Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Sang Pemuas
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Ayah... ibu... maafkan.. aku, tidak! Aku tidak ingin mati!! Siapa saja tolong aku! Tuhan... aku, ingin tetap hidup..'
Dengan pandangan yang mulai buram serta kesaradan yang mulai menghilang, Niel hanya mampu mengingat hal terakhir yang paling membuatnya bahagia. Ia terus berucap jika dirinya tidak ingin mati, bayangan ayah, ibu dan saudara-saudarinya terlintas. Begitu pula teman-teman yang telah lama menemaninya, namun ia juga tak bisa menentang takdir.
Niel Astankova, seorang siswa Sma yang sedikit tomboy itu meninggal di usia sangat muda akibat bukan ulahnya sendiri, harus berusaha mengubah hal-hal yang akan menentukan dirinya bisa di selamatkan dan kembali ke kehidupannya sebelum kematian atau tidak. Harus merasakan berbagai cara kematian yang beragam dari yang benar-benar menyedihkan hingga tidak bisa terlintas di pikiran saking konyolnya. Belum lagi berbagai misi yang harus ia selesaikan untuk mengisi sebuah tabung yang memerlukan nilai-nilai yang akan ia kumpulkan nantinya guna kembali ke kehidupannya yang tenang. Mampukah Niel melakukan misi yang harus ia jalani nantinya?
'Tidak adakah kematian yang lebih menyedihkan daripada ini?!'
***
Senin siang, pukul 15.00
Suara kendaraan berlalu-lalang di sebuah jalan metropolitan penghubung antar kota, juga merupakan sebuah kawasan elite di mana letak sekolah Libri Stary di bangun.
Para siswa tingkat akhir terlihat telah meninggalkan gedung sekolah, entah yang pulang dengan sepeds atau hanya berjalan kaki semata. Kota G memang masyarakatnya lebih banyak menggunakan sepeda dan juga angkutan umum di bandingkan mobil pribadi ataupun motor, itulah sebabnya tempat ini menjadi sebuah kota yang asri dan bebas dari polusi udara berlebih.
"Hoshh.. hoshh! Niel! Tunggu!!"
Seorang remaja dengan masih mengenakan seragam khas dari sekolah Libri Stary atau yang biasa di singkat dengan Libstar itu terlihat berlari dengan nafas yang tersengal, dadanya naik turun berusaha menetralkan nafas yang berlomba-lomba untuk mengisi paru-parunya. Sedangkan sang empu nama hanya berjalan santai sambil menikmati makanannya yang ada di tangan.
"Cepatlah Ab, atau kau akan ku tinggal." Gumam Niel yang tak menghiraukan jalanan dan masih mengunyah makanannya.
"Jalanmu terlalu cepat! Sudah ku bilang untuk menungguku.. hoshh… di depan pagar bukan," ucap pemuda yang di panggil Ab tersebut dengan nafas yang tersengal.
'Grepp!'
Sebuah tangan meraih pergelangan tangannya yang ia masukan kedalam saku jaketnya, perempuan yang baru saja menghadiri upacara penerimaan siswa baru itu mengernyitkan dahinya. Seragam putih dengan rok di atas paha berwarna abu-abu itu begitu kontras dengan cara jalannya yang tak jauh berbeda dari preman pasar yang biasa meminta setoran kepada para pedagang. Wajahnya tertekuk tanda tak suka tepat di atas jebra cross, Abraham berhasil meraih lengannya dan menghentikan langkah sang teman kecil dan berbalik mendengarkannya. Tak perduli jika mereka tengah berada tepat di atas zebra cross yang begitu rawan akan bahaya.
"Kau ini, bla bla bla bla..."
Niel hanya bisa menjilati jemarinya tanpa mendengarkan ocehan pemuda pirang tersebut, ia memilih untuk menatap sekitar.
Tak jauh dari tempat di mana mereka bertengkar, sebuah lampu lalu lintas khusus pejalan kaki mulai berubah warna menjadi kuning lalu beransur memerah. Niel dan Abraham masih berada di sana sebelum dari arah kanan tepat membelakangi Abraham, sebuah mobil kontrainer melintas dengan kecepatan penuh berulang kali membunyikan klakson mobilnya. Namun kedua anak itu tidak juga menyingkir dari tempat itu, keadaan sekitar yang mulai sepi juga mendukung calon pelaku untuk menjadi pelaku tabrak lari.
Tapi berbeda dengan Niel,
“Kau harus ingat nanti jika pulang untuk,-”
‘brukk!!’
Sebuah tangan mendorong tubuh sang pemuda menjauh, membuat tubuh pemilik surai pirang tersebut menghantam pembatas jalanan dan sukses pantatnya mencium jejeran rapi batu bata yang mengisi jalanan tersebut.
“Niel!! Kau ini, di saat seperti ini masih sempat-sempat… nya, bercanda..”
Suaranya terhenti di tenggorokan, matanya sukses membola dengan apa yang ada di hadapannya kini. Begitu cepat hingga otaknya tak mampu mengolah kejadian yang ia lihat di depan matanya sendiri, bahkan posisinya belumlah berpindah dari ubin jalanan.