Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Ayah punya teman dan katanya anak teman ayah juga sekolah di situ, mau ayah kenalkan?"
"Tidak perlu."
"Agar kamu punya teman, Fin."
"Aku bisa cari sendiri, Yah."
"Kamu bilang apa tadi, coba ulangi," pinta Pak Niko penasaran dan ingin mendengarkan kata terakhir yang disebut Fian.
"Aku bisa cari teman sendiri."
"Bukan yang itu, yang terakhir, Fian."
"Apa?" Fian mengerutkan dahi dan berpikir apa dia salah bicara sampai-sampai ayah meminta mengulangi ucapannya. "Ayah?"
Satu lengkung besar menarik senyum Pak Niko kala mendengar Fian menyebutnya 'Ayah'.
"Cepatlah sedikit, kita bisa telat nanti." Ayah sudah berdiri hendak menaiki motor klasik Honda kalong, sedangkan Fian melangkah tergesa-gesa memasukkan bekal ke tas dan mengambil helm yang sedari tadi berada di tangan ayah.
Pak Niko, laki-laki dewasa yang kini telah resmi menjadi duda dengan 1 anak gadis. Setelah keputusan pengadilan juga dengan hak asuh yang dia emban, kini Pak Niko memilih kembali ke kampung halaman hidup dengan ibu yang semakin menua.
Motor mulai melaju dan membelah ketenangan jalan aspal dengan motor tua milik ayah Fian. Sekitar lima belas menit kedepan mereka akan sedekat ini. Saat di kota biasanya Fian berangkat dengan angkot atau minibus, tapi kali ini menjadi pengalaman baru juga pertama kalinya dia sekolah diantar ayah. Apalagi ini hari pertama masuk sekolah, tentu menjadi momen yang sangat tepat bagi ayah Fian untuk kembali membangun ikatan ayah dan anak untuk sekian lamanya.
Pak Niko sengaja berangkat lebih awal agar bisa lebih lama berdekatan dengan Fian, tentu saja kesempatan untuk mengobrol meski singkat juga perlu.
"Kamu tenang saja, sekolah itu cukup bergaya, kok." Pak Niko sangat tahu betul bagaimana perasaan Fian, setelah lama dibesarkan dengan riuh ramai kota lalu tiba-tiba pindah ke desa. Hal itu pastinya membuat Fian merasa asing, bahkan untuk hidup di desa saja waktu itu Pak Niko sempat ragu Fian bisa beradaptasi. Namun, sejauh ini Fian tidak pernah mengeluh dan dia mengganggap bahwa buah hatinya kini sudah semakin dewasa dan bisa menerima keadaan.
"Hmm."
Hanya mendapat jawaban seperti itu saja Pak Niko merasa senang.
"Fin, apa kamu ingin seorang ibu baru?"
Di tengah-tengah momen yang membahagiakan bagi Pak Niko, seorang wanita menyapanya. "Nik, mampir!" Sembari memegangi sapu lidi, senyum manis mengulas menarik bibir melengkung.
"Baru juga sehari," gumam Fian merasa wanita itu sok dekat sekali dengan ayahnya sampai-sampai meminta untuk mampir. Pakaian daster dengan rambut disanggul jedai, Fian mengamati dengan seksama.
"Kapan-kapan, Ning!"
Fian memalingkan wajah ke arah berlawanan di mana wanita yang dipanggil 'Ning' oleh ayah tadi. Terlihat dari spion motor, Pak Niko pun menjelaskan, "Namanya Nining, dia sahabat ayah dari kecil."
"Ohh," balas Fian seolah tidak peduli. Namun, setelah beberapa lama dia menoleh ke belakang menamatkan kembali wanita bernama Nining tadi, yang benar saja ayah sudah mulai berencana mendatangkan ibu baru untuk Fian. Seorang laki-laki menghampirinya, kemudian dia menyambut tangan itu dan menyalaminya. "Udah punya suami ternyata." Rasa lega mengguyur dada Fian. "Tapi, tua amat ya suaminya?"
"Apa, Fin?"