Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Denting alam sore menjelang malam. Meniupkan syahdunya bebunyian angin yang masuk merambat melewati jendela ventilasi. Ruang dapur yang baru selesai di pugar selatan rumahku.
Dawai merdu suara bambu di belakang desa bersahut gemercik air kali mengalir kini terasa menyejukkan hati. Aku dan ruangan dapur seakan menyatu menari menjadi satu bersahutan dengan burung malam.
Sejenis burung hantu yang akrab di sebut warga desa burung dares atau sebuah burung mitologi pembawa pesan kematian berkoar menikmati suguhan orkestra yang dibuat oleh alam perdesaan desaku lalu tersentuh kalbu ini berbisik lembut pada sanubari damainya ciptaan Allah Taala.
Kuletek, kuletek,
Nyaring sendok mengaduk-aduk gelas bercampur dengan bubuk kopi dan gula menjadi satu kesatuan yang disebut seduhan terpaut wangi sari pati di tangan kananku. Perlahan kuhirup sajian yang disediakan alam teruntuk insani yang di cipta Illahi Rabi dan berucap Alhamdulillah di lidah dan hati.
Minggu 4 Juli 2021, hati sudah kembali tenang, otak sudah tak pernah meracau lagi seluruh badan mulai teratur mengikuti instruksi Kalbu untuk terus berucap Allahuma Shalli Ala Muhammad.
Segelas seduhan kopi hitam dengan wangi merebakku tenteng menuju ruang tamu. Sebungkus rokok bermerek gembok dan kunci kuraih sebatang serta kusulut saat menempel di muka bibir. Sekali hirup dan sekali hisap kembali terlontar asap membumbung dengan ikhlas kenikmatan yang di anugerahkan Gusti Illahi Rabi.
Lelah mengenang masa lalu aku ingin menyajikan kenyataan kali ini. Mataku sedang memandang masa depan yang mungkin terang, yang mungkin kelam entah yang pentung terus ikhtiar dan berdoa serta ratusan Shalawat terus aku lantunkan.
Bapak datang dari ruang tengah wajahnya sudah semringah alias bahagia kelegaan terpancar di sana. Guratan rasa puas sudah ada di tiap pori pipi. Sebab hari ini adikku Nuriva yang sudah sarjana kini sudah bekerja kemarin telah membantu ikut menutup hutang-hutang bapak jua. Sebab aku anak lanang, anak lelaki pertama sudah kembali bekerja seperti dahulu tukang rombeng yang penting halal dalam benaknya.
“Le, Tole, minta kopinya sedikit ya,” begitulah ucapan yang meluncur dari bibirnya yang semakin tua namun ada guratan bahagia di sana sudah.
Hanya ku sahut senyum mengembang dan mempersilahkan dengan anggukan perlahan. Ada raut kebanggaan dengan syukur Allah telah menghadirkan kebahagiaan kepada keluarga kami. Setelah bertahun-tahun kami berjuang dan kami masih terus berjuang tapi kali ini kami berjuang untuk memperbaiki ibadah kami.
Tak terbayang betapa sulitnya dahulu kami harus melangkah dengan penuh kehati-hatian. Dengan penuh perhitungan dan kepasrahan pada Sang Pencipta alam maya pada dan semesta.
Hari ini jalanku sedikit demi sedikit sudah menemukan titik terang menuju yang benar. Dan seorang guru kiai telah menerimaku sebagai santri ada cahaya harapan di langkahku kali ini. Kembali terus dan kuulang terus ada bercak rasa bahagia yang tiba-tiba rindu Sang Kuasa dan Rindu pada Sang terkasih Nabiyalah Muhammad SAW.
Walau sebuah pandemi luas dan global pada dunia atau yang ilmiahnya disebut Covid 19 masih terus berjalan dan entah kapan berhenti. Setidaknya kami masih diberi nikmat sehat dari keluarga kami semoga terus sehat dan Covid cepat berhenti.
Satu teguk kopi hitam agak pahit meluncur pada kerongkongan membasahi dahaga tenggorokan telah terlaksana sudah. Terlihat ibu sedang duduk bersimpuh di atas kursi panjang saksi bisu perpisahanku bersama Jingga enam tahun yang lalu. Dan ibu rupanya sudah tersenyum lagi sambil memegang jarum dan benang menjahit baju kerja bapak yang sudah robek di lengannya.
Walau kami sesederhana dalam masa sulitnya dunia kali ini akibat musim pandemi yang tak kunjung usai tapi kami bersyukur masih diberi senyum di setiap wajah kami. Setelah melalui setiap malam dengan kengerian yang begitu ngeri tak terbayang betapa dahsyatnya guncangan setahun yang lalu akibat sebuah penyakit hati iri dan dengki seorang kawan satu profesi dengan bapak.