/0/28057/coverorgin.jpg?v=f3b4efcf5a91765b6e671e1a7eb8bdcb&imageMogr2/format/webp)
Jam menunjukkan pukul 21.47 ketika notifikasi dari aplikasi ojol menyala di layar ponsel Raka. Satu orderan lagi sebelum pulang, pikirnya. Titik jemput di sebuah kompleks les privat mewah di kawasan Kemang. Tujuan: apartemen di Setiabudi.
Ia nyalakan mesin motornya, membetulkan jaket, dan berangkat.
Sesampainya di lokasi, hanya satu orang yang masih berdiri di pinggir trotoar. Seorang perempuan muda, berambut panjang tergerai, memakai celana jeans ketat dan crop top putih yang terlalu pendek untuk ukuran malam. Bahu kirinya telanjang. Lehernya basah oleh keringat, atau mungkin parfum yang terlalu berani disemprotkan di titik-titik strategis.
Dia berdiri sambil memainkan ponselnya, tapi matanya langsung menyapu Raka dari atas ke bawah saat ia mendekat.
"Mas Raka, ya?" katanya sambil tersenyum miring. Suaranya lembut, sedikit berat, seperti malas tapi sengaja.
"Iya. Ara, ya?"
Dia mengangguk, lalu langsung naik ke jok belakang. Tapi dia tidak duduk seperti kebanyakan penumpang. Bukannya menjaga jarak, tubuhnya justru maju, duduk nyaris menempel di punggung Raka. Tangannya memegang pinggang Raka tanpa ragu.
"Dingin, ya..." katanya.
Raka diam. Tapi tubuhnya tidak. Ada getaran aneh yang menjalar dari pinggang ke dada. Parfum Ara - manis, seperti vanila bercampur sesuatu yang lebih tajam - menusuk hidungnya, mengacaukan pikirannya.
"Baru kali ini aku naik ojek malam sendirian. Biasanya sama teman. Tapi malam ini aku pengin sendiri..." bisiknya di dekat telinga Raka.
Tangan Raka mencengkeram setang lebih keras. Ia merasakan napas hangat Ara di belakang telinganya. Celana jeans tipis Ara menempel pada kain kasar jok motor. Suasana malam yang seharusnya dingin malah terasa seperti bara.
Motor mulai melaju perlahan. Jalanan kota sudah mulai sepi, lampu jalan menciptakan siluet berkelip yang melewati tubuh mereka. Ara tak berhenti bergerak. Sesekali ia bergeser - entah karena mencari posisi nyaman, atau sengaja - dan setiap kali tubuhnya bergesek, dada Raka berdegup lebih keras.
"Mas sering dapet orderan dari cewek?" tanya Ara, suaranya seperti sedang bermain-main.
"Lumayan..."
"Yang cantik-cantik?"
Raka tertawa kecil, "Nggak semua."
"Kalau aku, masuk kategori mana?" tanyanya, dengan nada santai tapi jelas memancing.
Raka tak menjawab. Tapi Ara tertawa pelan di belakangnya, puas dengan efek kata-katanya.
Setibanya di lampu merah, motor berhenti. Angin malam meniup rambut Ara ke depan, sebagian menempel di leher Raka. Ara mendekat lagi, dan sekarang dagunya menyentuh bahu Raka.
"Mas, tahu nggak... aku tuh paling suka naik motor malam-malam begini. Apalagi kalau joknya keras begini... rasanya beda."
Raka menoleh sedikit. Ara menatapnya sambil menggigit bibir bawah. Matanya setengah tertutup, seperti mabuk atau bermain dengan imajinasi nakalnya sendiri. Lalu ia menyandarkan kepalanya di punggung Raka, membiarkan dadanya menyentuhnya penuh.
Setelah lampu hijau, mereka melaju lagi. Tapi suasananya sudah berubah. Ketegangan mengisi udara. Setiap sentuhan kecil terasa seperti percikan api. Saat jalan mulai menanjak dan motor bergoyang sedikit, Raka bisa merasakan dada Ara menyapu punggungnya. Tanpa bra. Kain tipis crop top-nya tak mampu menyembunyikan apapun.
Mereka tiba di apartemen. Raka mematikan mesin motor.
"Udah sampai, Mbak..."
Ara turun perlahan, tapi tangannya tetap bertahan di pinggang Raka. Lalu dia menunduk ke depan, berbisik, "Mas... boleh aku simpan nomor kamu?"
Raka berbalik, menatapnya. Ara sudah membuka aplikasi WhatsApp, dengan halaman "add contact" terbuka.
Ia menyerah. "Boleh."
Ara tersenyum manis, lalu mengetik cepat. Ia menatap Raka tanpa berkata-kata. Lalu dengan pelan, sangat pelan, ia menyentuh dada Raka - hanya ujung jari, seperti menggambar sesuatu tak kasat mata - dan berkata:
"Terima kasih udah anterin aku malam ini..."
Raka hanya mengangguk. Tapi dalam kepalanya, tubuhnya masih mengingat tekanan dada Ara, napasnya di leher, dan aroma parfumnya yang melekat di jaketnya.
Ketika Ara masuk ke dalam lobi, Raka menyalakan motor kembali. Tapi ia tak langsung pulang. Ia diam beberapa menit di bawah cahaya lampu jalan, mengatur napas, menenangkan degup jantung, dan mencoba melupakan getaran yang tertinggal di jok belakang.
Sayangnya, parfum vanila itu tak pergi begitu saja.
***
Keesokan malamnya, Raka duduk di kasur tipis kontrakannya. Lampu kamar redup, hanya temaram dari bohlam kuning murahan yang tergantung di langit-langit. Ia menatap layar ponsel yang sejak tadi sunyi, kecuali satu hal: notifikasi WhatsApp dari nomor yang baru kemarin disimpannya.
Ara.
Awalnya pesan singkat:
"Sampai rumah kemarin langsung mandi. Parfumku nempel di kamu ya, Mas?"
Raka hanya membaca. Tidak langsung membalas.
Lima menit kemudian:
"Mas, sendirian?"
/0/24425/coverorgin.jpg?v=5ad03cadca02a9d55f0ca466352ed9e0&imageMogr2/format/webp)
/0/5556/coverorgin.jpg?v=682aee85c55edf6b761b4ed4757ab02a&imageMogr2/format/webp)
/0/7569/coverorgin.jpg?v=bb66f6372061bc3eb633cdfa753c6705&imageMogr2/format/webp)
/0/16662/coverorgin.jpg?v=903a5e277743f6c3708dc73e293d1938&imageMogr2/format/webp)
/0/14523/coverorgin.jpg?v=129a31041e33c9d78477eab5582de025&imageMogr2/format/webp)
/0/21033/coverorgin.jpg?v=0161d1d3e27b4ef5c4bcbcd953ce8e55&imageMogr2/format/webp)
/0/2683/coverorgin.jpg?v=f0fb6ab5fe94a3265a6787f6af96ec4e&imageMogr2/format/webp)
/0/2668/coverorgin.jpg?v=c1701687d0f3dbf427f89dd7bb50d76f&imageMogr2/format/webp)
/0/7194/coverorgin.jpg?v=4ff094347bed047f5498cb232d936bd6&imageMogr2/format/webp)