin.jpg?v=efdc21e45b5252f06d5cabf6bc2cffcf&imageMogr2/format/webp)
/0/2453/coverorgin.jpg?v=96c7673aae26a3b99eca8d7df29c9aad&imageMogr2/format/webp)
/0/6529/coverorgin.jpg?v=cddeb0bc243bcef36794eb78d95cc4dd&imageMogr2/format/webp)
/0/22203/coverorgin.jpg?v=aa5c4d394e5c161d72f1fae229d0327c&imageMogr2/format/webp)
/0/24649/coverorgin.jpg?v=4dc5c1c9bfbbc7c81ce4b79fb2018b63&imageMogr2/format/webp)
/0/28795/coverorgin.jpg?v=bc9886bdf6a06f6c3f6f1537fdcf11fe&imageMogr2/format/webp)
/0/16375/coverorgin.jpg?v=e56af4b1eb7de8d02d28ff39bff2e150&imageMogr2/format/webp)
/0/2425/coverorgin.jpg?v=692f6c24132a2e345656fb9a67c6bb44&imageMogr2/format/webp)
/0/23062/coverorgin.jpg?v=b9f066c2b84cc6e0fc7250a2b099abab&imageMogr2/format/webp)
/0/6269/coverorgin.jpg?v=b50fd60d3fb45254a7faa00fc2000c82&imageMogr2/format/webp)