Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Gairah Sang Majikan
"Aku ingin kita putus," kata Starley tenang dan santai.
"Apa? Kau bercanda?" pekik pria berambut brunette yang duduk di sampingnya.
"Apa aku terlihat sedang bercanda?" Starley menghela napas malas. Ia paling benci bagian ini. Namun, ia tahu, ia harus melakukannya. Starley tak ingin membuang waktu bersama pria yang tak lagi ia inginkan.
Pria berwajah tampan nan manis yang berusia tujuh tahun di atas Starley tersebut menoleh pada beberapa kawannya di meja. Para kawannya itu turut tertegun oleh perkataan Starley. Mereka sedang berada di sebuah restoran mewah di tengah Manhattan.
Raut malu tak mampu tertutupi di wajah pria itu. Yang benar saja, ia baru saja diputuskan di depan kawan-kawannya oleh kekasih yang jauh lebih muda darinya, bahkan belum genap satu bulan hubungan mereka berlangsung.
"Aku sudah meminta agar kita berbicara berdua saja, tetapi kau malah memaksaku mengatakan di depan teman-temanmu." Starley mengerutkan wajahnya miris melihat raut tak terima sekaligus malu dari pria itu.
"Mengapa?" Rahang pria itu mengeras di tengah bulu tipis yang membingkai di sana.
"Karena kau tak sepintar yang aku kira," jawab Starley cepat dan mantap yang justru membuat orang di meja itu saling berpandangan dengan mata membulat dan bibir terbuka. Tak terkecuali pria itu yang semakin merasa dipermainkan oleh alasan Starley.
Kening pria tersebut berkerut dalam, sementara sorot matanya semakin tak terima. Alasan macam apa itu? Tentu saja, pria mana yang bisa menerima alasan kepintaran untuk menjadi penyebab putusnya suatu hubungan? Alasan 'kau tak cukup sabar' atau 'aku sudah tak mencintaimu lagi' terdengar lebih masuk akal.
Namun, Starley lebih memilih jujur dengan alasannya sendiri. Baginya, pasangannya harus memenuhi segala kriteria khusus terlebih dahulu, baru sebuah cinta boleh masuk di tengah-tengah itu dan rupanya ia kembali salah menilai pria yang menjadi kekasihnya.
"Oke karena kau tak merasa terima. Jawab pertanyaanku dengan cepat."
Starley menegakkan tubuhnya yang berbalut midi dress off shoulder dan menyibak rambut chesnut bergelombang dengan panjang setengah punggung itu ke belakang pundak. Ia menyilangkan tangan di depan dada. "X, 11, 9, 14, 7, 18, 5, Y. Angka berapa yang harusnya ada di bagian X dan Y?"
"What the hell is that?" bentak pria itu. Setelah wanita itu memutuskan ia di depan kawan-kawannya sekarang justru memberinya soal matematika?
"See? Kau bahkan tak bisa menjawab pertanyaan sederhana itu. X 8 dan Y 22. Jadi ...." Starley mengangkat kedua bahunya dan tersenyum paksa. "Terima kasih untuk makan malamnya." Ia segera bergegas meninggalkan meja, sebelum drama lain bermunculan dari sosok pria yang marah karena diputuskan.
Dari kejauhan di depan pintu restoran sudah berdiri seorang pria tampan berwajah Asia Timur dengan setelan jas hitam rapi yang tengah menunggu Starley. Pria itu berperawakan tinggi tegap bak pemain utama serial drama Korea. Ia membungkukkan badan dengan hormat ketika Starley sudah berada tepat di depannya. Starley menyodorkan coat merah dengan manja bersama bibirnya yang cemberut.
Bodyguard Starley tersebut menahan bibirnya untuk tak tersenyum geli. Ia merentangkan coat itu dan membantu sang majikan mengenakannya.
"Don't say anything, Minjun!" dengkus Starley melihat bodyguard keturunan Korea Selatan itu. Wajah tampan nan bersih itu mendadak menyebalkan di mata Starley.
Bodyguard yang setia menemaninya tersebut sudah sangat hafal bagaimana wajah majikannya jika baru saja putus dengan kekasihnya. Bukan wajah sedih, tetapi malas bercampur kesal yang sesungguhnya ditujukan pada diri Starley sendiri.
Minjun membukakan pintu belakang sebuah mobil mewah berwarna hitam putih untuk sang majikan. Mobil itu segera membelah jalanan malam Manhattan, bergabung dengan kendaraan lain yang tak pernah sepi mengisi aspal dan suara keramaian dari sirine ambulan, mobil NYPD serta klakson mobil yang saling bersahut.
Minjun melirik sang majikan dari spion tengah yang saat ini sedang melipat tangan di depan dada. Pandangan wanita itu kosong ke sisi jalan yang dipenuhi oleh papan reklame menjulang dari acara TV dan produk. Minjun berdeham sesaat.
"Mungkin Anda butuh istirahat sejenak, Miss," usul Minjun dengan aksen Korea Selatannya yang masih tersisa.
Interaksi Starley dengan Minjun memang tak sekaku majikan dan bodyguard pada umumnya. Sehingga Minjun tak terlalu segan untuk memberikan saran di tengah pria itu yang masih selalu menjaga sopan santun dan rasa hormat pada sang majikan cantik dan manja-nya tersebut.
"Aku tak bisa sendirian!" jawab Starley sedikit membentak kesal tanpa menoleh. Tahu maksud kata 'istirahat' dari sang bodyguard yang ditujukan agar ia berhenti sejenak dalam menjalin hubungan dengan para pria.
Menjadi single adalah sebuah bencana bagi Starley. Ia perlu menyibukkan isi hati dan pikiran dari sosok pria yang tak sepatutnya ada dalam hatinya.
Starley menarik napas dalam. Mengatur sandaran kursinya untuk lebih rendah dan menaikkan penyangga betis. Starley akhirnya memilih menyembunyikan lingkaran hazel-nya dengan kelopak mata.