Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Angin dingin menusuk hingga pori-pori kulit, membuatku tak sungkan untuk memeluknya dari belakang. Sinar purnama remang-remang mulai tenggelam tertutup awan. Galih melajukan kendaraannya.
Lampu rumah bagian ruang tamu dan ruang keluarga telah berganti lampu yang redup, pertanda Ayah, Ibu dan adikku telah tidur.
"Ayah dan Ibu udah tidur, gak usah pamitan! Biar besok aku yang bilang," ucapku saat Galih masih berdiri di bibir pintu.
"Aku pengen nginep di sini!" bisiknya seraya menarik lenganku hingga wajah ini saling beradu.
"Gak. Jangan, ah! Kita belom sah suami istri." Galih malah nekat masuk rumah, padahal aku telah berusaha menyuruhnya pulang.
Dengan rasa sedikit kesal, aku terpaksa menemani ngobrol lagi di ruang tamu.
"Jangan kenceng-kenceng suaranya! Takut ada yang kebangun, ini udah malam," ujarnya saat berusaha menarik tubuhku agar duduk di sebelahnya.
Sejenak kami berdua terdiam, hanya pandangan sayu kami yang saling beradu. Galih mendekatkan bibir, mengecup dan melumat bibirku. Jantungku berdegup hebat. Hampir saja ingin menolak tapi tak kuasa.
Malam semakin beranjak naik, akan tetapi Galih tak menunjukkan gelagat untuk pulang. Ingin rasanya memaksa dia pulang, akan tetapi, entahlah.
Tak banyak suara yang keluar dari bibir kami berdua. Hanya tatapan dan senyum yang menyungging menjadi bahasa tubuh antara kami berdua. Aku yang biasanya judes, galak dan angkuh bisa ditaklukkan olehnya.
Perlahan Galih merebahkan tubuhku di sofa panjang ruang tamu. Dia yang seolah-olah hendak menindihku, tangannya sigap mengelus lembut kepala, kemudian mendaratkan ciuman di kening, pipi dan turun ke leher.
Jantungku makin berdegup kencang dan tubuh gemetaran seketika.
"Aku sayang kamu, Ras," bisiknya. Embusan nafasnya yang mengenai leher membuat intonasi detak jantungku makin tak beraturan. Aku tak mampu menjawab, mata reflek terpejam. Mata elang itu menatap hingga menghunjam jantung. Aku sungguh tak berdaya malam ini.
Berkali-kali bibirnya menghujani dengan kecupan lembut hingga liar dan ganas. Tak ingin nafsu semakin berkuasa malam ini, aku mencoba mendorong pelan tubuhnya.
"Sebentar, aku mau pipis." Dengan tersenyum aku mencoba mengalihkan nafsu setan yang mulai memprovokasi. "Sebaiknya kamu pulang!" sambungku kemudian.
Aku berjalan mengendap menuju kamar mandi, agar tak ada yang terbangun. Di dalam kamar mandi, aku membasuh muka, tak lupa bibir pun ikut kuusap dengan air berkali-kali. Tak ingin berlama-lama meninggalkan Galih di ruang tamu, aku pun segera menemuinya.
Wajah Galih tampak murung begitu aku kembali dari kamar mandi. Aku pun menatapnya dengan heran.
"Kenapa? Kok, murung gitu, sih?"
"Aku mau pulang, sekarang," ujarnya seraya meraih kontak motor di meja."
"Iya. Hati-hati, ya. Gak usah ngebut!" sahutku berusaha menampilkan senyuman, walaupun ada yang ganjil dari sikapnya.
Aku lantas mengantarnya sampai halaman dan menyaksikan punggungnya kian menghilang menembus jalanan.
***
"Aku datang mau ngajak kamu. Ayuk buruan!" serunya yang tak berapa lama menungguku di teras.
"Bentar, napa? Ganti baju aja belum, apalagi kamu ngajaknya mendadak gini." Aku membalasnya dengan ketus, lantaran sikapnya berubah sejak tadi malam. Dingin dan berwajah muram. Bahkan senyum menawan yang selalu tersungging di bibirnya itu hilang seketika.
"Gak usah dandan lama-lama!" timpalnya lagi.
Aku berlalu menuju kamar lagi, berdandan sekenanya. Hanya bawahan rok selutut berbahan jeans dan kemeja wanita motif kotak-kotak. Menyapukan bedak ringan di wajah dan lipglos agar bibir tidak terlihat kering. Bergegas menemuinya dan berangkat.
Aku mulai bosan dengan sikapnya. Selama perjalanan dia hanya terdiam, aku pun enggan bersuara. Mengingat sikapnya yang dingin dan terkesan marah.
Batin ini merasa was-was saat melewati jalan yang belum pernah aku lewati sama sekali. Bahkan aku tidak tahu mau diajak ke mana.
Aku memandang sekeliling jalan yang dilewati. Jalanan berkelok khas daerah pegunungan, hutan pinus dan karet bahkan terkadang melihat hamparan sawah sebelah kanan dan kiri jalan. Hawa di jalan terasa sejuk, tapi tidak dengan hatiku.
"Sebenarnya ini mau ke mana, sih? Aku baru kali ini, lho, lewat jalan ini!" teriakku sambil menepuk pelan bahunya berkali-kali.
"Udah ... diem aja! Nanti juga tau. Sebentar lagi sampe, kok," balasnya seraya menoleh sejenak.
Aku mengedarkan pandangan lagi, begitu masuk jalan setapak yang lapisan aspalnya mulai mengelupas. Hamparan sawah berhektar-hektar mengapit jalan. Sunyi dan sepi. Sesekali diriku melihat penggembala kambing yang duduk di bawah pohon tepi jalan sambil memerhatikan gembalaannya.
Galih mulai membelokkan kendaraannya masuk gang kecil sebuah perkampungan yang masih pelosok. Masih banyak kebun bambu bahkan ada juga kebun-kebun yang ditumbuhi tanaman liar dan semak belukar. Sebagian rumah di sini juga masih berupa rumah bambu.
"Uffs, haduh!" teriakku saat ia mendadak menghentikan motor membuat tubuhku terdorong ke depan dan kepala ini otomatis terjedot helm-nya. "Kok berhenti di sini. Emang udah sampe, ya?" sambungku.
Galih tidak menjawab, malah ia bergegas masuk rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Aku masih berdiri di halaman rumah tersebut.
"Rumah siapa ini? Kenapa dia mengajakku ke sini?"
Aku memandang ke penjuru arah sekitar rumah bambu yang dikunjungi Galih. Rumah itu diapit kebun yang ditanami kacang dan singkong. Di halaman terdapat tiga pohon jati berukuran lumayan besar yang menjulang tinggi.
Tak berapa lama Galih keluar bersama perempuan tua memakai atasan kebaya dan bawahan kain batik yang telah terlihat usang. Dituntunnya perempuan tua itu menuju teras.
"Nduk, sini!" seru perempuan yang telah lanjut usia itu seraya melambaikan tangan ke arahku. Aku pun bergegas menghampirinya.