/0/21862/coverorgin.jpg?v=a88c5225604ec327987d04c83aae65b5&imageMogr2/format/webp)
Di ruang istirahat CEO di Grup Puncak.
Evelyn Kayana bangkit dari ranjang, mengambil kemeja dan rok pendek yang berserakan di lantai, lalu mengenakannya dengan cepat. Saat dia berpakaian, pesona menggoda terpancar di matanya, masih segar setelah berhubungan dengan pria di ranjang. Tatapannya bertemu dengan ekspresi dingin pria itu.
Pria itu bernama Brian Dewata, CEO Grup Puncak, bosnya, dan dermawannya.
Hubungan rahasia mereka hanya terbatas di ruang istirahat ini. Di luar tembok ini, dia tidak lebih dari seorang asisten khusus.
"Pak Brian, jika tidak ada urusan lagi, saya akan kembali mengerjakan tugas saya," ucap Evelyn, sambil menawarkan senyuman yang terlatih.
Sambil berbicara, dia dengan cekatan menata rambut panjangnya menjadi sanggul, penampilannya dengan cepat berubah dari memikat menjadi sangat profesional.
Dia terlihat menjaga jarak, tidak seperti wanita yang baru saja berada di ranjang Brian.
Brian menyipitkan matanya, tatapannya tertuju pada wajah cantik wanita itu.
"Vivi sudah kembali."
Evelyn telah sampai di depan pintu ruang istirahat, ketika tangannya siap untuk membukanya, kata-kata Brian menghentikan gerakannya.
Tubuhnya menegang, dan rona merah di wajahnya memudar, bahkan napasnya pun terhenti sejenak.
Namun, dia segera mendapatkan kembali ketenangannya dan berbalik, mempertahankan senyumannya yang terukur.
"Saya mengerti, Pak Brian. Saya tidak akan masuk ke ruangan ini lagi," ucapnya.
Cinta pertama Brian, Vivi Wiradi, yang telah pria itu tunggu selama enam tahun, telah kembali. Dalam hidup Brian, Evelyn tidak lebih dari sekadar alat untuk memenuhi kebutuhannya.
Terlepas dari kenyataan bahwa kehadiran Brian telah menjadi satu-satunya sumber dukungannya selama dua tahun terakhir, dia sangat sadar bahwa dia hanya benar-benar memiliki pria itu pada saat-saat intim.
Brian bangkit dari ranjang, tidak peduli dengan tubuhnya yang tanpa busana. Dia menemukan celananya di lantai dan mengenakannya.
"Apa hubungannya denganmu?" tanyanya sambil tertawa kecil, menyerahkan kemejanya pada Evelyn, yang kemudian mulai membantunya mengenakan kemeja itu.
Saat dia mengancingkan kemejanya, suaranya terdengar dari atas. "Buatkan surat perjanjian perceraian untukku."
Evelyn berhenti sejenak, tatapannya terarah ke wajahnya, memperhatikan garis-garis tajam rahangnya dan bibirnya yang tipis.
"Aku telah menyia-nyiakan enam tahun masa muda seorang gadis. Sudah waktunya untuk mengakhirinya," ucapnya, sambil menyerahkan dasinya, memecah lamunan Evelyn. "Bagaimana menurutmu?"
Tanpa sepatah kata pun, Evelyn menerima dasi itu, hatinya bergejolak dengan emosi.
Faktanya, istri yang Brian sebutkan tadi adalah dia.
Selain sebagai asisten dan kekasihnya, dia memiliki peran lain dalam hidup Brian, yaitu sebagai istrinya.
Enam tahun yang lalu, ibunya didiagnosa menderita kanker dan membutuhkan perawatan yang mendesak dan mahal. Karena baru saja lulus dan tidak mampu secara finansial, dia sempat putus asa hingga sumbangan dari Keluarga Dewata datang untuk membantunya, sebuah tindakan kebaikan yang tidak akan pernah dia lupakan.
Kemudian, ketika tunangan Brian, Vivi, meninggalkannya dan pindah ke luar negeri, hal itu menyebabkan gosip dan cemoohan yang meluas.
Pada saat itu, Brian membutuhkan seorang istri untuk menyelamatkan muka. Neneknya telah menemukan Evelyn, yang setuju untuk menikah dengan Brian untuk membalas budi.
Bersyukur atas bantuan Keluarga Dewata, Evelyn dengan setia menjalankan perannya sebagai istri Brian, tanpa meminta lebih.
Setelah menikah, karena harus terus membiayai pengobatan ibunya, dia meninggalkan sebuah perusahaan kecil dan bergabung dengan Grup Puncak, dengan harapan mendapatkan peluang yang lebih baik.
Saat itulah dia mendapati bahwa CEO Grup Puncak adalah Brian, suaminya, yang hanya dia temui sekali di hari pernikahan mereka dan tidak lagi mengenalinya.
Bertekad untuk mendapatkan dana untuk perawatan medis ibunya yang sedang berlangsung, Evelyn tetap bekerja di perusahaan tersebut, sambil sebisa mungkin menghindari Brian. Namun, takdir memiliki rencana lain, dan dia mendapati dirinya di atas ranjang Brian yang sedang mabuk pada suatu malam. Setelah pertemuan yang tidak disengaja ini, Brian secara tidak terduga mempromosikan Evelyn untuk menjadi asisten khususnya.
Puas dengan kehadirannya, Brian memaksanya untuk naik ke atas ranjangnya beberapa kali, dan akhirnya menjadikannya sebagai teman ranjangnya.
Setiap kali Brian memanggilnya, dia akan menurut. Kadang-kadang, Brian akan menanyakan apakah dia membutuhkan sesuatu, dan pada saat-saat sulit secara finansial, dia akan meminta uang secara terbuka.
Namun ketika dia tidak membutuhkan bantuan keuangan, dia akan menolak rayuannya, berusaha untuk menjaga martabat dalam interaksi mereka, menolak untuk menurunkan hubungan mereka menjadi sekadar transaksi.
Evelyn telah mempertimbangkan untuk mengakhiri hubungan semacam ini dengan Brian berkali-kali, tetapi biaya pengobatan ibunya yang mahal telah memaksanya untuk mengesampingkan harga dirinya.
Terlebih lagi, dia telah jatuh cinta pada Brian.
Merasa tidak layak untuk Brian, dia menyembunyikan perasaannya, mendedikasikan dirinya untuk mendukung Brian di tempat kerja.
Namun kini, Vivi telah kembali.
Evelyn tahu bahwa dia harus menyingkir, baik dari perannya sebagai asisten maupun istri Brian.
Kesadaran bahwa tak satu pun dari perannya dapat menyaingi cinta pertama Brian benar-benar menyedihkan.
Senyum pahit tiba-tiba muncul di bibir Evelyn.
Menyadari hal ini, Brian mengerutkan alis dengan bingung. "Kenapa kamu tersenyum?" tanyanya.
Evelyn membetulkan dasinya dan berjinjit untuk merapikan kerah kemejanya.
"Saya turut berbahagia untuk Anda, Pak Brian. Wanita yang Anda sayangi akhirnya kembali," ucapnya.
Sambil menarik napas dalam-dalam, dia melangkah mundur dan mengangguk sedikit. "Saya akan membuat surat perjanjian perceraian sekarang."
Brian mengerutkan kening, entah bagaimana dia dapat merasakan sekelebat rasa kesal. "Kamu benar-benar seorang asisten yang patut dicontoh, Evelyn," ucap Brian.
Ketidakpeduliannya membuat Brian mempertanyakan pesonanya sendiri.
Evelyn hanya memberikan senyuman, mengabaikan pesan yang mendasari pujiannya. "Terima kasih telah mengakui hasil kerja saya, Pak Brian."
/0/19269/coverorgin.jpg?v=f324e0a554ff64f17e8a3749d4a97c1e&imageMogr2/format/webp)
/0/24056/coverorgin.jpg?v=48457769f8c29c9d02a2cb0194e4f94a&imageMogr2/format/webp)
/0/17957/coverorgin.jpg?v=368c61d9274a8a54da1a3732e4636293&imageMogr2/format/webp)
/0/14523/coverorgin.jpg?v=129a31041e33c9d78477eab5582de025&imageMogr2/format/webp)
/0/5777/coverorgin.jpg?v=88b08f7d4264446951b5f7ed1a5a823d&imageMogr2/format/webp)
/0/12287/coverorgin.jpg?v=dc9ec73b075f7f84b492682478ed1f3a&imageMogr2/format/webp)
/0/24718/coverorgin.jpg?v=eb09d16e15371d44e22ed895a50075a6&imageMogr2/format/webp)
/0/10328/coverorgin.jpg?v=285cb73fd438350480124be261fee44d&imageMogr2/format/webp)
/0/6677/coverorgin.jpg?v=11f7b2dbd634945e4fe9a13f3394e04f&imageMogr2/format/webp)
/0/3274/coverorgin.jpg?v=bc7ed4e43828c1d5cc7709908a1f1b05&imageMogr2/format/webp)