Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Halo ruang Melati, ini dari UGD, ada inpartu (wanita hamil yang terdapat tanda persalinan seperti perut kencang dan keluar darah), siapkan kamar ya," Terdengar suara dari seberang telepon saat aku sedang dinas siang.
"Siap dokter, pasien minta ruang berapa ?" tanyaku.
Terdengar jeda sebentar.
"Ruang VIP, siapkan segera, setelah ini pasien langsung saya kirim kesana," dari suaranya sepertinya yang sedang telepon adalah dokter Andi.
"Iya dokter, " kataku sambil menutup telepon.
"Nur, tolong siapkan ruang kamar di VIP ya, ada inpartu, aku mau nyiapin partus set (alat untuk menolong persalinan) di VK (kamar bersalin) dulu, " pintaku pada Nur, teman yang satu shift denganku.
"Oke mbak," kata Nur langsung melesat ke ruang VIP.
Aku beranjak ke VK dan mulai menata alat dan obat ke meja di dekat bed pasien.
Ruangan bersalin di tempat ku bekerja disebut ruang Melati. Terdiri dari ruang Nifas dan kamar bersalin yang sering disebut kamar tindakan.
Tidak lama kemudian terdengar suara brangkard (kereta pasien) berjalan di lorong ruangan.
"Yooo, bidane endi iki?" terdengar suara mas Reza, perawat UGD.
"Nang kene mas, langsung masuk kamar tindakan ya, langsung mau kuperiksa,!" Seruku melambaikan tangan dari kamar tindakan.
"Yoi Del, " mas Reza pun mendorong brangkard masuk ke dalam kamar tindakan diikuti oleh keluarga pasien.
Tiba-tiba dadaku berdegup kencang. Keras sekali. Sehingga aku khawatir akan terkena serangan jantung.
Di belakang mas Reza ada ibu pasien. Bukan. Bukan itu yang bikin aku dag dig dug. Tapi di belakang ibu pasien tersebut ada seraut wajah yang dulu pernah terjiplak di hati. Wajah mantan yang 5 tahun pernah ngapel ke rumah saat malam minggu. Dulu.
Aku segera menundukkan wajah, pingin memakai masker, tapi stok masker ada di ruang perawat. Duh, Gusti kenapa malah ketemu borokokok di sini, gumamku.
Aku langsung menundukkan wajah. Berharap dia tidak melihatku. Tapi terlambat. Matanya pun sama mendelik saat melihatku.
Saat mas Reza sampai di kamar tindakan, mas Reza mendorong brangkard UGD sampai menempel ke bed pasien.
Aku melihat wajah pasien sekilas. "Eh, syantik dan cetar ulala ternyata, pantas dulu dia bisa berpaling dariku." Batinku.
"Ayo ibu, coba miring dulu ke kiri, lalu duduk ya, setelah itu duduk dan geser ke bed periksa," instruksiku.
"Hhhsssss,,hhhsssss,," pasien mendesis terus menerus mungkin memang pembukaanya sudah banyak.
Kulihat dari ekor mata, si mantan terus mengawasiku.
"Asem, aku profesional Cak, nggak akan terjadi apa-apa sama istrimu !" batinku lagi.
Si pasien melakukan apa yang kusuruh.
Mas Reza menyerahkan berkas anamnesa(tanya jawab) data pasien padaku.
"Sudah telepon dokter Wildan ya, seperti biasa, kalau normal ditolong bidan, tinggal lapor hasil VT (periksa dalam) pada beliau." Instruksi mas Reza.
"Yasudah aku balik ke ruang UGD dulu." pamitnya lalu mendorong brangkard pasien keluar kamar tindakan.
Aku membuka berkas anamnesa pasien tersebut, kemudian duduk di kursi perawat.
Nama pasien Ny. Rania, alamat rumah di perumah Bumi Indah Regency. "Uwoow, horang kayah inih, " batinku.
Tiba-tiba sang mantan mendekatiku.
"Del, Adelia, " panggilnya.
"Ya bapak, silahkan duduk dulu, saya mau konfirmasi keluhan pasien," jawabku sambil tersenyum meski aku ingin menimpuk kepalanya pakai korentang (besi panjang berbentuk capit, biasanya untuk mengambil alat yang sudah steril).
Dengan gugup dia duduk di depanku. "Jadi ini kehamilan pertama ya, mulai keluar lendir darah seminggu lalu, kemudian periksa ke dokter Wildan masih bukaan 1 terus pulang, dan sekarang kenceng-kenceng terus menerus ?" aku bertanya sambil menatap matanya.
"Ah, jadi teringat saat kamu selingkuh, Mas, mana aku masih belum nikah , bisa-bisa dianggap gak move on nih," batinku.
"Iya bener mbak," jawabnya grogi. Meremas tangan di atas meja.
"Kalau begitu saya periksa dulu ya, istrinya," kataku sambil berdiri.
Aku berlalu dari meja perawat dan mendekati pasien.