/0/22562/coverorgin.jpg?v=79ad4da2ee8b4c1948bdf5f78f4c2217&imageMogr2/format/webp)
“Saya memiliki sebuah penawaran untuk kamu. Itupun jika kamu tidak keberatan.” Chai memfokuskan pandangannya kepada pria di hadapannya untuk menyimak kalimat selanjutnya. Penawaran apa yang dimaksud? Perasaan Chai mulai tidak nyaman.
“Begini. Singkatnya, pekerjaan ini normalnya disebut sebagai sugar baby.”
Mata Chai membola. Apa dia tidak salah dengar? Miskin-miskin begini, kolot-kolot begini, Chai juga tahu mengenai istilah-istilah mesum itu. Chai tidak mengerti. Apa yang ada di benak pria di hadapannya, menawarinya pekerjaan yang jelas-jelas ia tahu sangat tidak cocok untuknya?
Chai sadar, ia tidak punya fisik yang semulus itu untuk bisa menjadi seorang sugar baby. Di atas itu semua, Chai masih waras dan tidak akan menggadaikan dirinya hanya untuk melunasi hutang budi tunggakan rumah sakit bapaknya.
“Jadi di sini itu ....”
Kalimat pria itu terpotong oleh dengusan napas Chai yang keras seperti banteng yang tengah mengamuk. Ya, Chai memang marah dan tidak berusaha untuk menyembunyikannya.
“Mungkin saya miskin, dan memang benar begitu. Tapi jangan berpikir jika saya akan menjual diri hanya karena tidak punya uang dan pekerjaan. Saya bukan perempuan seperti itu. Permisi.”
Dan begitulah pertemuan mereka berakhir. Chai berderap meninggalkan tempat itu sembari menahan air matanya yang hendak tumpah ruah. Tidak mengacuhkan seruan pria itu di belakangnya, hanya sibuk menahan kekesalan serta rasa terhina yang melukai batinnya. Ia tidak akan pernah terbiasa, tak peduli berapa kali merasakannya.
Chai menyesal, benar-benar menyesali takdirnya bertemu dengan pria itu. Pria tidak dikenal yang sudah banyak memberi bantuan finansial, namun ironisnya justru melecehkannya seperti ini. Kalau bisa, Chai tidak ingin kenal dengan pria itu sekalian!
Ini semua bermula dari beberapa minggu lalu, pada pertemuan pertama mereka yang dramatis, sekaligus agak tragis.
•••
Sore itu, Chai merasa tidak ingin pulang ke rumahnya sendiri. Gadis itu sudah pamit pada sang ibu, dari siang sebelum berangkat menjaga sang bapak di rumah sakit. Chai bilang pada jika dia akan menjaga sang bapak sampai pagi, tidak usah digantikan oleh adik-adiknya. Chai kasihan pada si kembar yang kebetulan memang tengah memasuki masa-masa UAS. Gadis 21 tahun itu tidak ingin mengganggu waktu belajar adik-adiknya.
Malam hari selepas sang bapak tertidur, Chai memutuskan untuk duduk sendirian di spot favoritnya. Pikirannya kacau akibat sebuah surat administrasi rumah sakit bertuliskan jumlah yang harus segera dibayar sementara Chai benar-benar sudah kehabisan akal. Depresi yang telah ia alami semenjak jaman sekolah, malam itu terasa semakin menjadi-jadi. Orang bilang, setan akan lebih mudah menggoda manusia untuk melakukan hal-hal gila saat manusia tersebut sedang berada dalam titik terendahnya.
Chai berjalan gontai tanpa arah, mulai dikuasai oleh kesedihan dan keputusasaan. Mungkin kalimat bijak tersebut benar adanya. Ketika Chai melihat sebuah pisau cutter serta sampah-sampah bekas buah yang ditinggalkan di atas sebuah meja gazebo, tak jauh dari spot favorit Chai menyendiri. Gadis itu merasa terpanggil oleh kilatan tajam lempeng pisau murahan yang semakin terlihat tajam ditimpa sinar lampu bangunan rumah sakit.
Chai hanya bergerak mengikuti nalurinya. Berjalan gontai, matanya yang kosong terlihat kontras dengan derap langkah yang lurus dan pasti menuju tempat di mana pisau tersebut berada. Orang bilang, bahasa lain dari jodoh adalah pertemuan. Chai berpikir, mungkin sudah jodohnya untuk menemukan pisau bekas memotong buah yang masih terlihat baru itu di meja gazebo rumah sakit. Mungkin pisau itu adalah jodohnya untuk kemudian berjodoh lagi dengan kematian.
Chai merampas pisau tersebut, memperkirakan posisi dan kedalaman luka yang tepat agar kematian benar-benar mendatanginya malam ini. Tangan kasar dan berwarna kecokelatan akibat sering terpanggang sinar matahari di ladang itu sudah bergerak hendak memutus nadinya sampai putus, memutuskan pula tekanan di hidupnya yang tak kunjung usai.
Tanpa Chai sadari, tindakan anehnya telah diperhatikan sejak awal oleh seorang pria yang berdiri di balik keremangan ekor koridor rumah sakit. Posisinya cukup tersembunyi hingga Chai yang sebelumnya sudah menengok kiri-kanan sebelum mengambil cutter pun tidak menyadari kehadirannya.
Tepat ketika Chai sudah hendak mengiris pergelangan tangannya, pria itu menghambur keluar dari persembunyiannya. Secepat kilat, menahan pergelangan tangan Chai dan membuang cutter jauh-jauh.
/0/6117/coverorgin.jpg?v=032aa715b46143ef5d15c3c419d2aa00&imageMogr2/format/webp)
/0/11016/coverorgin.jpg?v=a3e1e3093a7f43e35b4fdedfe1a2957f&imageMogr2/format/webp)
/0/4599/coverorgin.jpg?v=1390a900c498ce0f9bbe603ecbcfa4e8&imageMogr2/format/webp)