/0/30174/coverorgin.jpg?v=3fce10af200491cc19356ae3f7a2b9fa&imageMogr2/format/webp)
Malam itu, di kediaman keluarga Valencia yang megah, udara terasa tebal, bukan karena panasnya Jakarta, tapi karena beban ekspektasi. Jenderal Wirya Atmaja, si empunya nama, sedang mengadakan jamuan besar-besaran, menyambut para kolega militer dan investor kelas kakap. Musik klasik mengalun pelan, beradu dengan gemerlap kristal yang tergantung di langit-langit setinggi sepuluh meter.
Di sudut ruangan, Aurora Valencia, dalam gaun cocktail hitam yang sederhana-pilihan termurah yang bisa dia temukan tanpa melanggar dress code-berusaha keras menjadi tak terlihat.
Percuma. Tubuhnya jangkung, kulitnya putih bersih, dan matanya yang besar selalu menarik perhatian. Tapi bukan itu yang Aurora takuti. Yang dia takuti adalah mata sinis yang mengawasinya, mengira dia sedang mencoba 'menggoda' tamu penting Jenderal.
Mata itu milik Sabrina, saudari tiri yang usianya hanya berbeda setahun.
Sabrina berdiri di tengah ruangan, dikelilingi sekumpulan sosialita yang tertawa genit pada setiap lelucon murahan yang dia lontarkan. Sabrina mengenakan gaun merah menyala, mahal, dan jelas-jelas sengaja menyaingi semua orang. Dia memang selalu begitu: ingin menjadi matahari, sementara semua orang lain harus menjadi bayangan.
Aurora hanya ingin malam cepat berlalu. Dia sudah cukup kenyang dengan tatapan Jenderal Wirya yang dingin, seolah kehadiran Aurora di pesta itu hanyalah noda yang tak sengaja tumpah di karpet mahal. Setelah Jenderal menikah lagi dengan Mama Karina, hidup Aurora berubah dari putri tunggal kesayangan menjadi beban yang harus ditanggung.
"Kenapa sendirian di sini?"
Suara itu datang dari samping, lembut dan terlalu manis untuk dipercaya. Aurora menoleh dan melihat Sabrina berdiri di sebelahnya, senyumnya secerah berlian palsu.
"Aku lagi istirahat, Sab," jawab Aurora datar.
"Istirahat? Ayolah, Ra. Ini pesta. Semua mata tertuju pada kita. Sebagai anak Jenderal, kita harus tampil ramah," kata Sabrina sambil meraih gelas champagne yang Aurora pegang. "Kamu perlu minum yang lebih kuat dari air soda ini. Santai sedikit."
Aurora mengernyit. "Aku nggak minum alkohol, kamu tahu itu."
"Astaga, Ra. Sudah enam tahun, kamu masih konservatif begini? Come on. Jangan malu-maluin aku. Minum ini," desak Sabrina, kali ini menyodorkan gelas baru berisi cairan kuning keemasan yang terlihat seperti cocktail mahal. "Ini cuma jus buah dengan sedikit sparkling water. Biar wajahmu nggak pucat kayak hantu."
Ada sesuatu yang terasa salah. Tapi tatapan Sabrina kali ini, entah kenapa, tampak tulus. Tulus dalam artian, dia benar-benar ingin Aurora minum.
"Ambil, Ra. Demi Ayah," bisik Sabrina, menggunakan kartu AS.
Mendengar nama Ayah, pertahanan Aurora runtuh. Dia tahu ayahnya benci melihatnya murung. Dia menarik napas panjang. "Oke. Sedikit saja."
Aurora menyambut gelas itu dan menyesapnya. Rasa manis buah yang kuat langsung menyerbu lidahnya, tapi disusul dengan sensasi hangat yang aneh, berbeda dari alkohol biasa. Rasa hangat itu tidak terbakar, tapi justru menenangkan... dan membuat kepalanya sedikit pusing.
"Nah, begitu dong," senyum Sabrina lebar, lalu berbalik pergi untuk menyambut dua orang petinggi militer, meninggalkan Aurora sendiri di sudut.
Aurora menghabiskan isinya dalam dua tegukan. Dia merasa lebih baik, lebih ringan. Tapi sensasi ringan itu dengan cepat berubah menjadi sensasi berat. Jantungnya mulai berdebar kencang, dan suhu tubuhnya terasa melonjak.
Kenapa panas banget di sini? pikirnya sambil menarik-narik kerah gaunnya.
Pandangannya mulai kabur. Lampu kristal di atasnya tampak berputar, seperti kincir angin raksasa yang kehilangan kendali. Suara orang-orang berdengung, seperti kawanan lebah yang terbang di kejauhan. Kaki Aurora terasa seperti jeli, tidak mampu menopang berat badannya.
Dia menyandarkan tubuhnya ke dinding marmer dingin, berharap hawa dingin itu bisa meredakan panas di dalam dirinya.
Seketika, sebuah tangan mendarat di pinggangnya, membantu menahan tubuh Aurora agar tidak merosot.
"Ra? Kamu kenapa? Kamu pucat sekali," suara Sabrina terdengar panik, tetapi ada nada puas yang tersembunyi di baliknya.
"Pusing, Sab. Aku... nggak enak badan," ucap Aurora terbata, berusaha fokus pada wajah Sabrina yang sekarang tampak ganda.
"Astaga, ya sudah. Jangan di sini. Nanti Ayah lihat, dia pasti marah. Kita ke kamar kamu saja, biar kamu bisa tidur. Ayo, aku bantu."
Sabrina memapah Aurora, seolah dia adalah penyelamat yang penuh kasih sayang. Mereka berjalan perlahan, melewati lorong mewah yang dipenuhi lukisan-lukisan Eropa klasik. Setiap langkah terasa seperti memimpin Aurora ke dasar jurang.
Obat bius yang dicampurkan Sabrina bekerja terlalu cepat dan terlalu efektif. Aurora tidak bisa berpikir jernih. Satu-satunya naluri yang tersisa adalah mengikuti siapa pun yang memegangnya.
"Tunggu, Sab... ini bukan kamarku," Aurora bergumam samar, saat Sabrina berhenti di depan pintu kayu jati yang diukir rumit. Kamar Aurora ada di sayap timur, lebih dekat ke tangga pelayan. Kamar ini-kamar tamu VIP, terletak di area eksklusif yang hanya bisa diakses tamu-tamu kehormatan Jenderal Wirya.
"Ssttt... kamarmu bising, Ra. Aku mau kamu istirahat yang tenang. Kamar ini kosong. Ayo, masuk," desis Sabrina, mendorong gagang pintu.
Pintu terbuka, memperlihatkan kamar suite yang luas dan didominasi warna gelap-marun, emas, dan navy. Kamar itu dipenuhi aroma parfum pria yang berat, mahal, dan sangat asing.
Aurora sempat memberontak sedikit, otaknya mengirimkan sinyal bahaya terakhir yang mampu menembus kabut obat. "Jangan, Sab... aku mau kamar... sendiri..."
"Diam, Ra!" bentak Sabrina, suaranya kembali ke nada aslinya yang keras dan dingin. Dia mendorong Aurora ke dalam ruangan.
"Tidurlah, Ra. Nikmati malam kamu. Ini semua sudah direncanakan, dan kamu, Aurora, kamu akan menyesal sudah lahir di keluarga ini."
Sabrina tersenyum bengis, senyum yang tak pernah dilihat Aurora. Senyum itu mengandung dendam selama bertahun-tahun, cerminan kebencian yang dipendam ibu tiri dan kini diwariskan ke putrinya.
Sebelum Aurora sempat memproses kata-kata kejam itu, Sabrina sudah meninggalkannya, mengunci pintu dari luar.
Aurora sendirian.
Dia mencoba berteriak, tapi kerongkongannya terasa kering dan suaranya hanya keluar sebagai rintihan lemah. Sensasi panas di tubuhnya kini tidak lagi pusing, melainkan berubah menjadi hasrat yang tak dapat dijelaskan, dorongan primitif yang menghancurkan semua logikanya. Obat itu telah merenggut kendali atas dirinya.
Dia merangkak ke tempat tidur berukuran king size. Tubuhnya jatuh ke atas seprai sutra hitam yang dingin. Sentuhan dingin itu sedikit melegakan, tapi hanya sesaat.
Tiba-tiba, bayangan gelap memasuki kamarnya.
Aurora tak tahu kapan pintu itu terbuka lagi, atau mungkin dia terlalu tenggelam dalam kabut hasrat yang menyiksa. Dia hanya melihat siluet pria jangkung, dengan bahu lebar, bergerak mendekat.
Pria itu adalah tamu terhormat Jenderal Wirya, seorang investor besar yang usianya mungkin awal tiga puluhan. Wajahnya diselimuti bayangan, hanya matanya yang tajam dan gelap yang terlihat. Aurora tidak bisa melihatnya dengan jelas, tapi dia bisa merasakan aura dominan dan berbahaya yang dipancarkan pria itu.
/0/16313/coverorgin.jpg?v=826938fa2d6147a359ff89b8580da6c0&imageMogr2/format/webp)
/0/12737/coverorgin.jpg?v=47c887ad192be9faebf19ea232c9b11d&imageMogr2/format/webp)
/0/8507/coverorgin.jpg?v=47c5cad4298ef62c045d02d9ea6946d5&imageMogr2/format/webp)
/0/16118/coverorgin.jpg?v=61df76f0c80f4df0e0ee298af4a6a102&imageMogr2/format/webp)
/0/23523/coverorgin.jpg?v=d78b52dcff17c3f3d6d6d0a8cea41a47&imageMogr2/format/webp)
/0/4036/coverorgin.jpg?v=473a27fc43596af9b2a65155816e42d9&imageMogr2/format/webp)
/0/24611/coverorgin.jpg?v=ec8a20c274b82dd9df63cf3f627d9889&imageMogr2/format/webp)
/0/2288/coverorgin.jpg?v=3c92150b8a02d7f04ca81aebab497962&imageMogr2/format/webp)
/0/20763/coverorgin.jpg?v=7849c9f6cc683770d43f1a57be2abfea&imageMogr2/format/webp)
/0/25610/coverorgin.jpg?v=be804ca94527adba217aa6371371afd3&imageMogr2/format/webp)
/0/12809/coverorgin.jpg?v=25b95af4d1891e29c4aaf0f0e6f9b5c1&imageMogr2/format/webp)
/0/17222/coverorgin.jpg?v=87a702b244c99a2f2de6053193cd715b&imageMogr2/format/webp)
/0/3546/coverorgin.jpg?v=3be323c4fbaf9aeb863488847af3a7bf&imageMogr2/format/webp)
/0/9513/coverorgin.jpg?v=840fcd2bcc005de710496e808b45f4a5&imageMogr2/format/webp)
/0/27986/coverorgin.jpg?v=9eba3a339aec35f2ef31734d7b87a830&imageMogr2/format/webp)
/0/17448/coverorgin.jpg?v=8fd15d26203b63b94a546daad5139c71&imageMogr2/format/webp)
/0/3498/coverorgin.jpg?v=ee870da5b914a97dfdf146daac9c0e56&imageMogr2/format/webp)
/0/10736/coverorgin.jpg?v=b939c426b55d646451be81456d492c69&imageMogr2/format/webp)