Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Pernahkah kalian merasa lelah dalam menjalani hidup?
Setiap hari, beban di atas pundak terasa semakin berat. Walau begitu, kaki harus tetap melangkah karena waktu tak memberi ampun pada siapa pun yang lemah.
Itulah yang dirasakan oleh seorang gadis di dalam rumah kecilnya. Setiap kali bunyi reruntuhan bangunan terdengar mendekat, ia akan menekan tuts piano dengan lebih bersemangat.
Ketika kegaduhan itu terdengar lebih kencang, ia memutar tombol pengatur volume hingga hampir maksimal. Tidak ada satu pun di dunia ini yang mampu menghentikan permainan piano gadis itu, kecuali bunyi bel untuk yang kelima kalinya.
“Aaargh! Siapa lagi itu? Kapan mereka akan berhenti menggangguku?”
Dengan langkah berat dan cepat, ia menghampiri pintu.
“Ada apa?” tanyanya garang.
Sosok berwajah tampan di luar pintu pun mengerjap. Namun, sedetik kemudian, senyum manis pria itu melengkung sempurna.
“Selamat siang, Nona Gabriella,” sapanya ramah.
Sang gadis mengerutkan alis mengamati pria asing yang mencurigakan itu.
Rambut hitam yang tertata rapi, kemeja putih panjang di tengah hari yang terik, dan sepatu pantofel mengilap di ujung kaki. Tidak salah lagi. Pria itu pasti karyawan Quebracha Company yang diutus untuk meluluhkan hati Gabriella.
“Apakah mereka pikir, keputusanku bisa diubah karena seorang laki-laki tampan? Cih, pemikiran yang dangkal sekali,” batin sang gadis dengan sebelah sudut bibir berkedut samar.
“Kalau Anda ingin membujuk saya untuk menjual rumah ini, maaf ... saya tetap tidak tertarik. Tolong katakan kepada atasan Anda untuk berhenti mengganggu saya dan rumah ini. Kalian hanya akan menghabiskan waktu dan energi.” Gadis itu menarik pintu tanpa basa-basi.
Sang pria spontan menahan pintu dengan lengannya yang kekar. Mata si tuan rumah pun terbelalak menyaksikan keberanian yang tak terduga itu.
“Apa?” tanya sang gadis sambil menekan pintu agar tidak terbuka lebih lebar. Ia takut jika si orang asing memaksa masuk ke rumahnya.
“Kedatangan saya ke sini bukan untuk itu.” Senyum manis kembali diperlihatkan meski hanya lewat celah sempit.
“Lalu, apa?” Gabriella mengerutkan alis mengisyaratkan bahwa dirinya risih.
“Karena Anda menolak untuk menjual rumah ini, perusahaan kami ingin bernegosiasi.”
“Bernegosiasi? Apa bedanya dengan membujuk?”
“Tentu saja berbeda. Karena itu, mohon izinkan saya masuk dan menjelaskannya secara rinci.”
Sang gadis menggigit bibir bawahnya dan melayangkan tatapan sinis. Akan tetapi, laki-laki di hadapannya sama sekali tidak mengubah ekspresi. “Anda benar-benar ingin masuk ke rumah ini?” tanya Gabriella seperti menguji nyali.
“Ya,” angguk sang pria tanpa sedikit pun nada khawatir.
Setelah menimbang-nimbang sejenak, si tuan rumah menghela napas samar dan mengangguk kecil. “Baiklah, silakan masuk.” Pintu akhirnya dibuka.
“Terima kasih,” ucap pria tampan itu masih dengan lengkung bibir yang manis. Bahkan sampai ia duduk di sofa pun, keramahannya tetap berseri.
“Silakan diminum,” tutur Gabriella sambil meletakkan secangkir kopi dan segelas air. Sudut bibirnya kini ikut naik.
“Terima kasih, Nona. Perkenalkan, saya Max dari Quebracha Company.”
“Ya, saya sudah tahu,” sela Gabriella dengan bibir mengerucut.
“Sudah tahu?” Pria itu mengangkat kedua alisnya.
Sang gadis mengangguk yakin. “Ya ..., siapa lagi yang tega mengganggu kedamaian hidupku kalau bukan karyawan dari perusahaan Quebracha?”
Raut tegang sang pria sontak berubah kembali manis. “Oh, baiklah. Saya mohon maaf atas ketidaknyamanan Anda.”
Gabriella hanya mengangkat bahu singkat.