/0/21862/coverorgin.jpg?v=a88c5225604ec327987d04c83aae65b5&imageMogr2/format/webp)
Namaku Bowo, usia 35 tahun, dan sudah lebih dari satu tahun aku menjalani hidup sebagai duda. Setelah pernikahanku berakhir, aku mencoba membangun kehidupan yang baru, mengisi hari-hariku dengan kesibukan mengajar di sebuah SMA di Bandung. Tapi, meskipun sibuk, ada kalanya aku merasa sepi. Rumah terasa sunyi, dan di saat-saat tertentu, kesepian itu datang menghantam lebih keras dari biasanya.
Di sekolah, aku mengajar banyak murid, dan di antara mereka ada beberapa yang menarik perhatianku. Sebagai seorang guru, aku tahu batasan yang harus kujaga, tapi kadang, godaan itu terasa begitu dekat. Salah satu murid yang sering membuatku tak tenang adalah Siska. Gadis ini memiliki pesona yang berbeda dari teman-temannya. Dia berusia 17 tahun, tetapi cara bicaranya, caranya berpakaian, dan tatapan matanya yang centil seolah-olah sengaja diarahkan untuk menarik perhatianku.
Setiap kali dia ada di kelas, aku bisa merasakan kehadirannya. Cara dia duduk di bangku paling depan, cara seragamnya sedikit lebih ketat dibandingkan murid lainnya, dan senyum kecil yang sesekali dia lemparkan ke arahku, semuanya terasa seperti godaan yang sulit diabaikan.
Siang itu, saat jam pelajaran hampir selesai, pikiranku mulai terusik lagi. Siska terlihat lebih mencolok dari biasanya, duduk di barisan depan sambil sesekali menatapku dengan tatapan yang sulit kuabaikan. Aku berusaha fokus pada materi yang kuajarkan, tapi pikiranku terus melayang pada hal-hal yang tak seharusnya.
Saat bel istirahat berbunyi, aku memutuskan untuk memanggilnya.
"Siska, nanti setelah istirahat, tolong ke ruang guru ya. Ada yang Bapak ingin bicarakan."
Dia hanya tersenyum tipis, sedikit mengangguk, lalu beranjak keluar dari kelas. Aku tahu apa yang sedang kupikirkan seharusnya tidak terjadi. Aku tahu peran sebagai guru harus tetap dijaga. Namun, kesepian dan perasaan yang tak terkatakan kadang mengambil alih logika.
Di ruang guru, aku menunggu sambil memikirkan apa yang akan kubicarakan dengannya. Aku berusaha mencari alasan yang tepat agar pertemuan ini tidak terlihat mencurigakan. Setelah beberapa menit, akhirnya Siska muncul, mengetuk pintu dan melangkah masuk dengan tatapan yang seolah tahu apa yang sedang terjadi.
"Kamu tahu kenapa Bapak panggil ke sini?" tanyaku, berusaha terdengar tenang meski ada ketegangan dalam suaraku.
Dia hanya tersenyum, lalu duduk di kursi di depanku.
"Apa Bapak merasa ada yang salah dengan saya?" jawabnya, nadanya menggoda, penuh kepercayaan diri.
Aku terdiam sejenak. Situasi ini semakin sulit dikendalikan, dan aku tahu aku harus menjaga jarak.
"Kamu sering terlihat berbeda di kelas. Cara kamu bertingkah, kadang terlalu... mencolok," jawabku, mencoba membingkai permasalahan tanpa terlalu terang-terangan.
Dia mendekat sedikit, menatapku dengan tatapan tajam,"Mencolok? Atau Bapak tertarik?"
Di ruang guru ini, suasana terasa sedikit lebih hangat ketika Siska, muridku yang centil dan ceria, duduk di depanku. Rambutnya yang panjang dan hitam berkilau tergerai, dan senyumnya yang manis selalu bisa membuat hariku lebih cerah. Aku sering kali menjadikannya sebagai contoh murid yang berprestasi, meskipun tingkahnya kadang mengundang perhatian lebih dari sekadar guru dan murid.
Hari itu, setelah menyelesaikan beberapa tugas administratif, aku memutuskan untuk mengajak Siska berbicara,"Siska, bagaimana kalau kamu datang ke rumahku setelah pulang sekolah? Kita bisa belajar bersama, dan aku bisa membantumu dengan beberapa pelajaran yang mungkin belum kamu pahami"
Dia menatapku dengan mata besar yang penuh antusias.
"Serius, Pak? Boleh banget!" jawabnya dengan semangat. Hatiku berdebar mendengar jawabannya. Ada sesuatu yang berbeda saat melihatnya begitu bersemangat.
Setelah sekolah selesai, aku pulang lebih awal dan mempersiapkan segalanya. Aku tidak ingin ini hanya menjadi sesi belajar biasa. Aku ingin menciptakan suasana yang lebih intim, di mana kami bisa lebih dekat. Beberapa snack ringan sudah siap di meja, dan aku berharap Siska suka.
Tak lama setelah aku sampai di rumah, suara ketukan di pintu membuatku terbangun dari lamunan. Ketika membuka pintu, Siska sudah berdiri di sana, mengenakan baju kasual yang menonjolkan sosoknya yang ramping. "Hai, Pak!" sapanya ceria, dan aku merasakan getaran yang berbeda di antara kami.
Aku mengundangnya masuk dan duduk di ruang tamu. Percakapan kami berjalan hangat, dan aku bisa merasakan ketegangan di antara kami semakin meningkat. Siska terlihat nyaman dan percaya diri, sering kali menatapku dengan tatapan yang sedikit menggoda. Aku berusaha fokus pada pelajaran, tetapi pikiranku mulai melayang ke arah yang lebih dalam.
"Jadi, apa yang ingin kamu pelajari hari ini?" tanyaku sambil mencuri pandang ke arah Siska yang sedang memainkan ujung rambutnya.
/0/6559/coverorgin.jpg?v=45d6c5c69d9d87862b83435260019af8&imageMogr2/format/webp)
/0/13622/coverorgin.jpg?v=b950d379be40cde4b342b8b00d1cb02a&imageMogr2/format/webp)
/0/4862/coverorgin.jpg?v=df56744ad021a59f2b8fd13413dbca67&imageMogr2/format/webp)
/0/5504/coverorgin.jpg?v=35ab9f0bd86b36561c076b646f879983&imageMogr2/format/webp)
/0/15547/coverorgin.jpg?v=c919da9d1068f2a65413c2b878183c94&imageMogr2/format/webp)
/0/10518/coverorgin.jpg?v=8ff38c6e7cbca3345dd52772a7e0e1aa&imageMogr2/format/webp)
/0/9782/coverorgin.jpg?v=bdb6c7eb301b0c95aa2dfb1b7472f39b&imageMogr2/format/webp)
/0/2677/coverorgin.jpg?v=96eab8094af9a183be1858b2b7d893d7&imageMogr2/format/webp)
/0/5306/coverorgin.jpg?v=012ca8746a9e37da3052943e031feac2&imageMogr2/format/webp)