Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Suara mesin truk mengerang di jalan yang kasar. Truk itu merupakan truk militer tapi yang dibawanya bukanlah tentara sehat atau yang terluka, bukanlah kotak-kotak amunisi atau persediaan makanan, dan bukanlah tawanan dari musuh yang tertangkap. Truk itu membawa para pelacur dari kota.
Di dalam kargo truk setengah terbuka itu, belasan perempuan muda mengenakan mantel dan sarung tangan hangat. Wajah mereka memakai riasan untuk mengikat pelanggan mereka— para tentara berpangkat rendah atau beberapa perwira. Banyak dari mereka yang diam dan tak saling bercerita karena mereka tahu tak ada kebanggaan dari perbuatan mereka.
“Navila, kamu tak membawa sarung tangan hangatmu?” tanya Adeline dengan menggenggam tangan Navila.
Navila menggelengkan kepalanya. Ia bisa merasakan hangatnya genggaman Adeline yang tulus. Jangankan sarung tangan, mantel hangat pun tak Navila bawa. Perang yang telah berkecamuk bertahun-tahun memaksanya menjual pakaiannya satu persatu. Ia ingat telah menjual mantel dan sarung tangan hangatnya satu bulan yang lalu. Meski musim dingin segera tiba, tapi kelaparan tiba lebih dahulu.
“Tenanglah, kamu akan mendapatkannya malam ini,” ucap Gia dengan nada genit. Tiba-tiba raut wajah Gia berubah dengan tajam, sesuatu seperti terlintas dalam pikirannya. Sorot matanya mengamati Navila dari kaki ke kepala dan mimik wajahnya semakin tajam bercampur kesal.
“Aku akan pastikan hal buruk padamu bila kamu menggoda Mayor Nezkov,” ancam Gia tanpa dimengerti Navila.
“Mungkin dia bisa mendapat seorang perwira,” sahut perempuan di samping Gia yang tampak iri.
“Dia harusnya melayani dua puluh tentara Erdan malam ini,” sahut perempuan lain yang tak terlihat oleh Navila— mungkin Nina atau Tia karena suaranya mirip.
Navila menggenggam erat tangan Adeline, satu-satunya sahabat yang ia punya. Meskipun sebagian besar perempuan-perempuan itu dari kota yang sama dengan dirinya. Navila tak akrab dengan mereka dan hanya Adeline yang paling ia kenal.
“Tak perlu dengarkan mereka,” bisik Adeline.
“Si kutu buku ini akhirnya menjadi pelacur,” ledek Gia lagi.
“Hahaha.” Semua pelacur tertawa dalam truk.
Navila hanya diam mendengarkan makian itu. Rasa gugup dan malunya bercampur dalam detak jantung yang sangat kencang. Ini pertama kalinya ia menuju Benteng Esthaz. Tempat di mana para tentara Kerajaan Erdan singgah sebelum menyerang Ibukota Kerajaan Agelan. Tempat di mana para perempuan kota menyewakan tubuhnya untuk terus hidup. Tempat mendapatkan keping-keping perak dan makanan-makanan yang lebih menjanjikan.
“Aku harus mendapatkan obat untuk Ayah,” bisik Navila pada Adeline.
Satu-satunya alasan Navila menjual diri dan keperawanannya karena ayahnya sakit. Ia perlu obat, tapi tak ada yang menjual obat karena semua obat ada di Ibukota, tapi semua obat di sana untuk para tentara.
“Itu sulit,” jawab Adeline dengan berbisik. “Aku akan bicara pada Tuan Deus. Semoga dia bisa mengaturnya.”
“Ya, semoga,” ucap Navila dengan lirih tapi penuh harapan.
Truk berhenti, terdengar suara pria yang saling bercakap-cakap. Suara mereka saling menertawakan isi dari truk yang penuh pelacur. Navila merasakan perubahan suasana di dalam truk itu menjadi tegang. Bahkan senyum Gia yang tadinya penuh dengan kesombongan sebagai pelacur, kini hilang. Genggaman tangan Adeline semakin kuat. Navila tak menyangka para perempuan akan gugup meski mereka datang dengan suka rela dan bukan pertama kalinya ke benteng itu.