/0/26469/coverorgin.jpg?v=fc1ceb5883144d608f870aadd772a8c4&imageMogr2/format/webp)
Suamiku meninggalkanku di malam terpenting dalam karierku—pameran seni tunggal pertamaku.
Aku justru menemukannya di berita, sedang melindungi wanita lain dari badai kamera sementara seluruh isi galeri menyaksikan duniaku hancur berkeping-keping.
Pesan singkatnya adalah tamparan terakhir yang dingin dan menusuk: "Kania membutuhkanku. Kamu akan baik-baik saja."
Selama bertahun-tahun, dia menyebut karyaku sebagai "hobi", lupa bahwa karya itulah yang menjadi fondasi perusahaan triliunannya. Dia telah membuatku tak terlihat.
Jadi, aku menelepon pengacaraku dengan sebuah rencana untuk menggunakan kesombongannya sebagai senjataku.
"Buat surat cerai itu terlihat seperti formulir pelepasan hak kekayaan intelektual yang membosankan," kataku padanya. "Dia akan menandatangani apa saja untuk mengusirku dari kantornya."
Bab 1
Sudut Pandang Arini:
Malam ini seharusnya menjadi malamku. Pembukaan galeri tunggal pertamaku di pusat kota Jakarta. Bukan pameran kecil di kedai kopi, tapi sebuah pameran sungguhan yang bisa meroketkan karierku.
Selama empat tahun, aku bersembunyi di studioku, menuangkan seluruh jiwaku ke dalam arang dan tinta. Selama empat tahun, aku menjadi istri yang pendiam dan artistik dari miliarder teknologi, Bima Adinegara. Malam ini, semua itu seharusnya berubah. Malam ini, aku akhirnya akan menjadi Arini Maheswari.
Tapi saat aku berdiri di galeri yang terang dan ramai, aku merasakan hawa dingin yang familier karena ketidakhadirannya. Dia tidak ada di sini.
Lalu aku melihatnya. Sebuah notifikasi berita, berkedip di ponsel orang asing.
Wajah suamiku.
Dia berada di sebuah konferensi pers, tubuhnya yang tegap menjadi benteng bagi wanita lain. Kania Cendrawasih. Dia tampak rapuh dan sengaja dibuat tertekan. Sementara Bima, dia tampak seperti pelindungnya.
Judul berita di bawah foto itu adalah pukulan telak di ulu hati. Seorang reporter mengutipnya secara langsung. Aku tidak bisa mendengar kata-katanya, tapi aku melihatnya dari bisikan-bisikan pelan dan tatapan kasihan di sekelilingku. Semua orang menyaksikan penghinaan publik terhadapku secara *real time*.
Ponselku sendiri bergetar. Sebuah pesan darinya, dikirim satu jam yang lalu.
Ada urusan mendadak. Kania membutuhkanku. Kamu akan baik-baik saja. Selamat.
Kurasa saat itulah hatiku akhirnya menyerah. Bukan hancur berkeping-keping. Lebih seperti bunyi 'klik' pelan, suara kunci yang diputar untuk terakhir kalinya.
Bramantyo, pemilik galeri, muncul di sisiku. Dia tidak perlu bertanya. Buktinya bersinar di belasan layar di sekitar kami. "Aku turut prihatin, Arini," katanya, suaranya geraman rendah penuh amarah mewakiliku. "Dia benar-benar bodoh."
"Dia sibuk," aku mendengar diriku berkata. Kebohongan itu keluar secara otomatis, sebuah refleks yang terasah dari latihan bertahun-tahun.
"Ayo," kata Bram, dengan lembut mengarahkanku ke seorang pria berjas mahal. "Kritikus dari *Kompas* ada di sini. Ini masih malammu."
/0/29124/coverorgin.jpg?v=3652e21125bb7eb84eb182a68e2225b0&imageMogr2/format/webp)
/0/19021/coverorgin.jpg?v=864d15033d378e15ab560fbe750165bf&imageMogr2/format/webp)
/0/17988/coverorgin.jpg?v=3cdf015500d9bef287ade83c1e8edad7&imageMogr2/format/webp)
/0/29124/coverorgin.jpg?v=3652e21125bb7eb84eb182a68e2225b0&imageMogr2/format/webp)
/0/16043/coverorgin.jpg?v=008478e1f4f71672ee7491a0c2a744a2&imageMogr2/format/webp)