/0/24873/coverorgin.jpg?v=3bb5d9f52074eb9898689abd6ad7c196&imageMogr2/format/webp)
BRAK!
Dobrakan pintu menggema. Barra muncul dari balik pintu dengan ekspresi datarnya. Perlahan, laki-laki setengah baya itu mendekat ke arah Yoan, putri angkatnya.
Yoan yang baru saja terduduk di atas kursi terjengit kaget. Gadis itu baru selesai mengganti kebaya yang ia pakai saat wisudanya.
Sekitar lima belas menit yang lalu, Yoan pulang dari acara wisuda bersama Barra, papa angkatnya. Namun, apa yang terjadi sekarang? Mengapa Barra tiba-tiba masuk ke dalam kamar dengan aura buruk yang menguar?
“Papa?” Yoan memanggil papanya dengan nada heran. Dia juga menetralkan rasa terkejut yang dirasakannya.
“Yoan, ingatkah sejak umur berapa kamu tinggal bersama Papa dan Mama?” Barra bertanya dengan nada sinis.
“Dulu Mama pernah memberi tahu kalau Papa dan Mama menjemputku di panti asuhan saat aku berusia lima tahun,” jawab Yoan. Nada bicara gadis itu memelan. Raut wajahnya tampak sedikit ketakutan.
Barra berjalan mendekat ke arah sang putri sembari menunjukkan seringai kecil.
“Sekarang kamu sudah lulus kuliah. Sudah cukup banyak biaya yang Papa keluarkan untuk memenuhi kehidupanmu,” ujar Barra.
“I-iya, Pa. Aku tidak akan lupa,” lirih Yoan menjawab. Perlahan gadis itu bangkit, lantas berjalan mundur karena papa angkatnya terus berjalan mendekat dengan aura menakutkan.
“Sudah saatnya kamu harus mengganti semua biaya yang Papa keluarkan untukmu,” ujar Barra.
“A-apa? Aku tidak mengerti ucapan Papa. Bu-bukankah Papa dan Mama mengangkatku sebagai anak? Kenapa aku harus mengganti semua biaya hidup?” tanya Yoan tidak mengerti.
“Yoan, kamu sudah dewasa. Seharusnya kamu memahami jika di dunia ini tidak ada yang benar-benar gratis.” Laki-laki renta itu terkekeh di ujung kalimat.
“Baik, aku mengerti. Setelah ini, aku akan bekerja untuk mendapatkan uang dan memberikan semua gajiku untuk Papa,” jawab Yoan.
“Benarkah? Maka kamu akan membutuhkan waktu sangat lama untuk membayarnya, sedangkan Papa membutuhkan uangnya sekarang.” Barra berkata sambil mengganti-ganti raut wajahnya.
“Bagaimana caraku membayar Papa sekarang? Aku bahkan belum mulai bekerja,” jawab Yoan bingung. Nada suaranya masih melirih sama seperti sebelumnya.
Ada apa dengan Barra sebenarnya? Andai Ayara, mama angkat Yoan masih ada, mungkin Yoan masih bisa mengajaknya diskusi.
“Siapa bilang kamu harus mengganti semua biaya? Kamu tidak perlu bekerja untuk mengganti semua biaya itu, Yoan. Manfaatkanlah tubuh indahmu. Itu sudah lebih dari cukup,” ujar Barra. Pandangannya bergerilya, tergerak mengamati Yoan dari puncak kepala hingga ujung kaki.
Yoan kembali berjalan mundur saat melihat papa angkatnya kembali berjalan mendekat. Lagi-lagi dengan raut wajah menakutkan yang membuat tubuh Yoan bergetar hebat.
Melihat perilaku papanya yang tidak biasa, Yoan mulai melempar semua barang yang ada di dekatnya ke arah Barra. Otak kecilnya mulai berpikir mencari celah untuk keluar dari kamarnya sendiri.
“Anak manis, tidak perlu takut! Papa pasti akan memperlakukanmu dengan baik.” Barra berusaha membujuk Yoan.
“Aku mohon, jangan mendekat, Pa!” pekik Yoan ketakutan.
Namun, Barra masih berusaha mendekati Yoan.
Tubuh wanita itu ketakutan. Yoan berakhir menubruk pintu balkon. Kamarnya di lantai dua. Haruskah dia terjun dari sini? Namun, jika Yoan tetap menurut pada papa angkatnya, dia tidak yakin akan mendapat perlakuan yang benar-benar baik.
“Mau lari ke mana?” Barra bertanya. Laki-laki itu lantas tertawa terbahak-bahak melihat Yoan yang kebingungan. Kali ini Barra yakin Yoan akan menyerah sebab jalannya sudah buntu.
“Aku mohon, jangan lakukan ini, Pa!” pinta Yoan. Pipinya sudah mulai basah karena air mata yang mengalir.
“Gadis kecilku, kemarilah!” Barra berkata sambil menepuk-nepuk tempat tidur anak angkatnya itu.
Untuk sesaat Yoan berharap ini hanyalah candaan Barra semata. Namun, sepertinya Barra tidak berniat untuk membalikkan ucapannya.
Tangan kiri Yoan mengarah ke belakang punggungnya untuk membuka pintu balkon. Yoan lantas buru-buru keluar dan menutup pintu balkon. Gadis itu mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menahan pintu agar papa angkatnya tidak berhasil menangkapnya. Namun sayang, tenaganya tidak cukup kuat untuk menahan.
Tidak ada waktu lagi! Yoan merasa lebih baik mati daripada harus melayani laki-laki yang bertahun-tahun sudah dianggapnya sebagai orang tua kandung.
BRUK!
“Ouch!” pekik Yoan.
Perlahan Yoan membuka matanya. Gadis itu berpikir akan segera menyusul Ayara atau setidaknya dia harus mengorbankan kakinya. Namun, ternyata tidak … Yoan masih baik-baik saja.
/0/6515/coverorgin.jpg?v=0848a5c7b57edd793ac0fef42ebfe61e&imageMogr2/format/webp)
/0/6490/coverorgin.jpg?v=fe5f87a706314f1f7f2f496a089d6ee8&imageMogr2/format/webp)
/0/7014/coverorgin.jpg?v=11d7c970ad840aba50d069dd1cb81e80&imageMogr2/format/webp)
/0/10800/coverorgin.jpg?v=46102e57a65da64192570e5e5b5a8f1b&imageMogr2/format/webp)