/0/26438/coverorgin.jpg?v=a62374ef56376f88395da900a2247285&imageMogr2/format/webp)
Denting gelas anggur yang bersentuhan dengan meja marmer memenuhi ruangan luas itu. Cahaya lampu kristal menggantung di langit-langit tinggi, menerangi wajah-wajah para tamu yang berdansa dan berbincang dengan nada elegan. Bagi siapa pun yang melihat dari luar, pesta di rumah keluarga Moretti malam ini tampak sempurna. Namun, bagi Aurora Sinclair, ini adalah awal dari neraka.
Tangannya mengepal erat di sisi gaun sutra berwarna merah tua yang ia kenakan, tubuhnya kaku, dan matanya yang biasanya dipenuhi cahaya kini tampak kosong. Malam ini seharusnya menjadi malam kebebasannya. Seharusnya, dia sudah berada jauh dari kota ini, memulai hidup baru. Tapi kenyataan berbicara lain.
"Minumlah."
Suara bariton itu membuatnya tersentak. Di hadapannya, seorang pria berdiri dengan sikap angkuh, menyodorkan segelas anggur. Mata obsidian pria itu mengunci tatapannya, penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan-antara rasa memiliki dan ketegasan yang tak bisa diganggu gugat.
Lucian Moretti.
Mafia yang ditakuti seantero kota. Pria yang baru saja menjadi suaminya.
Aurora tidak bergerak. Tenggorokannya terasa kering, bukan karena haus, tapi karena ketakutan yang menyelusup hingga ke sumsum tulangnya. "Aku tidak ingin minum," gumamnya lirih.
Lucian menaikkan alisnya. "Aku tidak suka penolakan."
Suaranya rendah, nyaris terdengar mengancam, tapi ada ketenangan dalam nada itu-sebuah bahaya yang terselubung dalam sikap dinginnya.
Aurora ingin memberontak. Ingin berteriak dan mengatakan bahwa pernikahan ini adalah kesalahan besar. Tapi dia tahu, tidak ada gunanya. Lucian Moretti tidak akan membiarkannya lari, tidak setelah dia menebus utang pamannya dengan harga yang lebih mahal dari sekadar uang-yaitu dirinya.
"Minum, Aurora." Kali ini suaranya lebih dalam, lebih menuntut.
Menghela napas, Aurora akhirnya mengambil gelas itu dan menyesapnya perlahan. Cairan merah pekat itu meninggalkan jejak panas di tenggorokannya, sama seperti perasaan yang kini berkecamuk dalam dadanya.
Lucian menyeringai puas sebelum mengalihkan pandangannya ke arah para tamu. "Malam ini, semua orang di ruangan ini tahu bahwa kau adalah istriku. Mereka tahu bahwa kau milikku."
Aurora menelan ludah. Kata-kata itu terdengar seperti belenggu yang semakin erat menjeratnya.
Tiba-tiba, Lucian mendekat, berbisik tepat di telinganya, "Tapi hanya kita yang tahu kalau pernikahan ini tidak lebih dari sekadar kesepakatan, bukan?"
Darah Aurora membeku. Seketika, amarah menggantikan ketakutannya.
Dia menoleh cepat, menatap Lucian dengan sorot penuh kebencian. "Jadi, kau menginginkan dunia percaya bahwa aku istrimu yang sah, tapi di balik layar, aku hanyalah alat untuk membayar utang?"
Lucian tidak bereaksi. Wajahnya tetap dingin, tapi ada sesuatu dalam matanya yang membuat Aurora semakin muak.
"Ya," jawabnya tanpa ragu. "Tapi bukan berarti aku tidak menginginkanmu, Aurora."
Jantungnya berdetak kencang. Aurora merasa ingin muntah.
Dia ingin membalas, ingin mengatakan bahwa dia akan mencari cara untuk bebas dari pria ini. Tapi sebelum sempat membuka mulut, seseorang menyela mereka.
"Lucian, ada tamu yang ingin bertemu denganmu," ujar seorang pria berjas hitam yang berdiri di belakang mereka.
Lucian mendengus pelan. "Aku akan kembali."
Dan sebelum pergi, dia menyentuhkan bibirnya di pelipis Aurora. Sentuhan itu ringan, tapi cukup untuk membuat tubuh Aurora menegang.
Saat Lucian melangkah pergi, Aurora merasa napasnya kembali, meskipun hanya sedikit. Matanya bergerak liar, mencari celah untuk melarikan diri. Tapi, dia sadar-tidak ada jalan keluar malam ini.
Pernikahan ini telah mengikatnya, dan dia terperangkap dalam jerat sang mafia.
Satu jam berlalu, dan pesta semakin riuh. Aurora memanfaatkan momen ini untuk keluar ke balkon. Udara malam menusuk kulitnya, tapi dia tidak peduli. Dia hanya ingin menjauh dari keramaian, dari sorot mata yang terus menatapnya seolah dia adalah objek menarik di lelang.
"Aku bisa memberimu kebebasan jika kau menginginkannya."
Aurora tersentak. Dia menoleh dan menemukan seorang pria berdiri di ambang pintu balkon. Rambutnya gelap, matanya tajam seperti elang, dan aura misterius menyelimutinya.
"Aku tahu siapa kau," gumamnya. "Kau Adrian Vasquez."
/0/23522/coverorgin.jpg?v=1a8c517a152b11de46caa8283cb8e1b4&imageMogr2/format/webp)
/0/12236/coverorgin.jpg?v=7871fe7a3d64f52a503783eeea777dee&imageMogr2/format/webp)
/0/21524/coverorgin.jpg?v=4f2cf90bf569552cf24c57d1460cb3a4&imageMogr2/format/webp)
/0/22026/coverorgin.jpg?v=e3e26d9813ef6ca13fb80927a589ce83&imageMogr2/format/webp)
/0/3993/coverorgin.jpg?v=600e9952cc3ac9f855c3c0798bb2e3d6&imageMogr2/format/webp)
/0/12233/coverorgin.jpg?v=05f875a58b3e39ee83c9a208b7c0a82f&imageMogr2/format/webp)
/0/20413/coverorgin.jpg?v=ec86fab74cc2046f1ea680264dba5204&imageMogr2/format/webp)
/0/12242/coverorgin.jpg?v=3f4c35df759a421233796731ef9d1aa0&imageMogr2/format/webp)
/0/27411/coverorgin.jpg?v=5fc7b6e8bd1b022fe188a86f0dc6fc5b&imageMogr2/format/webp)
/0/20199/coverorgin.jpg?v=e0c0b20a45916a73035c20ed8e50f00b&imageMogr2/format/webp)
/0/12562/coverorgin.jpg?v=c0ade4e0c940d63800efbd08c63b4f1f&imageMogr2/format/webp)
/0/12751/coverorgin.jpg?v=3d559870144183f4c2c82f394714df9f&imageMogr2/format/webp)
/0/14846/coverorgin.jpg?v=cbac79be890416caac333268017476ca&imageMogr2/format/webp)
/0/14522/coverorgin.jpg?v=02d11d14dbe1cf8041fa5b4bd4cc1800&imageMogr2/format/webp)
/0/21447/coverorgin.jpg?v=2bae48a320ec295bdd25136279d814da&imageMogr2/format/webp)
/0/29109/coverorgin.jpg?v=7f95516994c52b9f66f4b0e3a35af050&imageMogr2/format/webp)
/0/16861/coverorgin.jpg?v=1d79d5c8d1067177e47366859cdb07d3&imageMogr2/format/webp)
/0/17406/coverorgin.jpg?v=ecdbd3b33f2e6747d9b6e81e9516ae3a&imageMogr2/format/webp)
/0/9032/coverorgin.jpg?v=af82c028e05a3d631f95c27baef6fff6&imageMogr2/format/webp)