Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sari menatap bayangannya di cermin besar di kamarnya, mengenakan setelan kerja yang rapi dan sempurna seperti biasanya. Senyum tipis terukir di wajahnya, namun matanya memancarkan kebingungan yang sulit ia jelaskan. Ia adalah seorang wanita karier sukses, kepala departemen pemasaran di perusahaan besar yang prestasinya sering menjadi inspirasi bagi banyak orang. Di luar, hidupnya terlihat sempurna. Pekerjaannya stabil, gajinya besar, dan ia memiliki suami yang tampaknya ideal-Bima, seorang pengusaha muda yang juga sukses.
Tapi di balik itu semua, ada kekosongan yang perlahan-lahan merayap dalam hidupnya. Sesuatu yang dulu terasa hangat dan penuh cinta kini terasa dingin dan jauh. Bima, yang dulu selalu ada untuk mendukungnya, kini sering pulang larut malam dengan alasan pekerjaan. Obrolan ringan mereka di meja makan semakin jarang terjadi, dan ketika ada, sering kali hanya berupa percakapan singkat yang penuh basa-basi.
Sari mencoba mengingat kapan terakhir kali mereka tertawa bersama, berbagi cerita tanpa ada rasa terburu-buru atau formalitas. Mungkin itu terjadi beberapa bulan yang lalu, atau bahkan setahun. Ia tidak ingat lagi. Kehidupan pernikahannya yang dulu penuh gairah kini terasa seperti rutinitas yang membosankan, seperti robot yang berfungsi tanpa emosi.
Suatu malam, ketika Sari sedang duduk di ruang tamu sambil menyesap teh hangat, Bima pulang lebih larut dari biasanya. Wajahnya terlihat lelah, dan tanpa banyak bicara, ia hanya memberi Sari ciuman singkat di pipi sebelum langsung masuk ke kamar. Sari memandang punggung suaminya yang menjauh, merasakan jarak di antara mereka yang seolah semakin lebar.
"Apa yang salah?" gumam Sari pada dirinya sendiri. Apakah kesibukan pekerjaan telah membuat mereka melupakan satu sama lain? Ataukah ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang belum ia ketahui?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya. Sari mencoba mengabaikannya dengan menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Namun, semakin ia mencoba sibuk, semakin terasa kekosongan itu, seperti ruang hampa yang terus meluas di dalam dirinya.
Di kantor, Sari dikenal sebagai sosok yang tangguh dan berdedikasi. Tapi di rumah, ia hanyalah seorang wanita yang mencoba memahami mengapa pernikahannya yang tampak sempurna di luar, kini terasa hampa di dalam. Hari-hari berlalu dengan pola yang sama-berangkat pagi, pulang malam, dan hampir tidak ada interaksi berarti dengan Bima. Dan setiap kali ia melihat cincin di jari manisnya, Sari bertanya-tanya apakah cincin itu masih melambangkan cinta, atau hanya menjadi simbol dari komitmen yang hampa.
Kehidupan yang terlihat sempurna ini, pikir Sari, mungkin tidak seindah yang terlihat.
Malam itu, setelah Bima masuk ke kamar tanpa banyak bicara, Sari tetap duduk di sofa ruang tamu, mengaduk teh yang sudah mulai dingin. Keheningan rumah mereka semakin terasa, seakan-akan dinding pun tahu bahwa ada sesuatu yang salah. Perlahan-lahan, Sari memutuskan untuk berbicara. Dia tahu tidak bisa lagi menunda pertanyaan yang terus menghantuinya. Ia berjalan ke kamar, menemukan Bima yang sudah bersiap untuk tidur.
"Bim, kita perlu bicara," suara Sari terdengar tenang, namun ada kekhawatiran yang terselip di sana.
Bima menghela napas panjang sebelum menoleh, "Sekarang? Aku capek, Sar. Bisa nanti aja?"
"Nggak, aku rasa kita nggak bisa terus menunda ini. Ada yang perlu kita bicarakan."
Bima duduk di tepi ranjang, sedikit mengusap wajahnya, jelas terlihat lelah. "Oke. Apa yang mau kamu omongin?"
Sari berdiri di depan suaminya, menatap matanya, mencoba mencari jawaban yang mungkin sudah ada di sana. "Kamu merasa nggak, kalau hubungan kita udah nggak seperti dulu lagi?"
Bima terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Sar, kita sama-sama sibuk. Kamu dengan pekerjaan kamu, aku juga dengan bisnisku. Wajar kalau ada masa-masa di mana kita merasa jauh."
"Tapi ini lebih dari sekadar sibuk, Bim. Aku merasa kita seperti orang asing di rumah kita sendiri. Kita jarang ngobrol, bahkan jarang ketawa bareng. Kamu juga sering pulang larut, kadang nggak ngasih tahu dulu," Sari mendesah, suaranya mulai bergetar.
Bima berdiri, mendekati Sari dan menempatkan tangannya di bahunya. "Sar, kamu tahu aku nggak sengaja. Semua ini karena pekerjaan, aku harus memastikan semuanya berjalan lancar. Aku lakuin ini buat kita, buat masa depan kita."
"Tapi apa gunanya kalau masa depan kita nggak ada kalau begini terus?" balas Sari, kali ini dengan nada yang lebih tajam. "Aku cuma merasa... kita kehilangan sesuatu, Bim. Aku nggak mau kehilangan kamu, tapi aku juga nggak tahu harus gimana lagi."
Bima menarik napas panjang, pandangannya menerawang. "Kamu nggak kehilangan aku, Sar. Aku masih di sini."
"Fisik kamu ada di sini, tapi hati kamu? Aku nggak tahu, Bim. Kamu tahu kan, hubungan nggak cuma tentang ada di rumah setiap malam. Ini tentang perasaan, tentang berbagi, tentang saling ada satu sama lain," Sari menatap Bima dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kamu masih mencintai aku?"
Bima terdiam lagi, kali ini lebih lama dari sebelumnya. Ia mengalihkan pandangan, seolah mencari jawaban di dinding kamar yang kosong. "Sar, aku nggak tahu harus jawab apa. Aku... aku lelah. Mungkin kita butuh waktu buat diri kita masing-masing."
Jawaban itu membuat hati Sari terasa teriris. Kata-kata Bima terdengar samar di telinganya, seperti palu yang memukul harapan terakhirnya. Ia mengangguk pelan, menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air matanya.
"Baiklah," ucap Sari dengan suara serak. "Kalau itu yang kamu mau."
Bima menunduk, terlihat bersalah. "Aku nggak bilang aku mau ini, tapi mungkin ini yang terbaik buat kita untuk sementara."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Sari keluar dari kamar, meninggalkan Bima sendirian. Di ruang tamu, ia duduk kembali di sofa, memandangi cangkir tehnya yang sudah dingin. Hatinya terasa beku seperti minuman yang ada di hadapannya. Bagaimana bisa pernikahan yang dulu penuh cinta berubah menjadi sekosong ini?
Sari meraih ponselnya, sejenak melihat ke daftar kontak. Di antara nama-nama itu, ada satu yang tak sengaja terpikirkan-**Fajar**. Dia adalah rekan kerjanya yang belakangan ini sering menjadi teman curhat. Fajar selalu mendengarkan, selalu membuatnya merasa didengar dan dimengerti, sesuatu yang semakin jarang ia dapatkan dari Bima.